Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Linkin Park di Jakarta: Nu-Metal yang Berusaha Bertahan di Era yang Berbeda

 


Dua puluh empat tahun setelah debutnya, Linkin Park kembali menginjakkan kaki di Jakarta dalam gelombang nostalgia yang dibalut energi modern. 


Garistebal.com- Stadion Madya Gelora Bung Karno, Minggu malam (16/2/2025), menjadi saksi dari upaya band ini mempertahankan relevansinya dalam skena musik rock dan metal, kali ini dengan wajah baru. Konser ini bukan hanya menjadi perayaan bagi para penggemar lama, tetapi juga menjadi tantangan bagi band yang kini membawa formasi yang berbeda.

Sebagai seseorang yang tumbuh dengan eksistensi metal tahun 80-an dan 90-an—dari ketukan cepat Metallica hingga eksperimentasi progresif Dream Theater—saya tidak pernah benar-benar hanyut ke dalam gelombang nu-metal yang Linkin Park bawa di awal 2000-an. Namun, ada rasa penasaran yang mendorong saya untuk berdiri di antara ribuan penonton malam itu. Sehari sebelumnya, saya telah menyaksikan kembalinya Green Day setelah 29 tahun absen dari Jakarta, dan sekarang, saya ingin melihat apakah Linkin Park masih punya api yang sama tanpa Chester Bennington dan beberapa anggota orisinal lainnya.



Dari "Somewhere I Belong" ke "In The End"

Konser dimulai dengan "Somewhere I Belong", lagu yang di awal 2000-an menjadi anthem bagi generasi remaja yang mencari identitas di antara distorsi gitar dan ketukan drum yang agresif. Dari awal, energi yang ditampilkan oleh Mike Shinoda dan personel lainnya cukup solid. Emily Armstrong, vokalis baru yang menggantikan Chester, masuk dengan penuh tenaga, mencoba menyesuaikan diri dengan ekspektasi yang begitu besar dari para penggemar lama.


Namun, ini bukan konser yang mudah bagi Armstrong. Suara scream Chester adalah sesuatu yang hampir mustahil untuk direplikasi dengan presisi yang sama. Pada lagu-lagu seperti "Faint" dan "One Step Closer", Emily berusaha memberikan nyawa baru, meskipun tetap terasa ada celah yang tidak bisa sepenuhnya diisi. Keputusannya untuk tidak berusaha menjadi Chester kedua adalah langkah cerdas, tetapi tantangan bagi Linkin Park adalah bagaimana mereka bisa menjadikan suara Emily sebagai identitas baru yang tetap diterima oleh penggemar lama.


Mike Shinoda, sang arsitek Linkin Park, tetap menjadi jangkar utama band ini. Sejak awal, ia menjaga komunikasi dengan penonton, memastikan bahwa energi tetap mengalir. Ketika lagu "In The End" dibawakan, suara ribuan orang yang ikut bernyanyi menciptakan momen paling emosional sepanjang malam itu. Tidak ada Chester di atas panggung, tapi ada kehadiran yang masih terasa dalam setiap lirik yang diteriakkan penonton.



Relevansi Linkin Park di Era Baru

Linkin Park juga menyelipkan beberapa lagu dari album terbaru mereka, From Zero. Lagu-lagu seperti "The Emptiness Machine" dan "Overflow" mencoba memperlihatkan evolusi band ini, tetapi seperti yang terjadi pada banyak band era 2000-an, tantangannya adalah apakah musik baru mereka bisa berdiri sendiri di tengah bayang-bayang kejayaan masa lalu.


Dari segi produksi, konser ini solid. Tata cahaya, sound system, dan interaksi panggung terasa cukup imersif. Tidak ada kekacauan teknis yang mengganggu pengalaman. Saya belum ada pengalaman sebelumnya menyaksikan konser di Indonesia dengan tata cahaya, sound system, video animasi dan kemegahan panggung semewah Linkin Park ini. Kalau saya boleh membandingkan, kemegahan ini sekelas Konser Pulse-nya Pink Floyd yang baru bisa saya saksikan di DVD mereka. Jika dibandingkan dengan konser Green Day malam sebelumnya, Linkin Park terasa lebih terorganisir dalam pendekatan musikal mereka, meskipun dalam hal atmosfer dan spontanitas, Green Day masih unggul.


Emily Armstrong tampak lebih nyaman di babak kedua konser, setelah jeda singkat yang diisi dengan video interaksi penonton di layar besar. Pada bagian ini, ia mulai sedikit lebih berani dalam menyapa audiens, meskipun sebagian besar komunikasi masih ditangani oleh Mike Shinoda. Lagu-lagu yang tersisa, seperti "Breaking the Habit" dan "Somewhere I Belong", dieksekusi dengan baik, meskipun beberapa lagu dari album terbaru masih belum mendapat respons sebesar katalog lama mereka.


Di beberapa bagian konser, terdapat momen-momen yang menunjukkan bahwa Linkin Park masih mencari keseimbangan antara mempertahankan kejayaan lama dengan menyesuaikan diri dengan era baru. Salah satu momen yang cukup menarik adalah ketika Emily mencoba mengambil peran yang lebih besar dalam membawakan lagu-lagu lawas, tetapi tetap memberi ruang bagi Mike Shinoda untuk mengisi beberapa bagian yang lebih emosional.


Saat encore dimulai, "Bleed It Out" menjadi lagu pamungkas yang mengakhiri malam dengan ledakan energi. Emily berdiri di atas drum Collin Britain, mengangkat tangan kanan ke udara sebagai simbol era baru Linkin Park. Mike Shinoda, di sisi lain panggung, membagikan pick gitar kepada para penggemar yang berdesakan di barisan depan. Momen itu seperti sebuah pernyataan: mereka masih di sini, masih eksis, dan masih memiliki api untuk menyala lebih lama.


Apakah mereka berhasil? Itu masih menjadi pertanyaan yang butuh waktu untuk dijawab. Tapi untuk malam itu, setidaknya Jakarta menjadi saksi bahwa api mereka belum sepenuhnya padam. Dari stadion yang penuh, sorakan yang bergema, hingga penonton yang masih menyanyikan lirik "In The End" saat berjalan pulang, konser ini adalah bukti bahwa meskipun zaman berubah, musik Linkin Park tetap memiliki tempat di hati banyak orang.


Penulis: Denny Septiviant, Politisi

Post a Comment for " Linkin Park di Jakarta: Nu-Metal yang Berusaha Bertahan di Era yang Berbeda"