Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Dominus Litis dan Kontroversi RUU KUHAP di Indonesia

 


DPR sedang menggodok pembaharuan RUU KUHAP yang baru. Revisi KUHAP lama yang telah berusia 44 tahun memang perlu dilakukan untuk mengikuti dinamisasi jaman. Meski begitu, pembaruan RUU KUHAP kini menuai pro kontra.


GARISTEBAL.COM-Asas dominus litis adalah prinsip fundamental dalam sistem peradilan pidana yang menegaskan bahwa jaksa memiliki kendali penuh atas penuntutan perkara. Dalam sistem hukum kontinental yang dianut Indonesia, asas ini memastikan bahwa hanya perkara yang memiliki dasar hukum kuat yang dapat dibawa ke pengadilan.   


Sejarah Asas Dominus Litis

Asas dominus litis berasal dari sistem hukum kontinental Eropa, terutama dari tradisi hukum Perancis dan Jerman, di mana jaksa memiliki kendali penuh atas proses penuntutan. Dalam sistem ini, jaksa bertindak sebagai pengendali perkara, memastikan bahwa hanya kasus yang memiliki dasar hukum kuat yang diajukan ke pengadilan.


Di Indonesia, konsep ini diadopsi dalam sistem hukum pidana yang diwarisi dari Belanda. KUHAP 1981 mengatur bahwa jaksa memiliki kewenangan dalam tahap penuntutan, sementara penyidikan dilakukan oleh kepolisian. Namun, dalam perkembangannya, muncul lembaga seperti KPK yang memiliki kewenangan penyelidikan dan penuntutan sendiri, yang pada beberapa kasus mengurangi dominasi Kejaksaan dalam proses hukum.


Dalam sistem hukum di berbagai negara, penerapan asas dominus litis bervariasi. Di Prancis, jaksa memiliki peran utama dalam menuntut perkara, tetapi hakim investigatif (juge d’instruction) juga berwenang mengawasi dan mengarahkan penyidikan. Sementara di Jerman, jaksa bekerja lebih independen namun tetap dalam koordinasi dengan lembaga peradilan. Model-model ini menunjukkan bahwa dominus litis dapat diterapkan dengan berbagai mekanisme pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.


Polemik RUU KUHAP

Polemik ini semakin mengemuka dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang menuai pro dan kontra. Para pendukung menilai revisi ini diperlukan untuk memperbarui KUHAP yang telah berlaku sejak 1981 dan dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum dan teknologi. Koalisi masyarakat sipil mengidentifikasi 177 pasal dalam KUHAP lama yang dinilai perlu diperbaiki guna memperkuat mekanisme checks and balances dalam sistem peradilan pidana. Pemerintah pun menegaskan bahwa pembentukan RUU ini telah melibatkan berbagai pihak untuk memastikan prinsip demokrasi dan kemanusiaan tetap diutamakan.  


Namun, kritik keras datang dari berbagai pihak yang khawatir bahwa revisi ini justru akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Lembaga seperti ICJR menyoroti pengurangan kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dan hilangnya fungsi penyelidikan, yang dapat menghambat penanganan kasus korupsi. Selain itu, revisi ini juga dianggap memberikan tambahan kewenangan yang berlebihan kepada aparat penegak hukum, yang berpotensi membahayakan kebebasan sipil.  


Dalam sebuah diskusi bertema Pro Kontra Asas Dominus Litis dalam Perubahan KUHAP di Indonesia yang diselenggarakan oleh UKM Debat Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada 17 Februari lalu, kritik terhadap RUU KUHAP semakin mengerucut. Salah satu sorotan utama adalah peran dominan lembaga Kejaksaan yang, sesuai Pasal 8 RUU KUHAP, akan memiliki peran besar dalam menentukan kewenangan penyidikan.  


Dede Indraswara, SH, seorang praktisi hukum, menilai bahwa asas dominus litis dalam RUU KUHAP berpotensi mereduksi kewenangan Polri dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, karena wewenang tersebut akan diambil alih oleh jaksa sebagai penuntut umum. Bahkan, Kejaksaan akan memiliki kewenangan super action, termasuk menuntut peradilan militer. Hal ini dikhawatirkan akan membuat kasus-kasus yang melibatkan oknum kejaksaan sulit diintervensi, karena luasnya kewenangan yang dimiliki.  


Sementara itu, Dr. Bagus Hendradi Kusuma, SH, MH, ahli hukum pidana dari UNNES, mengusulkan konsep Dominus Litis Hybrid sebagai solusi. Menurutnya, hakim pengawas perlu dilibatkan sejak tahap penyidikan hingga penuntutan guna menyeimbangkan kewenangan jaksa dalam sistem peradilan pidana. Dengan skema ini, penuntut umum tidak memiliki kewenangan absolut dalam menentukan jalannya perkara pidana.  


RUU KUHAP memang perlu direvisi agar lebih relevan dengan perkembangan hukum saat ini. Namun, perubahan ini harus dilakukan dengan hati-hati, dengan memastikan keseimbangan antara kewenangan jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya. Jika tidak, revisi ini justru bisa menciptakan ketimpangan kewenangan yang berpotensi melemahkan prinsip keadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.


Penulis: Ardiyansyah Harjunantio

Jurnalis.

Post a Comment for " Sejarah Dominus Litis dan Kontroversi RUU KUHAP di Indonesia"