Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ternyata LAPD Pun Pernah Korup: Pelajaran Berharga dari Film Changeling




Los Angeles, 1928

Pada malam yang kelam, 10 Maret 1928, seorang ibu tunggal bernama Christine Collins menyerahkan uang kepada putranya, Walter, yang baru berusia sembilan tahun, dan meminta anaknya untuk pergi menonton bioskop. 

Sebuah permintaan yang sederhana, seharusnya menjadi kebahagiaan seorang anak yang masih punya masa depan yang cerah. Tetapi, dunia Christine berubah seketika menjadi ruang kosong yang penuh kecemasan. 

Walter tidak pernah kembali ke rumah. Ketika Christine melapor pada pihak kepolisian, ia tak pernah membayangkan bahwa malam itu akan menandai dimulainya mimpi buruk yang akan mengungkapkan kerapuhan dan borok dalam institusi kepolisian Los Angeles.

Los Angeles Police Department (LAPD) pada masa itu adalah sebuah entitas yang hampir tak terjangkau, bagaikan labirin kekuasaan yang tak hanya membingungkan, tetapi juga membelenggu siapa saja yang terperangkap di dalamnya. Dalam kegelisahan publik yang semakin meluas atas hilangnya Walter, LAPD berusaha menyelesaikan kasus itu dengan langkah-langkah yang terburu-buru dan penuh kebohongan. Lima bulan setelah Walter hilang, seorang anak laki-laki ditemukan di Illinois dan dihadirkan ke Los Angeles, diklaim sebagai putra Christine. Reuni itu dihiasi dengan liputan media yang sensasional, seakan-akan itulah penyelesaian dari sebuah tragedi.

Namun, bagi Christine, yang hatinya tak pernah bisa menerima kenyataan itu, ia tahu bahwa anak yang dihadirkan oleh polisi itu bukanlah Walter. Meski demikian, LAPD, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, memaksa Christine untuk menerima kenyataan yang bukan kenyataan. “Bawa dia pulang,” kata Kapten JJ Jones. “Cobalah dia beberapa hari.” Dan di bawah tekanan yang luar biasa, kebenaran terabaikan, sementara wanita yang telah kehilangan anaknya itu dipaksa untuk menerima kenyataan yang dibentuk oleh tangan-tangan yang berusaha menutup-nutupi kegagalan mereka.

Namun, Christine yang tak bergeming pada manipulasi tersebut malah dianggap sebagai pembangkang. Ia dijebloskan ke rumah sakit jiwa berdasarkan kebijakan yang dikenal dengan sebutan "Code 12," istilah di LAPD yang digunakan untuk menahan atau memenjarakan orang-orang yang dianggap merepotkan. Tidak hanya sistem yang menindasnya, tetapi juga kekuatan institusi yang lebih peduli pada citra mereka daripada pada kebenaran.

Seiring berjalannya waktu, kebenaran perlahan muncul, meski terlambat. Anak yang mengaku sebagai Walter akhirnya mengungkapkan bahwa ia hanyalah Arthur Hutchens, seorang pelarian yang bermimpi pergi ke Hollywood untuk bertemu aktor idolanya. Namun, meski keadilan akhirnya menghukum Gordon Stewart Northcott, si pembunuh berantai yang menyiksa dan membunuh anak-anak di Wineville, tak ada keadilan bagi Christine. Ia tidak pernah menemukan Walter, dan hingga akhir hayatnya pada 1964, ia meninggal dalam kepedihan yang tak terobati.

Kisah ini lebih dari sekadar tragedi seorang ibu yang kehilangan anak. Itu adalah refleksi dari bagaimana sebuah institusi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, malah terkendala oleh ketakutan akan kritik dan kekuasaan yang mengaburkan kebenaran. Dalam film Changeling yang disutradarai Clint Eastwood dan diperankan Angelina Jolie sebagai Christine, kisah ini diangkat dengan kritik yang terasa tajam, menyoroti bagaimana LAPD yang seharusnya menjadi simbol hukum, malah menjadi cermin dari sistem yang rusak, yang lebih peduli pada perlindungan citra mereka daripada pada perlindungan individu.


