Sritex Pailit!!!
Tahun ini adalah tahun yang berat bagi industri tekstil di Indonesia, yang mengalami rentetan kebangkrutan perusahaan besar, mulai dari pabrik lokal hingga raksasa tekstil Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex.
GARISTEBAL.COM- Sejak awal 2024, kebangkrutan pabrik tekstil di Indonesia semakin parah. Banyak pabrik di Jawa Tengah, Bandung, dan kota-kota lain terpaksa menutup pintu dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Beberapa faktor yang mendorong kebangkrutan ini meliputi persaingan ketat dengan produk impor murah yang membanjiri pasar, pergeseran konsumen ke platform digital yang membuat penjualan pabrik lesu, serta dampak pandemi yang belum sepenuhnya teratasi.
Gelombang kebangkrutan ini mengakibatkan kerugian besar, termasuk hilangnya ribuan lapangan pekerjaan dan kerugian finansial yang menghantam ekonomi lokal. Misalnya, PT Sai Apparel di Jawa Tengah mem-PHK 8.000 karyawan, sedangkan PT Sinar Panca Jaya di Semarang melepas 2.000 pekerja.
Namun, kasus paling mencolok terjadi pada Sritex, produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara.
Sritex: Raksasa yang Tumbang
PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau Sritex, pernah menjadi kebanggaan Indonesia dan bahkan Asia Tenggara.
Didirikan pada 1966 oleh H.M. Lukminto sebagai usaha perdagangan kecil di Pasar Klewer, Solo, Sritex berkembang menjadi salah satu perusahaan tekstil terbesar di kawasan, memasok seragam militer ke lebih dari 30 negara. Dengan kualitas produk yang diakui global, Sritex memproduksi seragam militer dan produk tekstil lainnya yang digunakan di berbagai belahan dunia.
Namun, di balik kejayaannya, kondisi keuangan Sritex mulai merosot beberapa tahun terakhir. Utang perusahaan yang menumpuk menjadi momok besar, mencapai sekitar 1,46 miliar dolar AS pada utang jangka panjang dan 131,41 juta dolar AS pada utang jangka pendek. Penjualan yang terus menurun membuat pendapatan perusahaan sulit menutup beban produksi dan bunga utang. Pada semester pertama 2024 saja, Sritex mencatat kerugian sebesar 25,73 juta dolar AS atau sekitar Rp402,66 miliar.
Masalah yang dihadapi Sritex tak hanya terletak pada manajemen utang, tetapi juga pada persaingan yang semakin ketat, terutama dengan produk tekstil impor murah dari Tiongkok. Hal ini diperparah dengan perubahan pola konsumsi masyarakat yang lebih condong pada produk fast fashion dari luar negeri. Kondisi ini mempersempit pangsa pasar produk lokal, termasuk milik Sritex yang memiliki segmen cukup spesifik.
Dampak Kebangkrutan: Apa yang Harus Dipelajari?
Gelombang kebangkrutan yang menghantam industri tekstil Indonesia menjadi pelajaran mahal tentang pentingnya inovasi, adaptasi, dan manajemen utang yang sehat. Dari kasus Sritex, terlihat bahwa meskipun memiliki reputasi baik di tingkat global, ketahanan finansial dan kemampuan beradaptasi dalam menghadapi perubahan menjadi penentu kelangsungan perusahaan. Pabrik-pabrik tekstil lain perlu memperhatikan pentingnya restrukturisasi utang dan efisiensi operasional untuk bertahan di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat.
Tahun 2024 menyimpan pesan keras bagi industri tekstil di Indonesia: di tengah ketidakpastian ekonomi, kemampuan adaptasi menjadi lebih penting daripada sekadar mempertahankan kejayaan masa lalu.
Penulis: Ardiyansyah
Dari berbagai sumber
Post a Comment for "Sritex Pailit!!!"