Kasus Sukatani dan Reproduksi Kuasa
Kasus Sukatani tidak sekadar persoalan sensor terhadap band punk lokal, tetapi mencerminkan konflik yang lebih luas dalam produksi, distribusi, dan kontrol makna di ruang publik.
Garistebal.com- Dari Purbalingga, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, band punk lokal Sukatani mendadak menjadi perbincangan karena lagu mereka “Bayar, Bayar, Bayar” dipaksa takedown di seluruh platform social media dan mereka diminta meminta maaf secara terbuka kepada institusi Kepolisian.
Genre musiknya memang tidak populer, post-punk dengan sentuhan new-wave, sebelum jadi viral saya tidak pernah mengenalnya. Karena gigs punk di Indonesia tidak populer dan hanya menyisakan beberapa band yang sering tampil, seperti Marjinal, Navicula dan Superman Is Dead.
Namun setelah menjadi viral, saya coba telusuri musik-musik mereka, beberapa nomer ternyata menarik juga untuk didengarkan. Tidak melulu distorsi gitar yang raw dan gebukan drum yang monoton seperti band punk pada umumnya, tapi ada sentuhan instrumen synth yang menjadikan keunikan musiknya. Musik mereka menggabungkan elemen gothic rock dengan melodi new romantic dan keceriaan synth-pop, menciptakan perpaduan unik yang mencerminkan keresahan sosial dan semangat perlawanan. Lirik-lirik mereka, yang disampaikan dalam dialek Banyumasan, secara lugas dan tajam mengangkat isu-isu sosial dan politik, menjadikan musik mereka lebih dari sekadar hiburan, tetapi juga sebagai medium advokasi dan refleksi kritis terhadap realitas masyarakat Indonesia. Namun karena ini band punk yang karena alasan idelogisnya menolak distribusi melalui major label, saya agak kesulitan mendapat rekaman fisiknya kecuali melalui platform digital. Saya anjurkan anda untuk membeli digital albumnya melalui beberapa platform musik yang tersedia untuk memahami musiknya secara utuh.
Melihat beberapa review band Sukatani ini, nampaknya mereka bukan sekadar grup musik yang biasa tampil di gig komunitas, lewat aktivisme dan self-censhorship yang viral beberapa hari ini, kini menjadi justru menjadi simbol perlawanan terhadap sensor dan represi. Lagu mereka,yang liriknya menyentil isu ketidakadilan sosial, dianggap "bermasalah" oleh aparat. Tidak lama setelah lagu itu viral, muncul tekanan agar band ini meminta maaf kepada institusi kepolisian dan menghentikan aktivitas distribusi lagunya.
Publik pun merespons. Tagar #KamiBersamaSukatani ramai di media sosial, didukung oleh musisi dan aktivis. Sejumlah band punk dari berbagai daerah menggelar aksi solidaritas, bahkan beberapa musisi nasional ikut bersuara.
Setelah kasus band Sukatani menjadi viral, Polda Jawa Tengah mengakui telah bertemu dengan personel band tersebut untuk meminta klarifikasi terkait lagu "Bayar Bayar Bayar", namun membantah adanya intimidasi dan menegaskan bahwa Polri tidak anti-kritik serta menghargai kebebasan berekspresi melalui seni. Divisi Propam Mabes Polri saat ini sedang memeriksa empat anggota Direktorat Reserse Siber Polda Jateng terkait dugaan intimidasi terhadap band Sukatani. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa Polri tidak anti-kritik dan bahkan mengajak band Sukatani untuk menjadi duta Polri dalam upaya perbaikan institusi dan pencegahan perilaku menyimpang di kalangan personel.
