Menyusuri Jejak Peradaban di Tengah Arus Jaman: Tashkent (3)
“Tanah kami adalah tempat di mana angin membawa wangi bunga, di mana sungai-sungai berbicara dalam bahasa yang dikenal oleh pohon-pohon tua, dan di mana setiap gunung dan dataran menyimpan rahasia nenek moyang kita.” (Abdulla Qodiriy (1894–1938)
Garistebal.com- Perjalanan saya dimulai dari Bukhara yang megah, tempat para penyair, pedagang, dan sarjana meninggalkan jejak-jejak agung mereka.
Di tengah lengkungan sejarah, Samarkand, kota di mana kubah-kubah masjid bersaing dengan langit, memanggil saya. Namun perjalanan ini tidak berakhir di sana. Tashkent menanti, ibukota yang mengandung lapisan-lapisan sejarah, antara kemegahan Islam dan kekerasan kekuasaan. Dengan kereta Afrosiyab, saya menembus waktu dan ruang, tiba di jantung Uzbekistan, tempat mimpi dan tragedi bercampur dalam arus peradaban.
Mencari Jejak di Tashkent
Tashkent adalah kota yang telah berkali-kali bangkit dari kehancuran. Dari reruntuhan gempa besar 1966 yang meluluhlantakkan hampir seluruh kota, hingga kini menjadi metropolis modern.
Langkah pertama saya di kota ini adalah mengunjungi Memorial Complex “Courage”, monumen yang dibangun untuk mengingatkan betapa tangguhnya penduduk Tashkent dalam menghadapi bencana. Di bawah patung perunggu yang menggambarkan seorang ayah melindungi keluarganya dari kehancuran, saya merasakan betapa kuatnya tekad manusia untuk bangkit, bahkan di bawah bayang-bayang ketidakpastian.
Di jalan-jalan Tashkent yang lapang, saya mendapati diri saya mengunjungi sejumlah madrasah, monumen-monumen megah yang berdiri di samping bangunan modern yang menjulang tinggi. Di sana, antara langit biru dan kubah hijau, saya menemukan diri saya terhanyut dalam keindahan spiritual sekaligus sejarah yang penuh dengan dinamika kekuasaan dan penindasan.
Keesokan harinya, sinar fajar yang lembut memanggil saya untuk menjelajahi lebih jauh sejarah Tashkent. Perhentian pertama adalah Barak Khan Madrasah, sebuah madrasah megah dari abad ke-16 yang dinding-dindingnya dihiasi dengan kerajinan kayu yang indah. Nuansa biru dan emas mendominasi, menciptakan suasana tenang namun berwibawa.
Tak jauh dari situ, Kompleks Hazrati Imam berdiri megah, pusat spiritual dan sejarah bagi umat Islam di Asia Tengah. Di dalamnya terdapat Tillashayx Mosque dan Baroqxon Madrasa, yang membawa kedamaian dan mengingatkan saya akan kebesaran arsitektur Islam di masa lalu. Setiap langkah di dalam kompleks ini seakan membawa saya ke zaman kejayaan para ulama besar yang pernah belajar dan mengajar di tempat ini.
Berjalan lebih jauh, saya tiba di Qaffol Shoshiy Mausoleum, makam seorang imam besar yang terkenal dengan kebijaksanaannya. Setiap sudut dari mausoleum ini menyimpan rahasia masa lalu yang mendalam, doa-doa yang pernah dipanjatkan di antara dinding batunya seolah masih bergaung di udara.
Di kota yang selalu sibuk ini, saya juga mengunjungi Mausoleum of Sheikhantaur Sheikh, bangunan yang sarat dengan kharisma sufi. Di antara pohon-pohon tua yang ditanam sejak zaman Alexander Agung, saya merasakan aura spiritual yang mistis, membawa ketenangan di tengah hiruk-pikuk modernitas.
Institut Islam Imam Bukhari: Lentera dari Timur
Institut Islam Imam Bukhari berdiri megah di tengah kompleks Hazrati Imam. Lembaga ini, didirikan pada tahun 1969, adalah lambang pendidikan agama di Uzbekistan.
Di sinilah para “santri” mempelajari teologi dan hukum Islam, mengikuti jejak Imam Bukhari, sang pengumpul hadits teragung. Saya terpesona oleh kesederhanaan arsitekturnya, yang dibalut kemegahan spiritual. Di dalam ruang-ruangnya, ada perasaan abadi yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, seakan-akan setiap ayat Al-Qur’an yang dipelajari di sini meresap dalam batu-batunya.
