Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Era Kegelapan



 

Kegelapan perilaku ini berbahaya, karena ia menyesatkan tanpa terasa, seperti bait puisi yang indah di mulut tapi kosong di hati.

Garistebal.com- Saya pernah berada dalam sebuah etape gelap, sebuah tahapan yang saya tidak mengerti bahkan sekadar kepantasan diri sendiri. Saat SMA, saya pernah ditegur teman sekelas agar saat membaca puisi di panggung agar tidak terlalu berlebihan. 

"Yang wajar saja," katanya. 

Saya tersinggung. Belakangan saya sadar bahwa ketersinggungan itu karena ia menyuarakan kebenaran yang tak ingin saya dengar. Saya sendiri memang merasa gaya saya berlebihan, hanya memuaskan diri sendiri. Itulah periode gelap artistik saya dalam membaca puisi.

Secara teknis, saya membaik dari waktu ke waktu. Irama, intonasi, dan penghayatan saya makin terasah. Namun, ternyata secara perilaku, saya justru memburuk. Semakin mahir saya membaca puisi, semakin anti-kritik saya menjadi. Apa yang saya anggap sebagai ekspresi jiwa ternyata hanyalah pemandangan yang memancing tawa atau iba bagi penonton. 

Asyik hanya untuk diri sendiri, saya tak sadar menderita penyakit norak yang perlahan berubah menjadi keangkuhan. Keren di mata sendiri, tapi rapuh ketika disentuh secuil kritik.

Kini, membaca puisi menjadi metafora hidup saya. Semakin lancar kata-kata mengalir, semakin mudah saya jatuh ke dalam ilusi kehebatan. Kritik dari pendengar yang saya anggap tak selevel membuat saya kesal, saran dari yang setara saya curigai, dan pujian dari yang lebih hebat malah memicu iri.

Kegelapan perilaku ini berbahaya, karena ia menyesatkan tanpa terasa, seperti bait puisi yang indah di mulut tapi kosong di hati.

Ternyata era kegelapan menjangkiti hampir seluruh manusia. Mari kita lihat yang disebut sebagai pemerintah di tahun 2025. Mereka, seperti pembaca puisi yang terlalu percaya diri, berdiri di panggung kekuasaan, melantunkan janji-janji manis dengan irama yang terpoles. 

"Kami membawa kemajuan," kata mereka, sembari menunjuk proyek megah dan angka-angka statistik. 

Tapi rakyat, sebagai pendengar, hanya bisa menggeleng. Terdengar indah, tapi tak terasa nyata. Ketika rakyat berani mengkritik—soal banjir yang tak selesai, harga kebutuhan yang melonjak, atau udara yang makin kotor—pemerintah tersinggung. 

"Yang wajar saja, jangan terlalu menuntut," katanya.

Anti-kritik mereka mirip seperti saya dulu: rapuh di balik gaya yang dipoles. Dulu, saya salah sangka bahwa bacaan puisi saya adalah seni, padahal itu cuma sorak-sorai untuk ego. 

Pemerintah pun demikian, mereka menyangka kebijakan mereka adalah kebaikan, padahal rakyat melihatnya sebagai drama panggung belaka. 

Anggaran triliunan untuk proyek prestise—katakanlah ibu kota baru atau acara-acara seremonial—dibaca dengan intonasi penuh semangat, tapi saat rakyat bertanya soal sekolah ambruk atau rumah sakit penuh, tiba-tiba nada mereka berubah gusar. 

Kritik kecil dari rakyat atau media dianggap sebagai serangan pribadi, seolah bait indah mereka tak boleh disentuh cacat.

Saya pernah merasa puisi saya layak dipuji, lalu tersakiti saat dikoreksi. Pemerintah juga begitu. Mereka merasa telah melantunkan stanza-stanza keberhasilan—lapangan kerja, subsidi, infrastruktur—lalu marah ketika rakyat tak bertepuk tangan. 

"Kami sudah berusaha," kata mereka, "mengapa kalian tak puas?" 

Mereka lupa bahwa menyejahterakan rakyat bukan prestasi yang harus dirayakan dengan puisi panjang dan sorak sorai. Itu tugas mereka, imbalan atas pajak yang rakyat setorkan dengan keringat dan keluh. Setiap rupiah pajak adalah amanah, bukan hadiah yang memberi mereka hak untuk berbangga. 

Tapi nyatanya, kesombongan mereka makin telanjang. Dalam pidato di HUT ke-17 Gerindra, Februari 2025, Presiden Prabowo dengan ketus melontar "Ndasmu" kepada pengkritik kabinetnya yang dianggap gemuk—sebuah ejekan kasar yang disambut tawa pejabat, tapi menyisakan luka di hati rakyat. 

Itu bukan candaan, itu cermin arogansi: kritik rakyat, yang membayar gaji mereka, malah dibalas dengan hinaan.

Lebih jauh lagi, ada kutukan tersembunyi bagi mereka—para penerima gaji dan tunjangan dari pajak itu—yang berperilaku buruk pada rakyat. Setiap kata menjadi sombong, setiap kebijakan selalu mengabaikan jerit pembayar pajak, adalah bait-bait yang mengundang murka. 

Mereka hidup dari keringat rakyat, tapi malah anti-kritik, menutup telinga saat korupsi terkuak atau janji-janji menguap. Kutukan itu nyata: kepercayaan rakyat yang runtuh, suara protes yang kian keras, dan sejarah yang tak akan memaafkan. Semakin lantang mereka berbicara, semakin mudah mereka terluka oleh kenyataan yang tak bisa disembunyikan.

Ini pasti ada yang keliru. Kegelapan ini—baik dalam diri saya maupun dalam cara pemerintah memandang dirinya—mengaburkan makna. 

Saya menyangka puisi saya menyentuh hati, padahal hanya memenuhi ego. Mereka menyangka kebijakan mereka menyelamatkan rakyat, padahal hanya menyelamatkan citra mereka belaka. Di tahun 2025, ketika krisis iklim makin keras bersuara, ketimpangan makin menganga, dan kepercayaan rakyat makin tipis, kegelapan itu nyata: dalam rapat-rapat tertutup, dalam data yang diputarbalik, dalam janji yang tak pernah jadi puisi utuh. 

Hidup menjadi penuh purbasangka, dan rakyat terus menjadi pendengar yang dipaksa diam, menatap panggung yang semakin jauh dari kenyataan, menanti kutukan itu bekerja. 


Penulis: Edhie Prayitno Ige, Jurnalis.


Post a Comment for " Era Kegelapan "