Merekonstruksi Makna "Sesaji" Dalam Seni Melawan Hate Speech
Seni Performance Art merupakan ekspresi pertunjukan yang mengutamakan keautentikan tersendiri. Disisi yang lain mampu mendekatkan hungungan emosional dengan audiens-nya.
Oleh : Mahmud Elqadrie, Pengamat Seni
GARISTEBAL.COM - Sebuah perhelatan kerya seni, salah satu tujuan yang terpenting adalah melahirkan peristiwa kebudayaan.
Dari sinilah perlunya gagasan dan kecerdasan merespon dinamika sosial lalu diwujudkan dengan ekspresi estetik kemudian menarasikan dalam bentuk karya seni yang menarik. Dalam hal ini adalah pameran karya seni rupa dengan tajuk "Hate Speech" di Graha Sastra Keselatan Yogyakarta ( berlangsung 11 sampai 17 Desember 2024).
Inisiator event ruang rupa Taman Sesaji Hangno Hartono menjelaskan ide dasar dan tujuan : Bahwa Sesaji memilliki nilai simbolik pengetahuan rahasia hingga peran penting dalam melindungi ekologi.
Dari titik tolak hal tersebut komunitas budaya "Taman Sesaji menggelar event pameran seni rupa yang diikuti 15 perupa Yogyakarta: Agus Suyanto, Arita Sawitri, Bedjo Ludiro, Bedjo Wage Su, Eko Hand, Fio Retno, Guntur Ajisaka Hangno Hartono, Iwan Wijono, Laksmi Sitoresmi, Sinducater, Suranto Ipong, Tri Suharyanto, Tukirno B Sutejo, Yan Santana, dengan kurator Dr.Hajar Pamadi.M.hons
Dalam paparan pengantar kuratorialnya menjelaskan makna dan pesan filosofis tentang simbol Sesaji dalam kontek karya seni, "Sesaji lebih dari sekedar uba rampe upacara yang sering kita temukan. Sesaji sesungguhnya juga karya seni yang sarat makna. Bahkan apa yang dikerjakan para seniman taman Sesaji merupakan langkah awal dalam mewujudkan prinsip hidup Hamemayu Hayuning Bawono.
Sebab hal tersebut merupakan lompatan yang penting dalam makrokosmos Jawa"
Hal senada yang disampaikan Wahyudi Djaya. SS,M.PD dalam kesempatan Orasinya mengenai makna taman sesaji dikatakan "bahwa leluhur kita adalah generasi yang cerdas. mau dan mampu bersenyawa dengan semesta, mereka hafal vegetasi yang ada dilingkunganya. Lalu memanfaat beragam kepentingan termasuk Sesaji.dan Sesaji ini mereka maknai sebagai mekanisme budaya untuk menegosiasikan beragam fenomena alam". paparnya.
Menghidupkan diskusi dan kritik seni
Pameran yang mengambil tajuk "Hate Speech" yang berlangsung di Graha Sastra Keselatan Langenarjan Yogyakarta.yang tak kalah menarik adalah penampilan Performance Art para perupa dan diskusi ditengan durasi pameran berlangsung.
Diawali penampilan performance Art Kelompok Surya Suketi "Seribu Wajah_Oleh Hangno Hartono dan "Bumi Tidak baik-baik saja " yang dilakukan oleh Laksmi Sitoresmi .Dalam performancenya Laksmi merespon uborampe sesaji kembang macan kerah yang diletakan empat penjuru mata angin dan diatasnya ditaruh lilin sebagai penerang empat rangkaian kembang yang melambangkan empat nafsu.yaitu Umarah, Lauwamah, Mutmainah dan Sufiah. Performen ritual ini diharapkan bisa menghilangkan semua godaan nafsu bisa hilang dan bisa menjadikan terang bagi semua manusia didunia.