Namun, seperti sejarah lainnya, lembaga ini tidak terlepas dari bayang-bayang kekuasaan. Sejak era Soviet, rakyat Uzbekistan berjuang untuk mempertahankan identitas religiusnya di tengah represi politik. Di sinilah agama dan politik bertemu dalam ketegangan yang tak terhindarkan, sebuah ketegangan yang masih terasa hingga kini.
Perkamen Al-Qur’an Usmaniyah
Tidak jauh dari situ, tersimpan salah satu artefak paling sakral dalam Islam, perkamen Al-Qur’an Usmaniyah. Naskah ini, yang diyakini ditulis pada masa Khalifah Usman, menjadi saksi bisu sejarah panjang peradaban Islam.
Dibawa oleh Amir Temur ke Samarkand setelah menundukkan Baghdad dan kemudian ke Tashkent, naskah ini mencerminkan ketahanan iman di tengah pergolakan sejarah. Sempat pula dibawa ke St. Petersburg Rusia selama Uzbekistan dibawah kekuasaan Uni Sovyet, namun kemudian menempuh perjalanan lagi hingga berakhir kembali di Tashkent ini dan ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO.
Melihat lembaran-lembaran perkamen kuno itu, saya merasakan getaran waktu. Setiap huruf yang tercetak di sana, setiap noda yang menua, seakan berbicara tentang perjalanan panjang Islam dari masa ke masa, menembus perang dan perdamaian, cinta dan kebencian, kebijaksanaan dan kebodohan.
Museum Rezim Politik
Perjalanan saya dilanjutkan ke Museum Korban Represi Politik (bahasa Uzbek: Qatagʻon qurbonlari xotirasi muzeyi).
Namun di tengah jalan saya mendapati sebuah patung seorang tokoh tertulis bernama Abdulla Qodiriy (1894–1938). Saya meminta berhenti sejenak untuk berfoto dan meminta keterangan dari Ilyas, si Pemandu. Dijelaskan bahwa dia adalah salah satu tokoh sastra paling penting dalam sejarah Uzbekistan. Lahir di Tashkent, Qodiriy dianggap sebagai pionir sastra modern Uzbekistan, yang menggunakan bahasa Uzbekistan untuk menciptakan novel dan drama yang penuh dengan kritik sosial dan politik. Dia terkenal karena karyanya yang memperjuangkan reformasi sosial dan mendorong perubahan di masyarakat Uzbekistan, yang saat itu berada di bawah kekuasaan kekaisaran Rusia. Namun, pandangan-pandangan kritisnya terhadap rezim yang ada membuatnya ditangkap pada masa pemerintahan Stalin di Uni Soviet. Dia akhirnya dieksekusi pada tahun 1938 selama Great Purge, ketika banyak intelektual dan aktivis dibungkam oleh pemerintah Soviet.
Di Museum Korban Represi Politik, sejarah Uzbekistan terpapar secara terang-benderang, tanpa tedeng aling-aling. Museum ini menceritakan kisah kelam represi, dari zaman Tsar hingga era Soviet, di mana ribuan orang dipenjara, diasingkan, atau dieksekusi tanpa pengadilan yang adil. Setiap pajangan, setiap foto, setiap artefak menyimpan kenangan yang pahit, seolah-olah jeritan mereka yang telah lama dibungkam masih menggema di udara.
Di museum ini, saya merasa sejarah tidak lagi hanya soal tanggal dan fakta, melainkan tentang rasa sakit manusia yang sesungguhnya. Terasa jelas bagaimana rezim Stalin menekan setiap suara yang berbeda, bagaimana rakyat Uzbekistan dipaksa tunduk di bawah bayangan kekuasaan yang brutal. Museum ini juga menyoroti skandal kapas, yang memperlihatkan korupsi masif di bawah pemerintahan Sharof Rashidov, seorang pemimpin yang membangun kekayaannya dengan manipulasi hasil panen kapas. Skandal ini melibatkan pejabat Soviet, memperlihatkan betapa dalamnya sistem korupsi yang merusak rakyat Uzbekistan.
Era Soviet Uzbekistan memang penuh dengan korupsi dan penipuan yang diabadikan dalam Skandal Kapas. Pemerintah Uni Soviet yang rakus memaksa Uzbekistan menanam kapas dalam jumlah besar, merusak lingkungan dan membuat rakyat miskin. Di bawah pemerintahan Brezhnev, laporan palsu tentang hasil panen kapas menjadi dasar untuk menipu pemerintah pusat, hingga akhirnya meledak dalam investigasi besar-besaran pada tahun 1980-an. Rakyat Uzbekistan menderita di bawah sistem ini, dan ketika Uzbekistan merdeka, bayang-bayang skandal ini tetap membekas.
