Menyusuri Jejak Peradaban di Tengah Arus Zaman : Bukhara (1)
Garistebal.com- Pesawat Uzbekistan Airways perlahan meninggalkan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Suara gemuruh mesinnya semakin melemah ketika saya menatap keluar jendela, memandang hamparan kota Jakarta yang memudar di bawah sana, seperti kenangan yang semakin jauh.
Ini adalah perjalanan menuju Bukhara, kota tua yang menyimpan jejak peradaban Islam dan teka-teki sejarah. Bukhara, yang sejak dulu menjadi saksi peradaban, adalah tujuan akhir, tetapi pertama-tama saya harus menginjakkan kaki di Tashkent, ibu kota Uzbekistan.
Perjalanan dimulai dengan melewati ribuan mil udara, melintasi benua Asia. Penerbangan yang panjang membawa saya ke Bandara Internasional Islam Karimov di Tashkent. Di sinilah, saat kaki pertama kali menginjak tanah, saya merasakan getar yang berbeda. Tashkent, meski kota modern, membawa saya sejenak merenung tentang sejarah panjang Uzbekistan yang dimulai jauh sebelum merdeka dari Uni Soviet pada tahun 1991.
Islam Karimov -yang namanya diabadikan menjadi bandara internasional- adalah Presiden pertama Uzbekistan, yang memimpin negara tersebut sejak kemerdekaannya dari Uni Soviet pada tahun 1991 hingga kematiannya pada tahun 2016. Di bawah kepemimpinannya, Uzbekistan dikenal dengan kebijakan stabilitas yang ketat namun dengan pendekatan otoriter.
Dalam buku “Why Nations Fail”, dalam masa pemerintahan Islam Karimov, Uzbekistan dicontohkan sebagai negara dengan institusi ekonomi ekstraktif, di mana elite kecil mengeksploitasi sumber daya negara untuk kepentingan sendiri, termasuk melalui kebijakan kontroversial penggunaan pekerja anak di perkebunan kapas. Negara mengontrol penuh produksi kapas, dan anak-anak dipaksa bekerja di bawah kondisi buruk dengan sedikit atau tanpa bayaran. Ilyas, pemandu saya yang mahir berbahasa Indonesia menceritakan bahwa dia pernah mengalami kerja paksa ini ketika masih di SD. “Itu adalah kenangan pahit, ketika musim panen, seluruh sekolah SD dikosongkan karena siswanya diminta untuk memetik kapas dan guru-guru menjadi pengawas” katanya. Saat ini dia berusia 40an tahun dan berkeluarga, dan berharap anaknya tidak mengalami masa kegelapan itu.
Uzbekistan, yang dahulu berada di bawah kendali Soviet, telah melalui masa-masa sulit. Sejak kemerdekaannya, negara ini mengupayakan langkah-langkah besar untuk membangun identitas baru di tengah arus globalisasi. Namun, jejak-jejak Soviet masih terasa kuat, meski Uzbekistan kini berdiri di atas sejarah peradaban yang jauh lebih tua, melampaui era Soviet, bahkan melampaui abad-abad sebelum kedatangan Islam.
Ke Bukhara dengan Afrosiyob
Setelah menginap semalam di Tashkent, perjalanan berlanjut paginya dengan kereta cepat Afrosiyob. Saya menaiki kereta yang modern ini menuju Bukhara, sebuah perjalanan darat yang memotong padang pasir dan lahan pertanian yang luas. Di luar jendela, panorama stepa terbentang, mirip dengan lahan yang dahulu dilintasi oleh kafilah-kafilah yang menghubungkan Samarkand, Bukhara, dan kota-kota lain di sepanjang Jalur Sutra. Di dalam kereta, saya berpikir tentang bagaimana tanah ini telah menghubungkan Asia dan Eropa selama berabad-abad.
Bukhara: Kota Tua yang Tak Lekang Oleh Waktu
Bukhara menyambut saya dengan nuansa yang penuh kesahajaan. Menjejakkan kaki di kota ini seperti menembus lorong waktu. Di jalan-jalan sempit yang berbatu, saya merasakan langkah para ilmuwan, ulama, dan pedagang dari masa lalu yang masih bergaung hingga hari ini. Salah satu yang paling terasa adalah pesona Lyabi Hauz, kolam air yang dikelilingi pohon-pohon tua dan bangunan-bangunan megah, seolah membisikkan cerita dari masa-masa kejayaan kota ini.
Kota tua Bukhara adalah labirin sejarah, dan Lyabi Hauz adalah salah satu episentrumnya. Di sekitar kolam ini, saya berjalan melewati Madrasah Nadir Divan-begi yang megah, yang pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam. Tak jauh dari sana, Madrasah ulugh beg berdiri anggun dengan fasad penuh dekorasi keramik berwarna biru. Dua bangunan ini bukan hanya saksi sejarah intelektual Islam, tetapi juga perwujudan estetika arsitektur Islam yang mencapai puncaknya di Asia Tengah.
Lokasi pertama yang saya cari untuk berfoto di depannya adalah Patung Khoja Nasreddin (di Indonesia dikenal sebagai Nasarudin Hoja) yang terletak di alun-alun pusat Bukhara, dekat dengan kompleks Lyabi-hauz ini. Dibangun pada 1979 oleh pematung Yakov Shapiro, patung perunggu ini menggambarkan Khoja Nasreddin sedang menunggang keledai kesayangannya, dengan senyuman jenaka dan pakaian tradisional Timur Tengah.
