Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SERANGAN KE TEHERAN Israel-Iran Berhitung Akibat




     "Orang yang sedang marah. Biasanya bertindak tidak proporsional, berlebihan. Buatlah musuh kehilangan keseimbangan. Selanjutnya, peganglah kendali". Israel versus Iran, siapa yang pegang kendali? 

GARISTEBAL.COM-Apa yang ditulis Robert Greene, dalam buku 'bestseller', "48 Laws of Power" sejalan dengan ungkapan Presiden Rusia Vladimir Putin. Perang regional Timur Tengah akan meluas pada skala perang total. Sekali lagi, siapakah yang akan pegang kendali? Mengapa Israel hilang kendali?

     Ketidakadilan historis terhadap bangsa Palestina, sejak 75 tahun lalu (baca:Nakhba). Hingga terjadinya peristiwa "Banjir Al Aqsa" 7 Oktober 2023, telah merembet ke mana-mana. Palestina adalah 'sentrifugal',  yang kemudian mengarah ke luar. Menyebar kemana-mana!

      Lebanon, Suriah, Irak, Iran, dan mungkin (sukar di prediksi), bisa merambat ke Yordania, dan negara-negara Teluk (GCC) yang sedang menikmati kemakmuran.

      Semalam dini hari (26 Oktober 2024), Israel membom Kota Teheran (Iran), sebagai balasan serangan rudal Iran ke Tel Aviv (Ibukota Israel, 1 Oktober lalu). Apakah Iran akan membalas serangan ini? 

      Bila Iran langsung membalas, maka skala total Perang Timur Tengah tidak akan terkendali. Terlebih bila Israel terpojok, Amerika Serikat (AS), suka atau tidak pasti akan langsung masuk ke kancah peperangan. 

     AS bakal mengulangi peristiwa 1978, saat AS hengkang dari Negeri para mullah ini. Setelah 'proxy'nya kalah dalam sebuah revolusi rakyat yang berdarah-darah. Sang 'proxy' Raja Shah Reza Pahlevi beserta keluarganya melarikan diri ke AS.

    Dua peristiwa penting yang menyertainya: Kedubes AS diduduki 444 hari oleh para Mahasiswa Iran, dan gagalnya  'Operasi senyap' . Operasi militer AS bersandi "Blue Light", dengan sejumlah Helikopter pembebas sandera bertabrakan sebelum sampai Teheran.

      AS yang menganakemaskan Iran, bahkan kemesraan Iran-Israel bagai "dua anak kembar" AS, kini harus menjadi kompetitor sengit. Kejatuhan "Shahanshah", disebut-sebut menjadi kekuatan ke-5 terkuat di sisi persenjataan, harus berakhir lewat Revolusi Iran 1978.

      Saya teringat dengan Dr. Richard Buckminster Fuller (1885-1983), seorang 'scientist' (alumni Harvard University) yang dijuluki "Kakek Masa Depan", atau dengan julukan lain "orang jenius paling bersahabat se-Planet (bumi)". 

      Sosok Fuller dikenal amat manusiawi dan dicintai banyak orang. Meskipun teorinya lebih banyak ke arsiktektur, namun dia adalah seorang futuris yang mencintai perdamaian. "Kita menemukan apa yang benar, ketika kita menyingkirkan apa yang tidak benar".

     Merekapitulasi kata-kata Fuller dalam konteks konflik Timur Tengah saat ini. "Menemukan kebenaran, dengan menyingkirkan apa yang tidak benar". Siapa yang benar, siapa yang tidak benar. Pilihannya ada dua: Iran, atau Israel?

     Menarik garis seteru kedua negara, bermula dari tudingan Iran terhadap Israel. Agen-agen Israel dianggap telah membunuh Kepala Biro Politik Hamas (Palestina) Ismail Haniyeh di Teheran.  Pasca pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian (akhir Juli).

      Tak berhenti sampai di situ. Lewat serangan udara di pinggiran Beirut, Israel kembali membunuh pimpinan 'proxy' Iran, Hezbollah, Sayyed Hassan Nasrallah. Selang beberapa hari, kandidat pengganti Nasrallah, Hashem Safieddine juga tewas oleh bom Israel.

       Iran memang telah banyak kehilangan pimpinan 'proxy'nya. Bahkan sejumlah penasehat militer negeri 'mullah' ini tewas oleh serangan rudal Israel. Juni lalu, Jenderal Saeed Abiyar, menemui ajalnya di Kota Allepo (Suriah).

     Dua bulan sebelumnya (April), Jenderal Mohammad Reza Zahedi (Brigjen) tewas, setelah rudal Israel menghantam kantor Konsulat Iran di Damaskus (Ibukota Suriah). Turut tewas pula Brigjen Mohammad Haji Rahimi (Wakil Zahedi).

    Kematian Jenderal Iran berlanjut di bulan September, saat Israel membunuh Nasrallah dan Safieddine. Brigjen Abbas Nilforoushan (Komandan Pasukan elite Iran), ikut terbunuh. Sementara di pihak Israel, belum ada petinggi militer maupun petinggi politik yang menjadi korban.