Sebenarnya sensor terhadap seni bukanlah hal baru di Indonesia. Sepanjang sejarahnya, rezim yang berkuasa sering kali menggunakan berbagai mekanisme untuk mengontrol ekspresi budaya. Jaman orde baru beberapa musisi sempat kena cekal seperti: Iwan Fals dan Kantata Takwa menghadapi pembatasan karena lagu-lagu mereka mengkritik pemerintah secara eksplisit, beberapa lagu seperti Bento, Wakil Rakyat (Iwan Fals) dan Bongkar dilarang diputar di radio-radio, dan pentas mereka dilarang di beberapa tempat.
Masih di era orde baru, Lagu "Pak Tua" milik grup art-rock Elpamas yang dirilis pada akhir 1980-an dianggap sebagai sindiran terhadap Presiden Soeharto, yang saat itu sudah berkuasa selama puluhan tahun. Karena liriknya yang menyentil pemimpin tua yang tidak mau turun, lagu ini langsung dicekal dari peredaran. Pencekalan juga terjadi pada lagu "Mimpi di Siang Bolong" milik Doel Sumbang. Karena dianggap terlalu frontal dalam menyindir situasi sosial dan politik Indonesia. Doel Sumbang memang dikenal sering menyisipkan kritik dalam lirik-lirik lagunya. Larangan lagu yang ‘agak laen’ di masa orde baru menimpa artis Betharia Sonata karena lagu yang dinyanyikannya "Hati yang Luka" dianggap "terlalu cengeng" oleh Menteri Penerangan Harmoko.
Sementara di jaman orde lama, grup musik Koes Bersaudara—yang kemudian dikenal sebagai Koes Plus—mengalami penahanan oleh pemerintah. Pada 29 Juni 1965, anggota Koes Bersaudara, yaitu Tonny, Yon, Yok, dan Nomo Koeswoyo, ditangkap dan dipenjara di Penjara Glodok selama sekitar tiga bulan. Penahanan ini disebabkan oleh kecenderungan mereka memainkan musik ala Barat, seperti lagu-lagu The Beatles dan Elvis Presley, yang pada saat itu dianggap bertentangan dengan kebijakan anti-Barat yang diterapkan oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno sendiri mengkritik musik Barat dengan istilah "ngak ngik ngok" dan melarang peredarannya di Indonesia.
Paska-reformasi pelarangan karya seni juga masih terjadi. Tercatat Film "The Act of Killing" (2012) karya Joshua Oppenheimer menghadapi berbagai hambatan distribusi karena mengangkat kekerasan negara dalam tragedi 1965. Paling mutakhir adalah lukisan Yos Suprapto yang baru-baru ini ditarik dari pameran Galeri Nasional, menunjukkan bahwa sensor Karya seni visual masih menjadi persoalan di era demokrasi.
Dalam konteks Indonesia sensor tidak selalu berbentuk larangan resmi; sering kali, tekanan sosial, ancaman administratif, atau regulasi industri menjadi cara yang lebih halus untuk membungkam ekspresi.
Sensor dalam Konteks Global
Di negara-negara demokrasi liberal, sensor juga terjadi, meski dalam bentuk yang berbeda. Sex Pistols pernah dilarang tayang di BBC pada 1977 karena "God Save The Queen" dan “Anarchy in the UK” dianggap menghina monarki dan melawan pemerintah konservatif saat itu.
Sementara di AS, Regulasi "Parental Advisory" pada 1985 menjadi bentuk sensor terselubung yang dilakukan melalui regulasi industri musik. Regulasi Parental Advisory: Explicit Content ini muncul sebagai respons terhadap tekanan kelompok konservatif yang menganggap lirik dalam musik rock, metal, dan hip-hop semakin vulgar dan berbahaya bagi moral anak muda. Inisiatif ini dipimpin oleh Parents Music Resource Center (PMRC), sebuah kelompok yang didirikan oleh istri-istri politisi, termasuk Tipper Gore, istri Al Gore. PMRC mengusulkan label peringatan untuk album yang mengandung lirik eksplisit, yang kemudian didukung oleh Recording Industry Association of America (RIAA). Namun, banyak musisi rock menentangnya karena dianggap sebagai bentuk sensor terselubung yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dan menghambat distribusi musik mereka. Tokoh seperti Dee Snider (Twisted Sister), Frank Zappa, dan John Denver secara terbuka mengkritik kebijakan ini dalam sidang Senat, menyebutnya sebagai langkah represif yang mengancam kebebasan artistik.
