Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Melacak Diskriminasi Hukum dalam Bumi Manusia

 


Nyai Ontosoroh adalah representasi dari kaum pribumi yang berusaha mendobrak batasan hukum kolonial, tetapi tetap dibatasi oleh sistem yang tidak mengakui hak-haknya.


GARISTEBAL.COM- Blora, tanah kelahiran Pramoedya Ananta Toer, senantiasa merawat ingatan. Kemarin, dalam rangka seabad Pram, saya duduk berdesakan di Pendopo Kabupaten, menonton monolog Nyai Ontosoroh. Tatapan tajam Happy Salma -pemeran Nyai Ontosoroh- menembus masa, merobek batas fiksi dan kenyataan. Ia berbicara, bukan sekadar sebagai karakter dalam Bumi Manusia, melainkan sebagai suara yang tak kunjung padam dari sejarah yang selalu mengulang dirinya.

Di panggung itu, saya kembali mendengar amarah yang pernah dituangkan Pram di lembar-lembar novelnya. Nyai Ontosoroh, perempuan yang dipaksa menjadi nyai, yang harus menerima takdir sebagai peliharaan seorang meneer Belanda, yang saat berjuang mempertahankan hak pengasuhan anak dan harta perusahaan perkebunan yang dikelola-nya, dihadang oleh tembok hukum yang tak berpihak pada pribumi. Saya teringat bagaimana hukum kolonial menempatkan manusia dalam kelas-kelas yang berbeda, bagaimana keadilan bagi seorang pribumi bukanlah hak, melainkan kemurahan hati dari mereka yang berkuasa.

Lalu saya bertanya: apakah tembok itu masih berdiri?

Nyai Ontosoroh tidak memilih jalan hidupnya. Ia dijual oleh ayahnya, seorang pribumi yang tunduk pada sistem kolonial yang lebih mengutamakan kelangsungan ekonomi keluarga dibandingkan martabat anaknya. Dalam Bumi Manusia, Pram menuliskan bagaimana Nyai Ontosoroh melawan keadaan itu:

"Seorang perempuan harus berpendidikan, harus cakap, harus bisa berdiri sendiri, kalau tidak, dia hanya akan menjadi korban zaman."

Namun, tidak ada pendidikan, kecakapan, atau keberanian yang bisa menolongnya dari ketidakadilan hukum kolonial. Saat suaminya, Tuan Mellema, meninggal, hak-haknya atas harta dan bahkan anaknya, Annelies, lenyap begitu saja.

Pengadilan kolonial memutuskan bahwa Annelies, meskipun lahir dari seorang ibu pribumi, tetaplah warga Eropa karena ayahnya seorang Belanda. Hak asuhnya diambil oleh keluarga ayahnya di Eropa. Nyai Ontosoroh, perempuan yang membesarkan dan mencintai Annelies, tidak memiliki hak hukum atas anaknya. Seolah darahnya tidak cukup bernilai untuk menetapkan ikatan itu sebagai sah di mata hukum.

Sementara perusahaan beserta seluruh aset yang menyertainya jatuh ke tangan anak kandung mendiang Mellema dari perkawinan pertama dengan seorang perempuan keturunan Eropa. Tanpa menyisakan sedikitpun hak hukum Nyai Ontosoroh mengelola aset yang dia kelola sejak dari perusahaan sederhana. 


Segregasi Hukum Kolonial

Kisah Nyai Ontosoroh bukan sekadar fiksi. Secara legal historis ia adalah pantulan dari realitas hukum kolonial yang tertuang dalam Indische Staatsregeling (IS) yang pada dasarnya menciptakan sistem segregasi hukum berdasarkan ras dan status sosial. Pada Pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda diklasifikasikan menjadi tiga golongan:

1. Golongan Eropa (termasuk orang-orang Belanda dan keturunannya)

2. Golongan Timur Asing (seperti Tionghoa, Arab, dan India)

3. Golongan Pribumi (penduduk asli Hindia Belanda)

Struktur ini bukan sekadar administratif, tetapi menentukan sistem hukum yang berlaku bagi setiap golongan dan berimplikasi dahsyat terhadap kultur hukum di tanah jajahan. 

