Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KONVENSIONAL BUNTU "Lateral Thingking" ke Piala Dunia

 




Berpikir lateral (Lateral Thingking), adalah salah satu jalan pintas untuk memecah stagnasi prestasi.

GARISTEBAL.COM- Perusahaan otomotif Amerika Serikat (AS), Ford Motor Company (FMC), pernah gundah gulana. Kalah menonjol di Pasar Internasional oleh: Toyota, Honda,  Daihatsu. Market Ford tidak semegah mobil Jepang.

Pasar otomotif yang  kompetitif, tidak membuat Ford tumbuh inklusif. Tidak mendorong antusiasme 'buyers' untuk membeli, saat ditampilkan keluaran dan fitur baru yang modis. Mengapa?

Ford  pun menemui filsuf  Edward de Bono yang sangat terkenal. Pertanyaan? "Bagaimana caranya agar Ford  lebih kompetitif dan populer di pasaran".

Tinggalkan cara-cara konvensional dan vertikal. Gunakan pola 'lateral' (horisontal) untuk  memberi kejutan-kejutan yang tidak lazim di tengah masyarakat.

Dalam buku "Lateral Thingking: For Everyday" karya Paul Sloane, de Bono memberi advis pada Ford, gunakan ide  yang tidak biasa. Psikolog Kelahiran Malta (Eropa) ini meminta Ford membeli perusahaan parkir mobil yang besar.

Belum selesai di situ. Ide paling 'ekstrim', de Bono menyarankan Ford, untuk membangun sarana parkir di tengah kota. Di mana, tempat parkir itu hanya boleh "dihuni" oleh mobil-mobill bermerek Ford. Merek lain "no way".

Kutub de Bono dan kutub Ford tentu memiliki stratifikasi yang jauh berbeda. Ford tidak berpikir sejauh itu. "Angle" de Bono terlalu radikal, sementara "angle" Ford lebih konvensional lewat sudut pandang marketing.

"Conventional Thingking", cara berpikir yang didasarkan pada kesepakatan bersama, adat, dan budaya yang berlaku lazim. Tempat parkir tidak perlu hanya untuk merek mobil tertentu, yang terpenting mampu membayar. 

Ibarat membuka sebuah restoran (rumah makan), linear dengan pemikiran Ford. Membutuhkan "nafas panjang", untuk mendapatkan penjualan dan popularitas. 

Mengadopsi pemikiran de Bono,  gratiskan makan siang  selama tiga bulan. Maka, setelah restoran itu populer, baru berbayar. Ini berpikir lateral. Pasti berdampak, seperti halnya sarannya kepada Ford soal parkir tadi.

Dalam kekinian Indonesia, "Lateral Thingking", telah dilakukan di dunia sepak bola Nasional. Puluhan pemain "abroad", pemain keturunan telah dinaturalisasi. Hasilnya sudah nampak menggembirakan.

 Apa yang dilakukan Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) ini, merupakan "Lateral Thingking".

Saya teringat satu kaum di India kuno yang kedudukannya lebih rendah dari Kasta Sudra, yaitu kaum Paria. Hanya memberi komparasi, betapa Timnas kita sangat diremehkan oleh negara Asia Tenggara lain dalam hal sepak bola.

Berada di rangking 173 (tahun 2019), Timnas Indonesia dianggap sebelah mata oleh Timnas: Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan bahkan Laos-Kamboja mulai menyusul.

Kita berterima kasih kepada Pengurus PSSI yang mengambil pemikiran "Lateral", solusi yang tidak biasa. Solusi untuk membuka kreativitas, inovasi dan mengatasi segala pernik pembinaan sepak bola Nasional. Yang tak berkesudahan untuk kurun panjang.

Menahan imbang tim-tim langganan Piala Dunia: Australia dan Arab Saudi di 'leg' pertama, lalu menjungkalkan rangking 59 FIFA (Arab Saudi) 2-0 di 'leg' ke-2, merupakan hasil kerja dari pemikiran "Lateral"  PSSI. Hausnya rakyat akan prestasi, sangat terobati saat ini.

Tidak perlu merasa risih, menyangkut mayoritas pemain Timnas Indonesia saat ini, kok 'bule' semua. Historis pemain naturalisasi Indonesia secara 'curiculum vitae', sangat jelas. Ada Indonesianya, separuh, sepetempat, atau seperdelapan. Berapa pun!

Di antara mereka, seperti Calvin Verdonk (Meulaboh/Aceh), Ivar Jenner (Jawa Timur), Mees Hilgers (Sulawesi Utara), Ragnar Oratmangoen (Tanimbar/Maluku), Jordi Amat (Sulawesi Selatan), Raffael Struick & Sandy Walsh (Jawa Tengah), Marteen Paes, dll.

Setiap negara, punya cara untuk mengubah kultur sepak Bola-nya. Dari 'paria' ke kasta yang lebih tinggi. Jepang yang pernah menjadi 'paria, sebelum tahun 1985, terbangun. Japan Football Association (JFA) mendatangkan bintang Brasil Zico untuk berkompetisi di liga Jepang.

Hasilnya, 13 tahun kemudian. Tepatnya 1998, "Samurai Biru" lolos ke Piala Dunia di Perancis untuk pertama kali. Arab Saudi juga punya cara pula. Mereka datangkan ikon sepakbola dunia dari Portugal untuk bergabung di Klub Al Nassr (Rp 260 milyar), dan banyak lagi. 

Berpikir lateral (Lateral Thingking), adalah salah satu jalan pintas untuk memecah stagnasi prestasi. Berpikir konvensional, namun tak ada kemajuan. Maka ubahlah sesegera mungkin. 

Kampanye marketing negara bagian New South Wales (Australia) sukses. Setelah mengadopsi "Lateral Thingking". Kegemaran membawa kendaraan ngebut, berkurang. Setelah iklan  wanita mengibaskan "jari kelingking" pada kendaraan yang ngebut.

Survei menyebut, 60 persen lelaki muda, merubah perilaku ngebutnya. Setelah menonton iklan yang "menghina" kaum lelaki itu.

"Lateral Thingking" adalah mencari solusi, lewat cara yang tak biasa: industri otomotif, sepak bola, dan perilaku, bisa diubah dengan cara itu.


Penulis: Sabri Piliang, Jurnalis Senior di Jakarta

Post a Comment for " KONVENSIONAL BUNTU "Lateral Thingking" ke Piala Dunia"