Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Musik, Ras, dan Resistensi: Merayakan Warisan Jimi Hendrix

 


 Hendrix adalah penanda sejarah, dan setiap kali kita mendengarkan petikan gitarnya, kita merayakan sebuah warisan yang terus hidup.

GARISTEBAL.COM- Woodstock pada pagi hari Senin, 18 Agustus 1969, suasana di festival itu penuh kelelahan namun tetap magis. Sebagian besar penonton—yang awalnya mencapai hampir 500.000 orang—sudah meninggalkan lokasi karena hujan, lumpur, dan kelelahan dari tiga hari konser berturut-turut. 

Namun, mereka yang bertahan tidak akan mengira akan menyaksikan momen ikonis yang kemudian menjadi salah satu penampilan paling bersejarah dalam musik rock.

Sekitar pukul 9 pagi, matahari baru mulai terbit. Hanya sekitar 200.000 orang yang masih bertahan di lokasi. Panggung utama Woodstock, yang dikelilingi oleh padang rumput basah dan bukit penuh lumpur, menjadi latar bagi salah satu pertunjukan paling transformatif dalam sejarah musik.

Seorang kulit hitam menyandang Fender Stratocaster krem naik ke panggung. Strap gitar berwarna merah dengan motif bunga menyilangkan alat musik tersebut di badannya. Penampilannya di kemudian hari menjadi ikonik karena ia memakai pakaian bergaya gipsi kental. Ia mengenakan kemeja abu-abu lengan rumbai dengan celana jins biru potongan cutbray. Sebuah bandana berwarna merah muda melingkari kepalanya. 

Pria kulit hitam bernama asli James Marshall Hendrix itu didapuk sebagai penampil pamungkas yang sebenarnya dijadwalkan tampil pada hari Minggu, 17 Agustus 1969. Dia yang dikenal juga sebagai Jimi Hendrix membuka pertunjukan dengan komposisi improvisasi penuh energi. Dia didampingi oleh band barunya, Gypsy Sun and Rainbows, yang hanya pernah bermain bersama dalam beberapa latihan sebelumnya. Meskipun bandnya kurang terorganisir, fokus Hendrix sepenuhnya tertuju pada gitarnya, yang menjadi medium untuk menyampaikan pesan politik, spiritual, dan artistik.

Ketika Hendrix memainkan "The Star-Spangled Banner", suasana menjadi senyap namun penuh khidmat. Dengan teknik distorsi, feedback, dan whammy bar, ia mengubah lagu kebangsaan Amerika Serikat itu menjadi kritik terhadap perang Vietnam. Bunyi-bunyi yang menyerupai ledakan bom, suara sirene, dan tembakan memenuhi udara, menciptakan perasaan intens yang mencerminkan kekacauan perang. Penonton yang tersisa terdiam, beberapa menangis, sementara yang lain menyadari pesan politis yang dibawakan Hendrix tanpa sepatah kata pun.

Momen itu dipercaya punya makna mendalam baginya. Hendrix adalah mantan tentara. Sebelum bermusik, ia merupakan anggota Divisi 101 Angkatan Udara. Karena beberapa kasus, Hendrix muda didepak dari angkatan bersenjata. Alhasil, ia dapat menekuni bakat bermain gitarnya. Di belahan bumi lain pada tahun 1969, Perang Vietnam masih berlangsung. Beberapa kerabat Hendrix masih bertugas di sana.

Penampilan ini menjadi sebuah ikon sejarah musik rock yang dikenang hingga kini. Karena penampilan Hendrix di Woodstock kala itu bukan hanya tentang keahlian teknisnya; itu adalah deklarasi artistik melawan kekerasan, ketidakadilan, dan rasisme. Momen ini menjadi simbol dari gerakan kontra-budaya 1960-an, sebuah generasi yang mencari kedamaian di tengah dunia yang bergejolak.

