Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Perempuan Tua

 


Perang Aceh adalah cerita keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir. Begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap hari dihabiskan untuk berperang dan berperang.


Garistebal.com- Sudah lama tak pernah mendongeng. Malam ini sambil ngemil tahu Sumedang kiriman seorang kawan, saya dan anak saya ngobrol banyak tentang Sumedang. Hingga saya tergerak bercerita tentang isi sebuah buku.


Saat itu, 11 Desember 1906, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja kedatangan tiga tamu. Mereka adalah para tawanan titipan pemerintah Hindia Belanda. 


Seorang perempuan tua renta, rabun serta menderita encok, seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Wajah mereka sangat lelah namun terlihat tegar.


"Kayak bapak kalau honor kantor sudah habis ya?" celetuk anak wedok.


Saya tersenyum saja karena jelas saya kalah tegar.


Pakaian perempuan tua itu sangat lusuh karena satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.


Perempuan tua itu sangat taat beribadah. Salat dan ngaji tak pernah lupa. Pangeran Aria lalu menempatkannya di salah satu rumah guru ngaji.


"Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta penderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 6 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu," saya rehat sebentar, mencari minum.


Perempuan itu sudah menjalani perjalanan sangat panjang. Hingga ia meninggal dalam keadaan sangat damai dan tangan masih memegang tasbih. Ia masih berdzikir.


Ia lalu dimakamkan di Gunung Puyuh dekat pusat kota Sumedang. 


Saat tinggal di rumah seorang guru ngaji itu, perempuan tua sakit-sakitan itu nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajar mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung. 


Kadang mereka yang diajarnya membawakan pakaian atau makanan. Ia lalu dikenal dengan panggilan Ibu Perbu.


Tak seorangpun tahu, ibu Perbu sejatinya adalah orang penting yang menginspirasi banyak orang. Tak ada yang menduga bahwa perempuan tua sakit-sakitan itu adalah "The Queen of Aceh Battle" dari Perang Aceh (1873-1904).


Ya, ia adalah Tjoet Nyak Dhien. Sosok tegas dengan rencong di tangan yang terjun langsung ke medan perang. Pahlawan sejati tanpa kompromi yg tidak bisa menerima daerahnya dijajah. 


Hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien berada di kesunyian. Jauh dari tanah kelahiran dan orang-orang yg dicintai. 


Ia lahir dari keluarga bangsawan di Lampadang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia, keturunan perantau Minang pendatang dari Sumatera Barat ke Aceh. Ayahnya bermigrasi pada abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.


Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Usia 12 tahun, ia dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.


Perang Aceh pecah ketika tanggal 1 April 1873 . Saat itu F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh, dan Tjoet Nyak selalu terlibat.


Ketika Masjid Raya jatuh dan dibakar tentara kolonial, ia berseru:


“Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh! Lihatlah! Saksikan dengan matamu. Masjid kita dibakar! Tempat Ibadah kita dibinasakan! Mereka menentang Allah! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan! Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata."  (Szekely Lulofs, 1951:59).


Perang Aceh adalah cerita keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir. Begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap hari dihabiskan untuk berperang dan berperang.


Perang juga yang mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1870. 


Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.


Tetapi bagi Tjoet Nyak, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, atau Teungku Ibrahim Lamnga suaminya, bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia ayahnya, atau para lelaki Aceh. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat.


Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiran putri bangsawan itu hanya dicurahkan kepada perang mengusir penjajah.. Berpindah dari satu tempat persembunyian ke persembunyian yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain, kurang makan dan kurangnya perawatan membuat kondisi kesehatannya merosot. Kondisi pasukanpun tak jauh berbeda. 


Pasukan itu bertambah lemah. Pada 16 November 1905 persembunyiannya diserbu. Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak. Dengan usia yg telah menua, rabun dan sakit-sakitan, Tjoet Nyak memang tak bisa berbuat banyak. Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya, Tjoet Nyak tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.


Perjuangan Tjoet Nyak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing hingga banyak buku yg melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.


Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berbicara tentang persamaan hak yang bernama emansipasi perempuan.


Tjoet Nyak, "The Queen of Aceh Battle", wanita perkasa, pahlawan yang sebenarnya dari suatu realita jamannya. Kisahnya berakhir di negeri seberang bernama Sumedang. Kelak negeri tempat dibuangnya akan menyatu dengan negerinya dan bernama Indonesia.


Al Fatihah untuk almarhumah. 


Penulis: Eddy Prayitno Ige, Jurnalis cum Seniman

Post a Comment for "Cerita Perempuan Tua"