Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perselingkuhan di Sinetron: Sepotong Drama, Sepotong Cermin


 

Ada yang berkilau dari layar kaca, memantulkan dunia yang retak. Di sebuah rumah mewah dengan lantai kayu yang berderit lembut, seorang perempuan berdiri. Tatapannya kosong, tangannya menggenggam gelas anggur yang tak disentuh. Di ruangan lain, suaminya membisikkan janji pada perempuan lain—janji yang tak pernah dibuat untuknya.


 GARISTEBAL.COM- Adegan ini dari Layangan Putus, menggema dalam kehidupan banyak penonton, sebuah cerita yang lebih sering terasa seperti kenyataan daripada fiksi. Sinetron seperti Layangan Putus dan Jangan Salahkan Aku Selingkuh menjadi bagian dari budaya populer yang melanggengkan narasi penuh intrik, tetapi, di balik layar kaca, terdapat bias sosial yang sulit diabaikan.

Narasi perselingkuhan adalah magnet, menarik penonton dengan intrik emosionalnya. Namun, di balik dramanya, ada cerita yang lebih besar. Sinetron seperti ini bukan hanya hiburan, tetapi juga mekanisme budaya, alat yang menyusun kembali dunia sesuai dengan norma-norma yang sering kali tidak kita sadari tengah kita terima.


Hegemoni dan Kisah Keluarga 

Antonio Gramsci menyebutnya "hegemoni." Dunia ini tidak diperintah oleh kekuatan kasar semata, tetapi oleh norma yang kita serap dengan sukarela. Dalam Jangan Salahkan Aku Selingkuh, Dimas berselingkuh bukan karena cinta, tetapi karena Anna dianggap gagal memenuhi perannya sebagai istri sempurna. Media mengemas kisah ini sebagai cerita moral tentang kehancuran keluarga, tetapi di dalamnya tersembunyi pesan yang lebih halus: bahwa perempuan harus selalu berfungsi—sebagai istri, ibu, penjaga kehormatan keluarga.

Gramsci menulis dalam Selections from the Prison Notebooks:  

"Hegemoni adalah dominasi yang tidak terlihat, diterima oleh mereka yang dirugikan seolah-olah itu adalah kewajaran."  

Melalui layar kaca, patriarki menemukan panggungnya. Dalam Layangan Putus, Aris (diperankan Reza Rahadian) diizinkan berperan sebagai laki-laki yang "rapuh," yang akhirnya menyerah pada perselingkuhan. Sementara itu, Kinan (diperankan Putri Marino) harus menanggung beban emosionalnya dengan air mata dan pengorbanan, agar penonton bisa menyebutnya "kuat." 


Perempuan: Antara Subjek dan Objek 

Simone de Beauvoir pernah menulis dalam The Second Sex:  

"One is not born, but rather becomes, a woman. It is civilization as a whole that produces this creature."

Menjadi perempuan, menurut de Beauvoir, adalah peran yang dikonstruksi. Dalam sinetron, peran ini terlihat jelas. Anna (diperankan Marshanda) di Jangan Salahkan Aku Selingkuh adalah konsultan keluarga yang sukses, tetapi narasi mempersempit dirinya menjadi istri yang terluka dan ibu yang bingung. Identitas profesionalnya, kecerdasannya, semua dilucuti untuk menonjolkan "kegagalannya" sebagai perempuan.

Dalam dimensi lain, Sigit Andrianto dan Sheila Lestari Giza Pudrianisa (2023) menyebutkan bahwa Rubrik Ambyar di Radar Semarang bahkan lebih keras dalam menempatkan perempuan. Dalam salah satu kisahnya, seorang perempuan yang berselingkuh dengan alasan mencari perhatian diberi label "Lady Pilih Sugar Daddy," seolah-olah ia tidak memiliki kompleksitas emosional lain kecuali keserakahan. 

Narasi-narasi tersebut bukan hanya mengasingkan, tetapi juga mereduksi perempuan menjadi objek tunggal dalam konflik yang lebih besar.


Bias Kelas dalam Layar Kaca 

Perselingkuhan, seperti yang sering dikisahkan dalam sinetron, adalah milik rumah-rumah mewah. Konflik seperti ini tidak digambarkan terjadi di lapisan kelas bawah, meskipun realitas berbicara sebaliknya. Sunaryanto (2023) menemukan bahwa cerita perselingkuhan di media sering kali terkait dengan dinamika bisnis, status sosial, atau keturunan.

