Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kenalkan Sastra melalui Meja-Kursi Tumpukan Buku Sastra

 


 “Saya ingin mengimitasi sastrawan Swiss yang membaca buku di atas meja tumpukan buku. Sepertinya menarik kalau dibuat. Mudah-mudahan menjadi kerja seni-literasi di Indonesia,” ujar Sigit Susanto, Sastrawan.


GARISTEBAL.COM- Selalu ada saja ide dari seniman untuk menghadirkan sesuatu yang unik dan segar. Tak terkecuali, dengan pengarang. Adalah Sigit Susanto, pemilik Pondok Maos Guyub Desa Bebengan Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. 

Terilhami dari Sastrawan Swiss, Lukas Hartmann, ia pun membuat meja-kursi yang seolah terdiri dari tumpukan buku-buku. Sebagai pengarang yang juga menggemari karya sastra dunia, maka, ia pun menghadirkan buku-buku sastra dalam meja-kursi tersebut. 

Dalam mewujudkan keinginannya, ia tak sendirian. Ia menggandeng seorang “seniman” lokal asal Kecamatan Boja yang kesehahariannya adalan tukang batu-bangunan. Namanya,  Muhammad Rozak (48 tahun).

Dilihat dari tampilan fisik, meja kursi buatan Rozak  ini tak ubahnya meja-kursi pada umumnya. Terdiri dari empat kaki, serta pada kursi, terdapat sandaran punggung. Namun uniknya, kaki-kaki kursi serta kaki meja bagian depan tersusun dari tumpukan “buku-buku”  sastra.” Maka, oleh sang pembuatnya, kursi dari kayu mahoni itu disebut “Meja-Kursi Sastra” karena terdapat 62 lukisan kaver buku yang sebagian besar karya sastra.

Meja itu dikenalkan ke publik di sela-sela Penganugerahan Kendal Lakon Award 2024 di Halaman Perpustakaan Kabupaten Kendal Jawa Tengah, Minggu (27/10) lalu. Proses pembuatan hingga kisah di balik pembuatan “Meja-Kursi Sastra” itu dituturkan oleh Muhammad Rozak (48 tahun), tukang kayu-bangunan yang membuat  meja-kursi dengan dipandu Heri Condro Santoso, pegiat Perpustakaan Ajar Meteseh Boja.

Rozak menjelaskan, proses pembuatan meja berukuran 1 m x 60 cm dan kursi setinggi 55 cm itu membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan. Ia mulai menggarap sejak akhir September dan selesai akhir Oktober 2024. Untuk membuatnya, ia memerlukan belasan papan mahoni (ketebalan 4 cm, 3 cm,  dan 2 cm), 10 kaleng cat ukuran ½ kg,  9 botol tiner, 21 amplas bulat, 4 amplas lembaran. Ia juga menggunakan 2 kuas besar dan 5 kuas lukis.  “Tiap hari bekerja mulai pukul 8 pagi hingga 4 sore,” ujar lelaki yang tinggal di Jl Bima RT 06 RW IV Gentan Kidul Boja. 

Menurut Rozak, dalam proses pembuatan, kayu mahoni dipasah terlebih dahulu. Kemudian dipotong sesuai ukuran dan dibentuk sesuai wujud buku. Setelah itu, kayu-kayu itu diamplas dengan menggunakan mesin gerinda. Kemudian diplitur. Nah, setelah diplitur kemudian baru dilukis sesuai kaver masing-masing buku. Teknisnya, Rozak mencermati foto kaver yang dikirim Sigit Susanto, penggagas Meja-Kursi Sastra ini--kemudian dilukisnya. “Dan terakhir, bagian meja dilapisi plastik agar lebih awet,” tutur lelaki yang menggemari puisi-puisi Chairil Anwar sejak di bangku SD. 

Mengenai tingkat kesulitan, ia mengungkapkan, pada tahap pewarnaan. Sebab, warna kaver buku –khusunya terbitan luar negeri jarang ditemui di Indonesia. Sehingga ia mesti mengoplos warna sehingga mendekati warna dalam gambar. “Palet warna atau mengoplos warna yang paling sulit. Pada sampul tertentu ada motif yang rumit karena memakai ornamen-ornamen,” kata Rozak sambil menunjuk buku Rabrindanath Tagore dalam bahasa Jerman berjudul Der Schif Bruch.


Juru Lukis Otodidak

Rozak lahir di Desa Bebengan Boja Kendal, 18 Agustus 1976. Ia dalam keseharian dikenal sebagai tukang kayu & bangunan. Keahlian menukang, ia warisi dari Supadi, sang ayah yang di masa hidupnya dikenal sebagai tukang kayu yang paling mahir di desa Desa Bebengan. Ketrampilan Rozak sebagai tukang, mengantarkannya melanglang buana ke pelbagai daerah karena panggilan “proyek”bekerja. Di antaranya Aceh, Kalimantan, Kendari, Padang, Bandung, Jogja, Jakarta, hingga Sumbawa. 

“Sudah sejak bujang bekerja sebagai tukang bangunan. Saat ada mandor pados (mencari-Jawa) tenaga, terus mendaftar,” kenangnya. Pengalaman paling lama, menurutnya, saat bekerja di Martapura Kalimantan Selatan. Di sana ia menyusun plafon/gypsum pada rumah milik saudagar intan. Dan, sejak 2016 ia mukim di Boja. 