      Membaca pikiran Iran, Israel, bahkan AS, sepertinya tidak ada keinginan untuk melakukan perang dengan skala besar. Kalkulasi kepemilikan nuklir Iran. Faktor AS di belakang Israel, membuat serangan-serangan kedua belah pihak hanya bersipat insidental. "Kamu serang sekali. Maka saya serang sekali"

      Betul "Shadow War", atau perang bayangan yang selama empat dekade lebih, sejak duet (Revolusi Ayatollah Khomeini-Ayatollah Ali Khamenei). Belum pernah terjadi sekalipun perang langsung antara Iran-Israel.  Kini telah terjadi. Di depan mata!

    Seperti saya katakan di atas, Israel (baca: AS) dan Iran sangat berhitung. Berhitung, antara akibat dan keuntungannya.

     Kecuali salah satu pihak memang sudah nekad untuk membuat kehancuran berskala regional (negara GCC)). Dan, skala Internasional (faktor ekonomi). Setuju atau tidak? Perang total Iran-Israel, akan menyeret negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC): UAE, Oman, Qatar, Kuwait, dan Bahrain ke dalam kehancuran. AS Pasti tidak berkenan.

      Dua faktor fundamental yang mesti dipikirkan Iran dan Israel. Di beberapa negara Teluk, terdapat pangkalan militer AS. Yang kedua, sekitar 17-21  juta barel per hari (bph), 'crude oil' (minyak mentah) akan berlayar melewati Selat Hormuz. 

      Dengan nilai sekitar USD 1,2 milyar, Selat Hormuz yang memisahkan antara Iran dengan Semenanjung Arabia,  minyak dari jazirah Arab sebanyak 88 persen pasti melewati Selat sempit selebar 39-96 km ini. Sementara 12 persen lagi, "crude oil"  lewat Terusan Suez dan berlanjut ke Laut Merah (Red Sea).

      Celakanya, Laut Merah kini dikuasai oleh milisi Houthi (Yaman), yang juga merupakan 'proxy'nya Iran. Seandainya kedua lintas "Crude Oil" dari Selat Hormuz-Samudra Hindia, dan Terusan Suez-Laut Merah terhenti karena perang total Iran-Israel. Harga Minyak bisa saja melonjak dari 20-100 persen.

     Sepertinya, asumsi ini sangat masuk akal. Kedua negara, tahu menjaga diri masing-masing. Untuk tidak terlalu jauh masuk ke dalam konflik berbahaya. 

    Buktinya, seperti dilansir Harian terkemuka Inggris "The Guardian" (26 Oktober 2024). "Otoritas penerbangan sipil Iran di Teheran, melanjutkan aktivitas penerbangan komersial mulai jam 09.00 pagi (05.30 GMT).

     Analisis ini, saya paparkan dengan asumsi logis. Lihat saja, setelah serangan Israel ke Teheran. PM Inggris Keir Starmer meminta Iran untuk tidak menanggapi serangan tersebut. Timur tengah perlu menghindari eskalasi regional.

     Israel sendiri mengakui, mereka tidak menyerang instalasi minyak atau nuklir Iran. Pejabat Israel juga menyebut, eskalasi lebih lanjut tidak menguntungkan siapa pun. Mereka hanya menyerang fasilitas produksi rudal.

     Iran dan Israel, keduanya memahami efek pantul-memantul yang tidak berkesudahan. Bila balas-membalas antara keduanya tidak dihentikan. Iran dan Israel akan hancur bersama. 

    Sudah merupakan naluri, 'agresi akan minus reaksi' (aksi minus reaksi). Salah satu pihak harus diam dulu untuk menetralkan situasi dalam beberapa minggu, atau bulan. Bila, ingin menyerang atau membalas lagi. Lakukan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan mendatang.

      Perang Iran-Israel, masih belum akan berskala besar. Iran akan melanjutkan pembalasannya dengan terus memperkuat 'proxy-proxy'nya ('shadow war'): Hezbollah dan Houthy. Sementara Hamas sejak kehilangan seluruh pemimpin terkemukanya: Yahya Sinwar, Ismail Haniyeh, Mohammad Deif, Marwan Issa, Saleh Al-Aroury, tengah mencoba jalur diplomasi.

      Karena itu, Hamas akan dipimpin oleh satu komite, hingga Pemilu Gaza berlangsung Maret tahun 2025. Hamas juga tidak perlu dulu menggemborkan pemimpin baru saat ini. Karena itu hanya akan memancing Israel melakukan pembasmian terhadap pemimpin Hamas yang baru terpilih nantinya.

      Akan seperti apa kelanjutan konflik Iran-Israel, yang bermula dari konflik Israel-Hamas? Serangan Israel ke Teheran dini hari tadi, dan serangan Iran ke Tel Aviv (1 Oktober lalu). Menunjukkan satu hal!

       Iran dan Israel, tidak bisa menghindari. Apa yang tidak mereka lihat. Kehancuran dan perdamaian, bisa saja mendekat. Atau sebaliknya terus menjauh. Kuncinya ada pada Israel dalam isu Palestina.


Penulis: Sabpri Piliang, Jurnalis Senior di Jakarta

Post a Comment for " SERANGAN KE TEHERAN Israel-Iran Berhitung Akibat"