Sebagaimana ditulis oleh Charles R. Cross dalam Room Full of Mirrors, “Woodstock adalah momen pembebasan total, dan Hendrix adalah suara pembebasan itu.” Di tengah penonton yang berlumuran lumpur dan sisa-sisa semangat festival, Hendrix menunjukkan bagaimana musik bisa menjadi alat resistensi yang transformatif.

Penampilannya diakhiri dengan lagu "Hey Joe", sebuah perpisahan yang sederhana tetapi kuat, sebelum Hendrix meninggalkan panggung. Penonton bersorak dan bertepuk tangan, menyadari bahwa mereka telah menyaksikan sesuatu yang lebih dari sekadar konser—mereka telah menjadi bagian dari sejarah.

Jimi Hendrix, musisi legendaris yang genap berusia 82 tahun pada bulan ini, telah menjadi salah satu ikon terbesar dalam sejarah musik dunia. Meskipun ia telah tiada sejak 1970,  November tetap menjadi bulan untuk mengenang pengaruh luar biasa yang ia tinggalkan. Dalam merayakan peringatan ulang tahunnya, kita tak hanya mengenang kemampuannya sebagai gitaris brilian, tetapi juga sebagai suara pemberontakan—sebuah simbol dari ketegangan sosial dan politik yang mengguncang dunia pada era 1960-an.

Sebagaimana ditulis oleh  Charles R. Cross dalam Room Full of Mirrors, "Hendrix memanfaatkan gitarnya sebagai senjata, membentuk suara yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata, memberikan pandangan yang jelas tentang ketidakadilan sosial melalui distorsi dan teriakan gitar."


Diskriminasi Rasial dan Perjuangan Sosial Hendrix 

Sebagai seorang musisi kulit hitam yang berkarier di dunia rock yang didominasi oleh kulit putih, Hendrix sering kali menghadapi diskriminasi, baik di dunia musik maupun dalam kehidupan sosialnya. Dalam Jimi Hendrix: A Brother's Story, adiknya,  Leon Hendrix, menulis, "Jimi hanya ingin dihargai karena kemampuannya. Tapi warna kulitnya sering kali membuatnya harus berjuang lebih keras untuk tempatnya."

Di era itu, dunia musik rock tidak hanya bersinggungan dengan ketegangan politik, tetapi juga dengan konflik rasial yang mendalam di Amerika. Gerakan hak sipil yang berkembang pesat menginspirasi banyak orang, namun Hendrix memilih untuk mengungkapkan pandangannya melalui musik, bukan politik langsung. Melalui lagu seperti  Machine Gun, yang terdapat dalam album Band of Gypsys, dia mengekspresikan keprihatinannya tentang perang dan kekerasan, memberi suara kepada mereka yang terpinggirkan oleh masyarakat.

Dalam Electric Gypsy,  Harry Shapiro dan Caesar Glebbeek menyatakan, "Musik Hendrix bukan hanya untuk hiburan, tetapi sebuah bentuk protes terhadap kekerasan yang menghancurkan kehidupan banyak orang kulit hitam di Amerika."

Musik Hendrix bisa dijelaskan dengan pendekatan postkolonial sebagaimana Gayatri Spivak dalam esainya Can the Subaltern Speak?, yang mengkritik bagaimana kelompok marginal sering kali tidak diberi ruang untuk berbicara dalam sistem yang didominasi oleh kekuasaan kolonial. Dalam konteks Hendrix, industri musik sering kali merepresentasikannya sebagai “dewa gitar liar” yang eksotik, sebuah stereotip yang mengeksploitasi identitasnya sebagai pria kulit hitam tanpa benar-benar mengakui dimensi politik dan budaya dari karyanya.

 “In the context of colonial production, the subaltern has no history and cannot speak.” — Gayatri Spivak, Can the Subaltern Speak?.