Meskipun akhirnya label Parental Advisory tetap diterapkan, protes dari para musisi menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya tentang peringatan bagi orang tua, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis untuk mengontrol ekspresi budaya dan menekan musik yang dianggap subversif.
Kasus band punk Pussy Riot di Rusia juga menunjukkan kecendrungan yang sama, Dimana musik punk dianggap subversif oleh rezim otoriter Putin. Pada 2012, tiga anggotanya dipenjara setelah aksi protes di Katedral Moskow yang mengkritik hubungan Gereja dan Putin. Tuduhan "hooliganisme bermotif kebencian agama" mencerminkan bagaimana negara menekan kebebasan berekspresi atas nama ketertiban. Seperti Sukatani, kasus ini menegaskan bahwa musik dapat menjadi alat perlawanan, sementara sensor berfungsi sebagai mekanisme kontrol ideologis.
Punk, Sensor, dan Kontrol Budaya
Kasus Sukatani tidak sekadar persoalan sensor terhadap band punk lokal, tetapi mencerminkan konflik yang lebih luas dalam produksi, distribusi, dan kontrol makna di ruang publik. Budaya bukan sekadar ekspresi estetika atau hiburan, tetapi juga arena pertarungan ideologi di mana kelompok dominan berusaha mempertahankan hegemoni mereka dengan membatasi wacana yang berpotensi mengancam stabilitas sosial-politik yang mereka ciptakan.
Dalam kajian budaya, musik punk sering kali dianggap sebagai bentuk counter-hegemonic discourse—narasi yang menantang dominasi ideologis negara dan kapital. Stuart Hall (1997) dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices menyatakan bahwa makna tidak pernah statis; ia selalu dinegosiasikan dalam konteks sosialnya. Sukatani, dengan lirik-lirik yang menyentil ketidakadilan sosial, menegosiasikan ulang makna “kebebasan berekspresi” dalam konteks negara yang masih menerapkan sensor terselubung.
Musik punk bukan hanya sekadar ekspresi seni, tetapi juga symbolic resistance—sebuah bentuk perlawanan simbolik terhadap struktur kekuasaan. Dick Hebdige (1979) dalam Subculture: The Meaning of Style menjelaskan bahwa subkultur sering kali menggunakan estetika, gaya, dan ekspresi seni sebagai strategi untuk menantang nilai-nilai arus utama (mainstream). Dengan memainkan post-punk dan new wave, Sukatani tidak hanya membangun identitas subkultural, tetapi juga menegaskan posisi mereka sebagai bagian dari gerakan perlawanan budaya.
Antonio Gramsci (1971) dalam Prison Notebooks menyoroti bahwa kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui represi fisik (coercion), tetapi juga melalui dominasi ideologis (consent). Negara dan institusi berkuasa menggunakan berbagai mekanisme untuk mengontrol wacana budaya agar tetap sesuai dengan kepentingan politik mereka. Dalam kasus Sukatani, sensor tidak dilakukan melalui pelarangan resmi, melainkan melalui tekanan administratif, ancaman terhadap panitia acara, dan ketakutan yang diciptakan oleh aparat.
Sensor ini bisa dikaitkan dengan konsep repressive state apparatus (RSA) dan ideological state apparatus (ISA) dari Louis Althusser (1971). Polisi dan aparat hukum berperan sebagai RSA yang melakukan kontrol langsung, sementara media dan regulasi seni berperan sebagai ISA yang secara halus membentuk opini publik agar menerima sensor sebagai sesuatu yang wajar.