Namun kemerdekaan dari Uni Sovyet bukan berarti penindasan berakhir, hanya berubah rezim penguasa saja. Dengan dalih nasionalisme, Islam Karimov -Presiden pertama Uzbekistan- menggunakan cara-cara Sharof Rashidov dengan manipulasi kesadaran rakyat negara baru merdeka tersebut untuk tetap menanam dan memanen kapas dengan pola mirip tanam paksa. Bahkan lebih parah, karena menggunakan tenaga anak-anak usia sekolah dasar sebagai buruh pemetik kapas.
Namun, yang paling membekas bagi saya adalah kisah Pembantaian Andijan pada tahun 2005. Ribuan rakyat berkumpul untuk memprotes kebijakan keras Presiden Islam Karimov, tetapi mereka disambut dengan tembakan. Sekitar 700 orang tewas, sebuah peristiwa yang mengakhiri harapan rakyat Uzbekistan untuk reformasi damai. Pembantaian ini menandai kembalinya Uzbekistan ke pelukan Rusia, karena kritik keras dan embargo ekonomi Barat terhadap kejadian ini.
Karimov, pemimpin yang bertahan selama beberapa dekade, adalah sosok yang represif. Di bawah pemerintahannya, Uzbekistan menjadi salah satu negara yang paling tertutup dan represif di dunia. Setiap oposisi dibungkam, dan mereka yang berani menentang, seperti di Andijan, dihancurkan tanpa belas kasihan. Pengawasan ketat terhadap para “Islamis” dan aktivis hak asasi manusia menciptakan ketakutan yang mencekam di seluruh negeri. Setiap langkah di Uzbekistan terasa seolah-olah diawasi oleh mata yang tak terlihat, sebuah atmosfer yang sulit dijelaskan namun nyata terasa.
Seperti yang dijelaskan dalam Why Nations Fail, negara-negara yang gagal sering kali membangun institusi politik dan ekonomi yang menindas, di mana kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite, sementara masyarakat umum dipaksa hidup di bawah kontrol represif. Rezim Karimov menciptakan situasi di mana setiap bentuk oposisi, termasuk kelompok Islamis, nasionalis, atau hak asasi manusia, dihancurkan dengan kejam. Penjara penuh dengan tahanan politik, dan laporan-laporan tentang penyiksaan menjadi hal biasa. Pada suatu masa Uzbekistan pernah menjadi salah satu negara yang paling represif di dunia, di mana ketakutan dan kontrol negara menyelimuti seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Ketika saya berdiri di Tashkent, mengenang peristiwa Andijan, saya merasa sejarah terus-menerus berulang—kekuasaan selalu menang atas kebenaran.
Akhir Perjalanan
Dua hari di Tashkent terasa singkat namun padat dengan sejarah, penuh dengan pelajaran tentang kekuasaan, penindasan, dan harapan. Setiap sudut kota ini berbicara tentang ketahanan rakyatnya, dan saya, sebagai seorang peziarah, merasa perjalanan ini lebih dari sekadar ziarah spiritual. Ini adalah perjalanan untuk memahami betapa rapuhnya kehidupan di bawah bayang-bayang kekuasaan yang menindas, namun sekaligus betapa kuatnya manusia dalam menghadapi segala cobaan.
Menjelang akhir perjalanan, sembari merenung, saya melangkah masuk ke Chorsu Bazaar, pasar tua di jantung kota Tashkent. Di sini, aroma rempah-rempah, kain sutra, dan buah-buahan kering menyelimuti saya, menciptakan harmoni antara masa lalu dan masa kini. Suara hiruk-pikuk para pedagang seakan menghidupkan kembali sejarah perdagangan Jalan Sutra yang pernah memuliakan tempat ini.
Saat saya menapakkan kaki di Bandara Internasional Tashkent -yang nama resminya bernama Islom Karimov Toshkent Xalqaro Aeroporti- untuk kembali ke Jakarta dengan Uzbekistan Airways, saya tahu bahwa Tashkent telah meninggalkan jejak yang dalam dalam hati dan pikiran saya. Di langit malam yang berkilauan di atas Samarkand dan Bukhara, saya mengingat semua cerita yang belum selesai, kisah-kisah yang terus mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Di antara sejarah dan masa depan, semoga demokrasi di Uzbekistan tetap berdiri tegak, tak tergoyahkan.
Penulis: Denny Septiviant – Politisi PKB / Penziarah /Travel Photography Enthusiast
Post a Comment for "Menyusuri Jejak Peradaban di Tengah Arus Jaman: Tashkent (3)"