Mulan Van Java Sebuah fiksi sejarah
Ini sebuah cerita historiografi sastra atau kalau merujuk genre sastra disebut historical fiction—kisah fiksi yang dibangun dengan latar sejarah nyata. Latar belakang sejarahnya sudah kuat, tetapi bisa diperjelas bagaimana Tan Peng Nio sampai bisa diterima di pasukan Kolopaking II. Mengingat struktur sosial feodal Jawa pada masa itu, bagaimana seorang perempuan Tionghoa bisa beradaptasi dan diterima sebagai pejuang?
Garistebal.com- Sore itu pelabuhan Singapura sibuk, langit begitu kelam dan murung. Tan Peng Nio berdiri tegak, matanya menatap kapal yang akan membawa dirinya jauh dari tanah kelahirannya. Di belakangnya, seorang lelaki tua, Lia Beeng Goe, seorang ahli pembuat peti mati sekaligus guru bela diri yang telah membimbingnya selama bertahun-tahun, menatap dengan khawatir.
“Kau siap, Peng Nio?” bisik Lia Beeng Goe memecah keheningan.
Tan Peng Nio mengangguk pelan, suaranya rendah namun tegas.
“Kita tidak punya pilihan, Lia. Kita harus pergi lebih jauh, jauh dari pengejaran mereka," jawabnya.
Lia Beeng Goe menatapnya dengan penuh rasa hormat. Meskipun usianya jauh lebih tua, dia tahu bahwa tidak ada yang lebih berani dari perempuan ini. Ia adalah anak dari Jenderal Tan Wan Swee, yang kalah dalam pemberontakan melawan Kaisar Qian Long dari Dinasti Qing. Karena itu, dia harus meninggalkan segala yang dikenalnya, mengungsi ke tanah yang jauh, hingga akhirnya mereka tiba di Singapura.
“Jalan ini tidak akan mudah, Peng Nio. Tetapi aku percaya, kau akan menjadi legenda seperti ayahmu," Lia Beeng Goe berkata dengan keyakinan.
Tan Peng Nio menatap mata lelaki tua itu, mengingat pelajaran ilmu bela diri, taktik perang, dan cara bertahan hidup di dunia yang tak kenal ampun.
Pelarian mereka ternyata panjang. Sampai Singapura, perjalanan mereka belum berakhir. Dari Singapura, mereka terus melanjutkan perjalanan ke Sunda Kalapa. Tan Peng Nio mulai mengasah kemampuannya dengan senjata, dan segera menjadi prajurit tangguh. Ia mengubah identitasnua sebagai pria, juga menggunakan nama pria. Ia tahu bahwa di dunia peperangan, identitasnya sebagai perempuan bisa menjadi kelemahan yang mematikan.
Ketika perang Geger Pacinan meletus di tahun 1740, dan etnis Tionghoa dibantai oleh tentara VOC Belanda, Tan Peng Nio tidak tinggal diam. Dia bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Kolopaking II, di Kutowinangun. Hutan Jawa Tengah menjadi tempat berlindung sekaligus medan pertempurannya.
***
Tan Peng Nio mengendap di belakang pasukan, matanya tajam mengawasi setiap gerakan. Di tengah pertempuran yang semakin sengit, dia menyelinap ke barisan depan, menyamar sebagai prajurit laki-laki. Langkah kaki yang mantap di atas tanah yang keras, senjata di tangan, membuatnya tidak terlihat berbeda dari prajurit lainnya.
“Jangan biarkan mereka mendekat!” teriak KRT Kolopaking III, komandan pasukannya.
Tan Peng Nio memutar pedangnya dengan cekatan, menebas musuh yang berani mendekat. Di tengah perang yang memekakkan telinga itu, pikirannya tetap tajam.
"Inii bukan hanya tentang balas dendam. Ini tentang tanah yang kita cintai, tanah yang melahirkan kita."
Setiap serangan yang dilancarkannya adalah cerminan dari masa lalunya, dari perjuangan ayahnya yang gagal. Tan Peng Nio bukan hanya berperang untuk dirinya, tetapi juga untuk warisan keluarganya. Dia berjuang untuk bangsa yang mengusir mereka dari tanah kelahirannya.
***
Perang berakhir pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti. Tan Peng Nio memilih menetap di Kutowinangun. Ia menikah dengan KRT Kolopaking III, dan melahirkan dua anak, KRT Endang Kertowongso dan Raden Ayu Mulatningrum. Namun, meskipun ia kini seorang ibu, semangat perjuangannya tidak pernah padam.
Pada suatu hari yang tenang, setelah puluhan tahun peperangan, Tan Peng Nio duduk di depan rumah kayu sederhana mereka di Kebumen, mengenang masa lalu yang penuh darah dan air mata.
“Semua yang kita lakukan, semua yang kita perjuangkan, ada untuk masa depan anak-anak kita,” kata KRT Kolopaking III, suaminya, sambil memandang anak-anak mereka yang sedang bermain di halaman.
Tan Peng Nio mengangguk, matanya menatap cakrawala.
“Dan kita akan terus mengingat, meskipun waktu terus berjalan, perjuangan ini tidak akan pernah dilupakan," sahutnya.
Beberapa tahun setelah itu, saat ajal menjemputnya, Tan Peng Nio dimakamkan di Desa Jatimulyo, Kebumen, dengan penghormatan yang tinggi. Makamnya dibangun dengan ornamen tradisional Tionghoa, tetapi juga menyentuh unsur budaya Jawa yang ia cintai. Dua generasi setelahnya, kisah hidupnya masih dikenang, tidak hanya oleh keluarga, tetapi oleh banyak orang yang pernah mendengar tentang sang pejuang perempuan. Ia punya julukan baru Mulan Van Jawa.
Di dekat makamnya, anak-anaknya berdiri dengan penuh hormat. KRT Endang Kertowongso menundukkan kepala.
"Ibu, kisahmu akan hidup selamanya dalam darah kami,” katanya.
Sementara itu, Raden Ayu Mulatningrum berkata dengan lembut,
“Ibu adalah wanita luar biasa. Kisahnya akan terus menginspirasi generasi kami," bisiknya.
Tan Peng Nio sudah tiada. Ia pejuang kehidupan yang tangguh untuk anak cucunya. Entahlah apa yang ia rasakan ketika saat ini mendapati negeri yang dibelanya dengan bertaruh nyawa, dikangkangi orang-orang kaya yang etnisnya sama dengannya, mengkapling laut, merampas tanah rakyat.
Entahlah perasaan Tan Peng Nio, saat mendapati negeri yang dicintainya dengan taruhan nyawa, dijadikan bancakan pejabat-pejabat pribumi yang sangat rakus memakan segala.
Tan Peng Nio, hiduplah terus di hati kami.
Penulis: Edhie Prayitno Ige, Jurnalis.
Post a Comment for " Mulan Van Java Sebuah fiksi sejarah"