Selain itu, Michel Foucault (1977) dalam Discipline and Punish menjelaskan bahwa kekuasaan modern tidak selalu bekerja melalui represi langsung, melainkan melalui pengawasan dan normalisasi. Dalam kasus ini, ketakutan yang diciptakan oleh negara membuat para musisi dan seniman melakukan sensor diri (self-censorship), yang pada akhirnya lebih efektif daripada larangan resmi.
Dalam konteks Indonesia, punk telah lama menjadi medium ekspresi politik dan sosial. Ariel Heryanto (2008) dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics menunjukkan bahwa budaya populer, termasuk musik, sering kali menjadi alat politik yang dapat menginspirasi gerakan sosial. Punk di Indonesia bukan sekadar adopsi dari Barat, tetapi telah mengalami lokalisasi dan menjadi bagian dari perlawanan terhadap berbagai bentuk represi—baik negara, kapitalisme, maupun norma sosial yang menindas.
Ketika memasuki ranah hukum, Critical Legal Studies (CLS) memandang hukum sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada. Roberto Unger menyoroti bahwa hukum bukanlah perangkat yang netral, tetapi merupakan konstruksi sosial yang dapat digunakan untuk menjustifikasi ketidakadilan. Duncan Kennedy menambahkan bahwa self-censorship adalah mekanisme represi yang tidak memerlukan regulasi eksplisit; cukup dengan ancaman dan tekanan psikologis, negara dapat menciptakan efek gentar yang efektif.
Franz Magnis-Suseno juga menekankan bahwa demokrasi tidak hanya soal kebebasan yang dijamin secara formal, tetapi juga sejauh mana negara benar-benar menghormati kebebasan tersebut dalam praktiknya. Jika hukum hanya digunakan sebagai alat formalitas sementara praktik di lapangan menunjukkan represi terselubung, maka demokrasi hanya menjadi ilusi. Kritik ini sejalan dengan pemikiran Michel Foucault tentang bagaimana kekuasaan bekerja melalui mekanisme pengawasan dan disiplin, menciptakan masyarakat yang secara internal membatasi dirinya sendiri tanpa perlu paksaan langsung dari negara.
Kasus Sukatani mengingatkan pada perlawanan yang dilakukan band-band punk sebelumnya, seperti Marjinal yang dikenal dengan kritiknya terhadap ketidakadilan ekonomi, atau Superman Is Dead yang beberapa kali menghadapi pembatasan karena sikap kritis mereka terhadap pemerintah. Perlawanan terhadap sensor dalam dunia musik punk bukan hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga menjadi bagian dari gerakan global yang lebih luas.
Implikasi Jangka Panjang dan Potensi Perlawanan Budaya
Jika dibiarkan, kasus Sukatani dapat menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Namun, sejarah menunjukkan bahwa perlawanan budaya selalu muncul sebagai respons terhadap represi. Seperti yang dijelaskan oleh Jacques Attali (1985) dalam Noise: The Political Economy of Music, musik tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat politik yang dapat mengubah lanskap sosial.
Dalam perspektif Cultural Studies, kasus Sukatani bukan hanya tentang satu band yang mengalami sensor, tetapi bagian dari dinamika yang lebih besar antara negara, masyarakat, dan produksi makna dalam budaya populer. Sensor yang mereka hadapi mencerminkan bagaimana negara terus berupaya mempertahankan hegemoni dengan membatasi wacana kritis dalam seni dan budaya.
Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa tidak ada hegemoni yang benar-benar absolut. Seperti yang dikatakan Gramsci, "Hegemoni selalu disertai dengan resistensi." Kasus Sukatani bisa menjadi momentum bagi gerakan yang lebih luas untuk mempertanyakan kembali batas-batas kebebasan berekspresi di Indonesia dan bagaimana musik dapat menjadi alat perlawanan yang efektif.
Penulis: Denny Septiviant - Politisi PKB
Post a Comment for " Kasus Sukatani dan Reproduksi Kuasa"