Saat ditanya, dari mana Rozak bisa melukis? Ia hanya menjawab, belajar otodidak. Pengalaman yang ia dapat terkait seni lukis, ia peroleh saat melukis gapura desa. “Selebihnya, saya belajar sendiri alias otodidak,” ujar ayah empat anak ini. 

Rozak mengaku senang mendapat “proyek” ini. Kebetulan dirinya juga sedang tak ada garapan. “Maka, saya senang sekali dapat proyekan ini. Ada tantangan baru sekaligus belajar. Karena sebelumnya belum pernah garap seperti ini,” ujarnya.


Dari Pramoedya Ananta Toer hingga Eka Kurniawan

Buku-buku yang dilukis Rozak terdiri dari buku berbahasa Indonesia, Inggris, dan Jerman. Lukisan kaver buku terserak di berbagai sisi meja-kursi. Mulai dari alas meja, dua kaki meja, dua kaki kursi, dudukan hingga sandaran kursi. Di meja terdapat 9 buku, antara lain: Novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan edisi  Penerbit Jendela, Ziarah Tanah Jawa karya Iman Budhi Santosa,  Bumi Manusia karya Pramoedaya Ananta Toer (terbitan Hasta Mitra), Kesetrum Cinta karya Sigit Susanto, Pidato Akhir Tahun Seorang Germo karya F Rahardi, Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar, Perjumpaan: Santiago, Martin, dan Boja karya Heri CS, dan Bermula Kembara Bermuara Kendara karya Setia Naka Andrian.

Di kursi terdapat 9 buku antara lain Surga Sungsang karya Triyanto Triwikromo, Das Urteil karya Franz Kafka, Ulysses karya James Joyce, Rahasia Selma karya Linda Christanty, Isyarat Cinta yang Keras Kepala karya Puthut EA, Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma, Menyusuri Lorong-lorong Dunia I karya Sigit Susanto, Novel Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah dalam bahasa Inggris Footsteps, Tjamboek Berdoeri: Indonesia dalam Api dan Bara. 

Kemudian, di kaki meja bagian depan yang tersusun dari tumpukan buku, terdapat lukisan punggung buku. Tercatat, ada 44 buku yang terdiri dari buku-buku berbahasa Indonesia, Inggris dan Jerman. Di antaranya, Liku Luka Kau Kaku karya Aguk Irawan MN, Ich bekenne ich habe gelebt karya Neruda, Alle Namen karya Jose Saramago, Ulysses karya James Joyce, Novelist As A Vocation karya Haruki Murakami, Der Berg der Seele karya Gao Xingjian, Sor Juana karya Octavio Paz, Situationen karya Sartre, Tangan Kotor di Balik Layar karya Puthut EA, Irish Radisch karya Albert Camus, dan Klim Samgin karya Gorki. 

Linda Christanty, salah satu sastrawan yang bukunya turut dilukis mengapresiasi kerja kreatif Rozak. Ia mengaku senang sekali salah satu kaver bukunya dilukis. “Kreativitas yang luar biasa. Kreatif dan inspiratif,” ujar Linda saat dihubungi Sigit Susanto penggagas meja-kursi ini melalui whatsapp.

Pendapat lain berbeda ketika foto serta video mengenai meja-kursi ini dikirim ke Phala, seniman di Bali. Menurutnya, kursi bermotif buku atau ada gambar buku tak akan laku di tempatnya. “Kami ngelangkahi buku aja nggak mau, apalagi dudukin,” ujar Phala melalui whatsApp. Dalam tradisi Bali, lanjutnya, buku dianggap suci. Bahkan, tiap ada perayaan Hari Saraswati, semua buku di rumah di taruh di atas meja dan diupacarai, dikasih sesaji.

   


Inspirasi dari Sastrawan Swiss Lukas Hartmann

Sigit Susanto, inisiator Meja-Kursi Sastra ini menjelaskan alasan memilih buku. Awalnya, ia ingin lukisan kaver buku berbahasa Indonesia semua. Tetapi, karena koleksi bukunya terbatas sehingga ia juga menyertakan buku-buku berbahasa asing Inggris dan bahasa Jerman.

“Kemudian, menimbang kualitas dan pertemanan. Ada pertimbangan kualitas buku satu per satu juga pertemanan. Maka, ada beberapa buku karya teman saya yang saya anggap berkualitas, seperti  Eka Kurniawan, Puthut EA, Linda Christanty, dan Aguk Irawan MN,” ujar pegiat milis Apresiasi Sastra (Apsas) ini. 

Sementara terkait buku asing, menurut Sigit, juga karena pertimbangan koleksi pribadi dan mengakrabi karya-karyanya sejak dulu, seperti Franz Kafka, Maxim Gorki, Neruda, James Joyce, Tagore, hingga Sartre. 

Ditambahkan Sigit, inspirasi lain atas “eksperimen” meja-kursi sastra ini yakni ingin meniru seorang Sastrawan Swiss, Lukas Hartmann. Ia menemukan potret Lukas sedang baca di atas meja yang dua kaki meja bagian depannya terbuat dari tumpukan buku-buku. 

“Saya ingin mengimitasi sastrawan Swiss yang membaca buku di atas meja tumpukan buku. Sepertinya menarik kalau dibuat. Mudah-mudahan menjadi kerja seni-literasi di Indonesia,” ujar pemilik Pondok Maos Guyub ini. 


Penulis: Heri Candrasentoso


Post a Comment for "Kenalkan Sastra melalui Meja-Kursi Tumpukan Buku Sastra"