Dalam Bumi Manusia, klasifikasi ini berdampak langsung pada kehidupan Nyai Ontosoroh dan anaknya, Annelies Mellema. Meskipun Annelies adalah anak kandung Nyai Ontosoroh, hukum kolonial menempatkannya sebagai bagian dari golongan Eropa karena ayahnya, Herman Mellema, adalah orang Belanda. Akibatnya, ketika Herman Mellema meninggal, hak asuh atas Annelies tidak jatuh kepada ibunya, tetapi kepada perwakilan hukum ayahnya di Eropa. meskipun Ontosoroh lebih cakap dalam hal perwalian dan lebih kaya, tetaplah ia seorang pribumi yang tunduk pada hukum adat dan tidak memiliki hak dalam hukum perdata Eropa. 

Karena itulah, ketika ia berjuang mempertahankan anak dan perusahaan-nya, ia dihadapkan pada tembok hukum kolonial yang tidak berpihak padanya.

"Tidak ada keadilan bagi pribumi. Yang ada hanya kehendak mereka yang berkuasa."

Hukum kolonial adalah alat untuk mempertahankan dominasi. Ia tidak lahir untuk melindungi semua orang, tetapi untuk mengukuhkan kekuasaan dan membenarkan ketidakadilan sistemik. Kasus ini menunjukkan bagaimana hukum kolonial tidak memberikan hak kepada perempuan pribumi, bahkan terhadap anak yang mereka lahirkan dan besarkan sendiri.

“Seorang pribumi tak bisa menuntut keadilan jika hukum tak mengenalinya sebagai manusia penuh.” — Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.

Secara politik hukum, IS dirancang bukan hanya untuk mengatur masyarakat kolonial, tetapi juga untuk mempertahankan dominasi Belanda atas pribumi. Pasal 131 IS, misalnya, menyatakan:

“Hukum yang berlaku bagi penduduk Hindia Belanda harus didasarkan pada pemisahan antara hukum untuk orang Eropa dan hukum untuk pribumi serta Timur Asing.”

Ini berarti bahwa tidak hanya hak asuh anak yang dipengaruhi oleh sistem ini, tetapi juga hak-hak ekonomi dan hukum lainnya. Seorang perempuan pribumi seperti Nyai Ontosoroh, meskipun memiliki kecakapan dalam mengelola perusahaan suaminya, tetap tidak memiliki status hukum yang setara dengan seorang istri Eropa dalam hukum perdata Belanda.

Menurut Prof. Dr. C. Fasseur, seorang sejarawan hukum kolonial Belanda:

“Hukum kolonial dirancang bukan untuk memberi keadilan bagi semua, tetapi untuk memastikan bahwa ketimpangan antara orang Eropa dan pribumi tetap berlangsung.”

Diskriminasi ini juga ditegaskan oleh B. J. Boland, seorang ahli hukum Hindia Belanda, yang mencatat bahwa sistem hukum kolonial adalah:

"Alat politik yang dipoles dengan bahasa hukum untuk melegitimasi pembedaan kelas sosial dan rasial."


Menyudahi Diskriminasi Hukum: Pendekatan Post-Kolonial

Indonesia telah merdeka, tetapi beberapa warisan hukum kolonial tetap bertahan. Aníbal Quijano, dalam konsepnya tentang Coloniality of Power, menyatakan bahwa:

"Kolonialisme tidak hanya meninggalkan warisan ekonomi dan politik, tetapi juga sistem pengetahuan dan hukum yang tetap bertahan meskipun negara telah merdeka."

Dan ini nampak nyata dalam KUHPerdata, KUHP, dan KUHDagang kita paska Kemerdekaan yang masih mengacu pada hukum kolonial Belanda. Walau akhir-akhir ini sistem hukum pidana sudah mulai merujuk pada sistem KUHP baru, namun sistem hukum perdata masih belum sepenuhnya meninggalkan prinsip penggolongan penduduk yang diwariskan oleh IS.

