Dari Barcode ke QR Art: Codeisme, Seni yang Merangkai Alam Semesta
Apa itu "codeisme"? Istilah ini muncul sebagai cara memahami QR Art dan inovasi serupa. Codeisme adalah pendekatan pengkodean yang rumit untuk menciptakan grafis maksimal—bukan sekadar fungsi, tapi juga keindahan.
Garistebal.com- Pernahkah kamu memindai kode QR di kemasan produk atau tiket
konser, lalu bertanya-tanya bagaimana garis-garis dan kotak-kotak kecil itu
bisa menyimpan begitu banyak informasi? Teknologi pengkodean ini punya sejarah
panjang yang dimulai dari garis sederhana hingga karya seni digital yang
memukau. Dan di balik semua itu, ada konsep menarik bernama
"codeisme" yang bahkan dikaitkan dengan alam semesta. Mari kita
telusuri perjalanan ini!
Berawal dari Barcode
Cerita dimulai pada tahun 1940-an, ketika Norman Joseph
Woodland, seorang insinyur Amerika, terinspirasi oleh kode Morse. Bersama
Bernard Silver, ia mengembangkan ide untuk mengotomatisasi pembacaan data
produk. Hasilnya? Barcode, deretan garis vertikal hitam-putih yang dipatenkan
pada 7 Oktober 1952. Barcode ini sederhana tapi revolusioner karena garis-garis
itu bisa dipindai untuk diterjemahkan menjadi data digital oleh komputer.
Hingga kini, barcode masih setia menemani kita. Dari ISBN buku,
label harga, hingga inventaris gudang, teknologi ini mempermudah identifikasi
produk, pelacakan stok, dan transaksi di kasir. Ada banyak jenis barcode,
seperti Code 39, Code 128, EAN-13, dan UPC, tapi fungsinya tetap sama: praktis
dan efisien.
Lompatan QR code
Lalu, dunia bergerak lebih jauh dengan QR Code, diciptakan
oleh Masahiro Hara, insinyur Jepang dari Denso Wave, pada tahun 1994. Berbeda
dengan barcode yang hanya satu dimensi (1D), QR Code bersifat dua dimensi (2D),
terdiri dari titik-titik hitam-putih dalam pola kotak. Awalnya dirancang untuk
melacak komponen otomotif di Jepang. QR Code ternyata jauh lebih hebat: ia bisa
menyimpan ribuan karakter data dan dipindai dari segala arah.
Sekarang, QR Code ada di mana-mana. Bayar tagihan di kafe?
Scan QR. Mau masuk situs web atau unduh aplikasi? Scan lagi. Dari tiket masuk
hingga verifikasi akun, QR Code jadi jembatan cepat antara dunia fisik dan
digital. Keunggulannya jelas: lebih banyak informasi, lebih mudah digunakan.
Kode Bertemu Seni
Tapi inovasi tak berhenti di situ. Masuklah QR Art, sebuah temuan
dari Doddy Hernanto, seniman
multitalenta asal Surabaya yang lebih dikenal sebagai Mr D. Sebelum menciptakan
QR Art, Doddy sudah dikenal sebagai musisi—pernah jadi additional keyboard
player di band Boomerang—dan inovator. Ia bereksperimen dengan suara sintetis
(yang kemudian dikenal sebagai MIDI) dan memodifikasi gitar untuk dimainkan
dengan satu jari, sebuah teknik yang ia pamerkan di akun Facebook-nya,
"Mrd Main Gitar Satujari."
Doddy mengambil QR Code karya Hara dan menambahkan sentuhan
seni. Ia melukis pola QR secara manual, lalu mengkodekannya dengan komputer
agar tetap bisa dipindai. Hasilnya? Karya seni yang indah sekaligus fungsional.
Sebelum itu, ia mencoba mengkode lukisan menjadi gerbang informasi.
Salah satu contohnya ada di sampul buku Negeri Satire (terbitan Cipta Prima
Nusantara), yang saat dipindai berubah jadi animasi.
Itu adalah codeisme. Ia lalu menyederhanakan temuannya yang
mengkode lukisan menjadi QR Art. Dipatenkan pada 2021 dengan nomor HKI
000296961, QR Art kini diminati tokoh terkenal dan pejabat untuk merekam karya
mereka secara digital. Harganya lebih mahal karena proses manual, tapi
keunikannya tak tertandingi.
Filosofi di Balik Kerumitan
Lalu, apa itu "codeisme"? Istilah ini muncul
sebagai cara memahami QR Art dan inovasi serupa. Codeisme adalah pendekatan
pengkodean yang rumit untuk menciptakan grafis maksimal—bukan sekadar fungsi,
tapi juga keindahan.
Bayangkan lukisan QR Art yang memadukan logika kode dengan
estetika visual, atau animasi kompleks yang lahir dari algoritma cerdas. Ini
mirip dengan "creative coding," tapi dengan fokus pada hasil yang
memanjakan mata.
Codeisme tak berhenti di teknologi. Doddy Hernanto
memproklamirkan "QR Art is codeisme, codeisme is universe." Apa
maksudnya? QR Art adalah wujud codeisme karena ia menggabungkan kerumitan kode
dengan seni grafis.
Sementara itu, alam semesta (universe) adalah
"kode" raksasa yang menghasilkan keindahan kosmik—galaksi, fraktal
alami, hukum fisika. Dengan kata lain, QR Art adalah cerminan kecil dari alam
semesta: sebuah sistem kompleks yang menyimpan makna dan estetika.
Seni, Teknologi, dan Alam Semesta
Perjalanan dari barcode ke QR Art, lalu ke konsep codeisme,
menunjukkan betapa manusia terus mendorong batasan. Norman Woodland memulai
dengan garis sederhana, Masahiro Hara melompat ke pola kotak, dan Doddy
Hernanto membawanya ke ranah seni. Codeisme mengajak kita melihat bahwa
teknologi dan seni tak pernah terpisah—keduanya adalah cara kita meniru alam
semesta.
Jadi, lain kali kamu memindai QR Art dan melihat animasi
cantik atau tautan ke karya seseorang, ingatlah: itu bukan sekadar kode. Itu
adalah "alam semesta kecil" yang diciptakan manusia, penuh makna dan
keindahan.
Penulis: Edhie Prayitno Ige, Jurnalis
Post a Comment for "Dari Barcode ke QR Art: Codeisme, Seni yang Merangkai Alam Semesta"