Namun, melalui musiknya, Hendrix berbicara untuk dirinya sendiri dan komunitasnya. Lagu seperti Machine Gun adalah pernyataan politik yang menentang kekerasan dan perang, sementara improvisasi gitar Hendrix menjadi bentuk perlawanan terhadap norma-norma musik yang kaku.


Pengaruh yang Tak Terhitung pada Musisi Berikutnya 

Warisan Hendrix sebagai pionir dalam improvisasi gitar dan penggunaan efek suara terus hidup dalam karya musisi-generasi berikutnya. Dari  Carlos Santana hingga  Kirk Hammett (Metallica), pengaruh Hendrix sangat terasa. Dalam  Jimi Hendrix: The Stories Behind the Songs,  David Stubbs mencatat, "Hendrix memberikan kebebasan untuk bereksperimen—memanfaatkan gitar sebagai lebih dari sekedar alat musik, melainkan sebagai medium ekspresi diri yang tanpa batas."

Musisi shredder seperti  Yngwie Malmsteen, yang dikenal dengan teknik gitar klasiknya yang rumit, mengakui bahwa meskipun ia terinspirasi oleh musik klasik, namun Hendrix-lah yang mengajarkannya untuk mengeksplorasi lebih jauh dalam hal improvisasi dan eksperimen suara. "Dia membuka jalan bagi semua gitaris untuk mencari suara mereka sendiri," kata Malmsteen dalam sebuah wawancara yang dikutip oleh Stubbs.

Kirk Hammett gitaris Metallica, yang sering disebut-sebut sebagai salah satu gitaris terbesar, mengakui bahwa teknik feedback dan penggunaan distortion oleh Hendrix memengaruhi gaya bermainnya. "Hendrix adalah yang pertama yang memberi kita izin untuk bereksperimen dan mengubah suara gitar menjadi sesuatu yang lebih besar daripada sekadar alat musik," kata Hammett dalam sebuah wawancara yang dikutip oleh David Stubbs dalam Jimi Hendrix: The Stories Behind the Songs. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Hendrix berakar dalam tradisi blues dan rock, dia melampaui batasan genre dan membuka jalan bagi evolusi musik yang tak terbatas.


 Peringatan Ulang Tahun Hendrix: Warisan Sosial, Politik, dan Musik 

November tidak hanya sekedar bulan mengenang Jimi Hendrix dan merayakan keberhasilan seorang musisi. Lebih dari itu, kita merayakan sebuah warisan yang membentuk kembali dunia musik, memberi suara kepada perjuangan sosial, dan menginspirasi generasi penerus untuk terus menggugat dan berkarya tanpa batas. Hendrix adalah lebih dari sekadar gitaris: dia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, sebuah figur yang hidup melalui musik dan memberi ruang bagi keberagaman suara di dunia seni.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh  John McDermott dalam  Hendrix: Setting the Record Straight, "Musik Hendrix adalah alat perlawanan, kebebasan, dan ekspresi diri yang melampaui waktu. Dia mungkin telah pergi, tetapi karyanya tetap berbicara, mewakili suara mereka yang terlupakan."

Hendrix, sebagaimana dikatakan oleh Tom Morello (gitaris Rage Against The Machine), adalah seorang revolusioner:

"Jimi Hendrix was a revolutionary... His music and his defiance of convention gave a voice to the voiceless and an energy to those who would challenge the status quo."

Pada bulan ini, ketika kita mengenang perjalanan hidupnya, kita tak hanya menghormati bakat musik yang luar biasa, tetapi juga semangat revolusionernya yang tak kenal lelah, yang sampai hari ini menginspirasi banyak musisi dan pendengar untuk terus berbicara melalui suara mereka. Hendrix adalah penanda sejarah, dan setiap kali kita mendengarkan petikan gitarnya, kita merayakan sebuah warisan yang terus hidup.


Penulis : Denny Septiviant – Politisi PKB

Post a Comment for " Musik, Ras, dan Resistensi: Merayakan Warisan Jimi Hendrix"