Dalam hukum waris, misalnya, pengaruh hukum kolonial masih terasa. Kasus-kasus yang melibatkan keturunan campuran sering kali menghadapi kesulitan dalam penentuan status hukum mereka. Pluralisme hukum yang diwariskan oleh sistem kolonial juga masih menjadi tantangan dalam unifikasi hukum nasional.

Bagaimana kita bisa benar-benar merdeka dari hukum kolonial?

Pendekatan post-kolonial menawarkan cara untuk membaca ulang dan merombak struktur dan kultur hukum yang masih mengandung residu kolonialisme. Kita harus bertanya: apakah hukum yang kita gunakan benar-benar mencerminkan keadilan, atau sekadar melanjutkan hierarki yang diwariskan oleh sistem kolonial?

Edward Said, dalam Orientalism, menyoroti bagaimana kolonialisme tidak hanya menaklukkan secara fisik, tetapi juga membentuk cara berpikir masyarakat jajahan. Said menyatakan:

"Colonialism created a discourse in which the colonized were always depicted as the 'Other'—inferior, backward, and incapable of self-rule."

Hal ini juga tampak dalam sistem hukum kolonial yang membedakan penduduk berdasarkan ras dan status sosial.

Homi K. Bhabha dalam The Location of Culture mengkritik bagaimana hukum kolonial tidak sekadar mengatur, tetapi juga menciptakan subjek-subjek yang terpecah antara identitas pribumi dan hukum Eropa. Ia menulis:

"The colonial subject is always caught in a liminal space, neither fully belonging to the colonizer's world nor completely free from it."

Inilah yang dialami Nyai Ontosoroh—terampil, berpendidikan, tetapi tetap dipinggirkan oleh sistem hukum yang tidak mengakui eksistensinya secara setara.

Gayatri Spivak dalam Can the Subaltern Speak? bahkan menyoroti bahwa hukum kolonial sering kali membungkam suara kelompok terpinggirkan, terutama perempuan pribumi:

"The subaltern cannot speak because their voices are systematically excluded from the structures of power and law."

Hal ini relevan dalam kasus Nyai Ontosoroh yang tidak diberikan ruang untuk menentukan nasib anaknya sendiri dalam sistem hukum kolonial.

Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, menjelaskan bahwa hukum kolonial tidak sekadar membedakan ras, tetapi juga menciptakan inferioritas psikologis bagi kaum pribumi:

“Kolonialisme tidak hanya memisahkan orang secara fisik melalui hukum, tetapi juga menciptakan jurang psikologis yang membuat pribumi merasa tidak layak untuk mendapatkan keadilan.”

Dalam konteks Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh adalah representasi dari kaum pribumi yang berusaha mendobrak batasan hukum kolonial, tetapi tetap dibatasi oleh sistem yang tidak mengakui hak-haknya. Namun hukum tersebut tidak berhasil menciptakan inferioritas psikologis kepada Ontosoroh dan Minke, walau secara hukum mereka kalah.  Tercermin dalam dialog Ontosoroh yang berkata kepada Minke -menantunya- , “Kita telah berjuang, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." 

Untuk benar-benar lepas dari diskriminasi hukum kolonial, kita perlu melakukan dekonstruksi hukum yang masih berakar pada sistem warisan kolonial. Hukum harus ditulis ulang bukan hanya dalam teks, tetapi juga dalam praktik sosial dan kesadaran kolektif bangsa.

Dalam Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh melawan dengan cara yang ia bisa dan pahami sebagai seorang pribumi, dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Paska menonton monolog, pertanyaan reflektif-nya adalah: apakah kita masih ingin menunggu seabad lagi?


Penulis: Denny Septiviant, Politisi.


Post a Comment for "Melacak Diskriminasi Hukum dalam Bumi Manusia"