Semarang, 2024

Hampir satu abad kemudian setelah kisah kelam di Los Angeles, kisah yang serupa, meskipun dalam latar yang jauh berbeda, kembali mengguncang kita.

Kali ini, kota Semarang di Indonesia menjadi saksi sebuah tragedi lain, yang mengungkapkan betapa jauh kemajuan yang kita capai dalam hal keadilan, meski sistem yang ada seringkali tetap terjerat dalam pola yang sama. 

Gamma Rizkynata, seorang siswa SMKN 4 Semarang yang berprestasi, meregang nyawa setelah ditembak oleh anggota polisi, Aipda R. Penembakan ini terjadi di tengah sebuah konfrontasi yang masih kabur kronologinya. Satu versi menyebutkan bahwa insiden itu berawal dari tawuran antar kelompok, sementara versi lain mengklaim penembakan itu terjadi setelah sebuah insiden saling pepet sepeda motor.

Namun, setelah penyelidikan lebih lanjut oleh PROPAM POLDA dan Rapat Dengar Pendapat di DPR-RI, fakta-fakta yang terungkap justru bertentangan dengan klaim awal aparat kepolisian. 

Tidak ada tawuran, tidak ada ancaman langsung. Gamma, yang dikenal sebagai siswa berprestasi, ternyata bukan bagian dari kelompok tawuran yang disebutkan oleh polisi. Sebaliknya, ia adalah sosok yang dihormati di lingkungan sekolahnya, tak pernah terlibat dalam kekerasan. Masyarakat, termasuk keluarga dan pihak sekolah, segera membela Gamma, dan dukungan terhadapnya mengalir dari berbagai kalangan termasuk dari KOMNAS HAM, KOMPOLNAS dan LPSK.

PBHI Jawa Tengah dengan tegas menyatakan bahwa polisi seharusnya menggunakan standar operasional prosedur (SOP) yang ketat dalam penggunaan senjata api, dan senjata hanya boleh digunakan dalam situasi yang sangat membahayakan. 

Namun kenyataan menunjukkan bahwa polisi telah menggunakan kekerasan yang tidak sebanding dengan ancaman yang ada. Bahkan, keluarga Gamma menyatakan bahwa mereka didatangi oleh pihak-pihak tertentu yang memaksa mereka untuk menandatangani surat pernyataan yang menghalangi mereka untuk memperpanjang kasus ini, sebuah bentuk manipulasi yang begitu jelas.

Bahkan, ada juga wartawan yang datang mengintervensi keluarga Gamma untuk membuat video pernyataan yang menyatakan bahwa mereka mengikhlaskan kematian Gamma. Semua ini semakin menguatkan dugaan bahwa polisi di Semarang, seperti halnya LAPD di Los Angeles, lebih mementingkan perlindungan institusi dan citra mereka daripada menegakkan keadilan.


Menghubungkan Dua Kejadian

Melihat kedua kejadian ini, kita tidak hanya dihadapkan pada dua cerita tragis, tetapi juga pada gambaran besar tentang bagaimana kekuasaan aparat sering kali digunakan untuk menutupi kesalahan dan kegagalan mereka. Di Los Angeles, LAPD lebih peduli pada citra daripada pada pencarian kebenaran yang sejati. Begitu pula di Semarang, ketika penembakan terhadap Gamma terjadi, kita melihat bagaimana polisi lebih fokus pada upaya untuk menutupi fakta yang ada daripada membuka kebenaran yang sesungguhnya.

Di kedua kasus ini, kita menyaksikan upaya aparat untuk membentuk narasi mereka sendiri, mengorbankan individu demi perlindungan citra dan kelangsungan kekuasaan mereka. Keduanya menempatkan kekuasaan sebagai prioritas, sementara hak-hak individu dan pencarian keadilan hanya menjadi korban dari kebijakan yang penuh kepentingan. 