Usai performance dalam sesi dialog yang dipandu Wenry Wanhar yang sekaligus mengulas performance Art Laksmi Sitoresmi tentang maksud "Ibu Bumi sedang tidak baik-baik saja" adalah gambaran kerusakan bumi , jika Bumi hancur,siapakah sebenarnya yang musnah? demikian pesan yang hendak disampaikan. Perilaku manusia yang begitu gegabah bahkan serakah mengeksploitasi tubuh ibu Bumi menggunakan berbagai sumber daya alam yang mengakibatkan krisis iklim dampak nyata pada perubahan iklim dibumi berpengaruh sendi kehidupan, ujar Laksmi.
Perupa Iwan Wijono yang tampil selanjutnya mengangkat judul "Ritus Sukerta". Iwan Wijono melakukan gerak tari ritual dengan menggigit keris yang diselingi membakar kertas yang berisi tulisan-tulisan tentang tabiat buruk. manusia kotor yang dikuasai hawa nafsu. sebuah pesan yang menggambarkan manusia harus menyingkirkan energi buruk, energi distruktif yang menimbulkan kerusakan di bumi . Pasca revolusi industri dahulu alam merupakan pusat peradaban, ujar Iwan.
Nanang Arizona yang bertindak sebagai pengulas, menanggapi performance art Ritus Sukerta. Bahwa apa yang dilakukan seniman Iwan Wijono dalam merekontruksi makna sukerta merupakan hal yang menarik. Karena tersirat pesan yang kuat tentang pentingnya membangun kesadaran tentang nilai nilai kearifan lokal didalam kehidupan moderen saat ini. Selanjutnya dia juga menjelaskan posisi performance art sebagai media ekspresi yang bebas dan mampu memantik pemikiran kritis.
Iwan Wijono juga menjelaskan bahwa Ritus Sukerta adalah upaya mengendalikan energi distruktif. Iwan juga menyampaikan kerusakan alam yang ditimbulkan manusia.
Pematung Tri Suharyanto dalam sesi performance mengangkat peristiwa "Sesaji terakhir" yang menggambarkan tentang proses perjalanan manusia dari lahir (Maskumbang) sampai kematian (Pucung). Dengan alur tembang mocopat 12 tingkatan dari maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradana, gambuh, dhandanggula, durma, pangkur, megatruh dan picung.
Tri Suharyanto melakukan adegan membakar diri dengan api kayu yang disusun secara dramatis.dengan dibungkus kain putih Tri Suharyanto dimasukan kelubang tanah (kubur).dan diatasnya ditumpuk kayu yang dibakar
Apa yang dilakukan Tri Suharyanto merupakan fragmen ritual perjalanan manusia ideal mencapai kematian. Dengan diasosiasikan memusnahkan segala energi negatif yang dalan performancennya divisualkan dengan kertas-kertas kecil yang ditulis kata-kata yang berenergi buruk. Seperti serakah, tamak, korup, angkara muka, Intoleran, Rasis dst....
Dalam sesi diskusi yang dipandu Mahmud Elqadrie memberi ulasan dan tanggapan bahwa apa yang dilakukan Tri Haryanto merupakan rekontruksi perjalanan manusia yang digambarkan dengan alur performance dan simbol yang dimainkanya. Ada tembang mocopat yang mengiringinya dengan alunan musik magis dipadu video maping yang dramatis.
Dalam kesempatan menanggapi tentang performance,Mahmud Elqadrie menjelaskan bahwa seni performance art merupakan ekspresi pertunjukan yang mengutamakan keauntentikan tersendiri. Disisi yang lain mampu mendekatkan hungungan emosional dengan audenya. Dan apa yang dilakukan Tri Suharyanto merupakan totalitas ekspresi yang langsung dan spontan. Ada sensasi tersendiri saat menjalani proses kreatifnya yang diluar kerja karya tiga demensi (patung) dengan media pertunjukan bebas performance art.
Yogyakarta 11 Desember 2024
Galery Foto :
Post a Comment for " Merekonstruksi Makna "Sesaji" Dalam Seni Melawan Hate Speech"