Ariel Heryanto, dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics yang menuliskan kajiannya tentang budaya populer, menyebutkan bahwa media kita sering kali terperangkap dalam adaptasi dari luar, mengadopsi format telenovela atau drama Korea, tetapi tetap mengakar pada nilai-nilai lokal. Namun, nilai lokal ini seringkali adalah patriarki yang tidak dipertanyakan. Layar kaca adalah panggung bagi kelas menengah ke atas untuk berkonflik, sementara cerita dari lapisan bawah dianggap kurang "menjual". 

Ketua Pengadilan Agama (PA) Kendal Kelas 1A, H. Abd Malik, dalam sebuah wawancara, mengungkapkan data mengejutkan. Hingga September 2022, angka perceraian tertinggi di Kendal datang dari keluarga dengan salah satu pasangan sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI) Perempuan. Sebanyak 372 kasus perceraian diajukan oleh istri. Pekerjaan sebagai BMI, meskipun bertujuan meningkatkan taraf hidup, sering kali menjadi awal perpecahan rumah tangga.Karena suaminya justru berfoya-foya, berselingkuh atau poligami tanpa sepengetahuan istri. 

Fenomena seperti di Kendal ini juga banyak ditemui di daerah sender BMI perempuan, realitas yang mencerminkan dilema: upaya memperbaiki kondisi ekonomi justru melahirkan jarak emosional, konflik, hingga pengkhianatan dalam keluarga. Inilah bias kelas sesungguhnya. 

Namun sekali lagi, media tidak pernah sepenuhnya mencerminkan realitas; ia memilih dan mengkurasi (Ariel Heryanto). Dalam sinetron seperti Layangan Putus atau Jangan Salahkan Aku Selingkuh, perselingkuhan digambarkan sebagai bagian dari dunia kelas atas, dengan konflik yang berputar pada materi, status sosial, atau kesempurnaan keluarga. Padahal, seperti data dari PA Kendal menunjukkan, perselingkuhan dan perceraian lebih sering terjadi dalam keluarga yang berjuang secara ekonomi.

Memang narasi kelas atas sering dipilih karena dianggap lebih menarik secara visual dan emosional​. Rumah-rumah mewah, mobil mahal, dan bisnis keluarga menjadi simbol yang lebih mudah dijual kepada penonton. Sementara itu, cerita dari keluarga pekerja, meskipun kompleks, dianggap kurang menarik secara komersial.


Menerobos Cermin yang Retak 

Narasi perselingkuhan di sinetron adalah cermin, tetapi retaknya terlalu halus untuk disadari. Cermin ini memantulkan dunia yang bias: bias gender, bias kelas, bias budaya. Bagi perempuan seperti Anna dan Kinan, layar kaca ini tidak menawarkan keadilan, hanya luka yang terlihat indah.

Dalam konteks hegemoni Gramsci, media seperti sinetron dan rubrik hiburan bekerja untuk mempertahankan norma patriarki yang dominan. Simone de Beauvoir menambah dimensi analisis ini dengan mengungkapkan bahwa perempuan dalam media sering kali direduksi menjadi objek dalam hubungan mereka.

Namun, cermin bisa berubah. Dengan narasi yang lebih inklusif dan berimbang, media dapat menjadi alat untuk mendobrak stereotip gender dan bias kelas. Penonton tidak hanya pantas mendapatkan cerita yang menarik, tetapi juga cerita yang mencerminkan kompleksitas kehidupan mereka secara lebih jujur.

Seperti yang ditulis Gramsci dalam Selections from the Prison Notebooks:  

"The crisis consists precisely in the fact that the old is dying and the new cannot be born; in this interregnum, a great variety of morbid symptoms appear."

Barangkali, sinetron adalah gejala morbid itu. Gejala dari masyarakat yang berjuang menemukan narasi baru—narasi yang lebih adil, lebih inklusif, lebih manusiawi. Dan tugas kita masyarakat sipil dan intelektual organik untuk merebut wacana hegemonik ini. 

Untuk melampaui narasi lama untuk membentuk cermin baru, yang tidak hanya memantulkan, tetapi juga menciptakan harapan. 


Penulis: Denny Septiviant - Politisi PKB / Penonton Film

Post a Comment for " Perselingkuhan di Sinetron: Sepotong Drama, Sepotong Cermin"