Setelah kasus Walter Collins dan skandal lainnya yang memuncak dengan pembantaian Wineville Chicken Coop, Los Angeles Police Department (LAPD) menghadapi tekanan besar dari masyarakat untuk berbenah. Kasus ini mengungkap korupsi, manipulasi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang telah lama merusak reputasi mereka. Meskipun perubahan tidak terjadi secara instan, beberapa reformasi penting akhirnya dilakukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

LAPD mulai memperbaiki sistem pengaduan dan investigasi internal untuk memastikan penanganan kasus lebih transparan. Unit-unit yang bertugas menangani pelanggaran oleh aparat, seperti Divisi Profesi dan Standar (sekarang Internal Affairs), diperkuat untuk mengawasi perilaku polisi.

Setelah bertahun-tahun skandal, masyarakat menuntut pengawasan independen terhadap LAPD. Pada dekade-dekade berikutnya, dewan pengawas polisi yang melibatkan warga sipil mulai dibentuk untuk mengurangi kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.

Seiring waktu, LAPD juga menerapkan pelatihan ulang untuk anggotanya, terutama dalam menangani kasus yang melibatkan hak-hak individu dan kelompok minoritas. Di era modern, teknologi seperti kamera tubuh (body cams) mulai digunakan untuk memantau interaksi antara polisi dan masyarakat.

Meskipun pembenahan mulai terlihat sejak 1930-an, dorongan untuk reformasi yang lebih besar terjadi setelah kerusuhan Los Angeles 1992, yang dipicu oleh pembebasan polisi yang memukuli Rodney King. Kasus ini memperbarui tuntutan akan transparansi, termasuk pelibatan lebih banyak komunitas dalam kebijakan kepolisian.

LAPD berusaha membangun kembali kepercayaan publik dengan mengedepankan citra profesionalisme melalui program community policing. Program ini bertujuan untuk mempererat hubungan antara polisi dan masyarakat dengan bekerja sama untuk menjaga keamanan lingkungan.


Epilog: Refleksi yang Tak Pernah Usai

L’Histoire se Répète, sejarah tidak hanya mengulang dirinya, tetapi juga memberi kita cermin yang menunjukkan wajah kita sendiri. 

Dalam cermin itu, bayangan LAPD dan Polrestabes Semarang terlihat begitu mirip. Kedua institusi ini terjebak dalam pola yang sama: kekuasaan yang lebih mengutamakan perlindungan citra daripada menegakkan keadilan. Kedua kisah ini adalah pelajaran bagi kita tentang bagaimana institusi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan bisa bertransformasi menjadi mesin kekuasaan yang menginjak-injak hak-hak individu demi kepentingan mereka sendiri.

Sebagai masyarakat, kita harus belajar untuk tidak terjebak dalam siklus ini. Reformasi kepolisian yang mendalam seperti yang dilakukan LAPD -meski bertahun-tahun dan berulangkali mengalami kegagalan- harus dilakukan untuk memastikan bahwa kekuasaan yang dimiliki aparat tidak disalahgunakan.

Akuntabilitas dan transparansi harus menjadi prinsip utama dalam setiap tindakan yang diambil oleh institusi yang memiliki kekuasaan untuk menegakkan hukum. Hanya dengan cara ini kita bisa berharap untuk menciptakan sistem yang benar-benar adil, yang bukan hanya melindungi citra institusi, tetapi juga hak-hak setiap individu, yang sejatinya adalah inti dari keadilan itu sendiri.

Kisah Christine Collins dan Gamma Rizkynata mengingatkan kita bahwa keadilan sejati bukanlah sesuatu yang mudah diperoleh. Ia adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, bahkan ketika sistem yang ada berusaha menguburnya. Dalam dunia yang sering kali dikendalikan oleh kekuasaan, kita harus terus mencari kebenaran—dan berharap bahwa suatu saat, kebenaran akan terungkap. 


Selamat Hari HAM, 10 Desember 1945 – 2024


(Denny Septiviant – Politisi PKB)

Post a Comment for " Ternyata LAPD Pun Pernah Korup: Pelajaran Berharga dari Film Changeling"