Dari banyak bacaan dia dikenal sebagai tokoh legendaris yang memadukan kebijaksanaan dengan kesederhanaan, serta kecerdikan dalam menghadapi kekuasaan dan kebodohan, Khoja Nasreddin selalu dekat dengan hati rakyat. Dalam cerita-ceritanya, ia menyindir dengan humor tentang berbagai keburukan manusia dan kekuasaan yang menindas, menjadikannya simbol kebijaksanaan dan kebahagiaan. Konon siapapun yang mendekat ke patung ini, terutama anak-anak yang memanjat patung keledai ini, akan mendapatkan kebahagiaan sepanjang hidup. Sebenarnya ada benarnya juga sih, dengan senyum nakal di wajahnya, Khoja Nasreddin seolah-olah mengundang siapapun yang mendekat untuk merasakan keceriaan dan kejenakaannya, patung menjadikannya daya tarik bagi turis dan warga lokal.
Jejak Agung di Tepi Jalur Sutra
Di Bukhara, sejarah tidak pernah jauh dari agama. Saya teringat akan salah satu kutipan Ibnu Batutah dalam magnum opus-nya Ar-Rihlah, "Bukhara adalah kota yang penuh berkah dengan ulama-ulama terkemuka dan tempat-tempat ibadah yang megah." Kata-kata itu terasa nyata ketika saya berdiri di depan Masjid Magoki Attori, sebuah masjid tua yang dibangun di atas fondasi kuil Zoroaster. Masjid ini menjadi simbol bagaimana Bukhara menyerap berbagai pengaruh, dari era pra-Islam hingga kejayaan Islam di abad pertengahan.
Zoroaster adalah sebuah agama kuno Persia, sebelum kedatangan Islam. Almarhum Freddie Mercury (Vocalis Queen) adalah salah satu penganut Zoroaster modern. Nama "Magoki" sendiri berarti "tersembunyi", mengacu pada bagian masjid yang dulunya terkubur. Masjid ini menjadi simbol transisi dari Zoroastrianisme ke Islam di Bukhara, mencerminkan pergeseran spiritual dan kultural yang terjadi selama abad ke-8 ketika Islam mulai menyebar di wilayah tersebut. Hiasan-hiasan arsitektural pada masjid ini, termasuk motif-motif api yang mengingatkan pada simbol suci Zoroaster, menunjukkan adanya interaksi antara tradisi Zoroaster dan Islam, menjadikannya monumen yang sarat makna sejarah dan religius.
Tak jauh dari sana, sinagog tua Bukhara berdiri tegak, mengingatkan bahwa kota ini pernah menjadi rumah bagi komunitas Yahudi besar yang hidup berdampingan dengan umat Muslim selama berabad-abad. Di sinilah Bukhara menunjukkan toleransi beragama yang telah terjalin selama berabad-abad.
Pusat Perdagangan dan Pengetahuan
Bukhara juga adalah pusat perdagangan di Jalur Sutra, dan Toki Sarrofon Trading Dome menjadi simbol dari kejayaan ekonomi masa lalu kota ini. Di bawah kubah besar yang dahulu menjadi pusat jual beli, saya membayangkan para pedagang dari Cina, Persia, dan Bizantium yang berkumpul di sini, memperdagangkan sutra, rempah-rempah, dan karpet-karpet halus.
Sejenak, saya singgah di Silk Road Tea House yang terletak tak jauh dari sana. Teh hijau yang hangat menghangatkan tenggorokan saya, sementara saya memandangi Abdulaziz Khan Madrasah yang megah. Madrasah ini adalah salah satu pusat ilmu pengetahuan di Bukhara masa lalu, tempat para sarjana Muslim belajar dan mengajarkan filsafat, matematika, dan ilmu-ilmu agama.
Abdulaziz Khan Madrasah, yang dibangun pada tahun 1652 adalah salah satu contoh arsitektur Islam yang kaya dan mencerminkan kemegahan pendidikan Islam di Asia Tengah pada abad ke-17. Madrasah ini didirikan oleh Abdulaziz Khan, seorang penguasa dinasti Ashtarkhanid, dan berfungsi sebagai pusat pembelajaran agama Islam, filsafat, sains, dan sastra bagi para ulama serta pelajar. Terinspirasi oleh tradisi madrasah yang sudah ada sejak zaman keemasan Islam, seperti di Baghdad dan Samarkand, madrasah ini melanjutkan warisan panjang pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Seperti banyak madrasah lain dalam sejarah Islam lampau, Abdulaziz Khan Madrasah bukan hanya tempat pendidikan agama, tetapi juga pusat intelektual yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya di wilayah yang pernah menjadi jantung peradaban Islam.
Namun ironinya, di saat ini keberadaan madrasah di Uzbekistan modern diatur secara ketat oleh negara, seiring dengan kebijakan sekularisme dan kontrol ketat atas agama sejak masa pemerintahan Islam Karimov hingga era Shavkat Mirziyoyev. Meskipun Uzbekistan merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim, pemerintah secara historis membatasi kebebasan pendidikan agama sebagai bagian dari upaya untuk mencegah radikalisasi dan menjaga stabilitas negara.
Madrasah, sebagai institusi pendidikan agama, diharuskan terdaftar dan diawasi oleh negara melalui Kementerian Pendidikan dan Komite Urusan Agama. Kurikulum dan pengajaran di madrasah juga harus disesuaikan dengan standar nasional, dengan penekanan pada moderasi dan penghindaran interpretasi ekstremis ajaran Islam. Meskipun demikian, di bawah pemerintahan Mirziyoyev, ada pelonggaran tertentu, seperti peningkatan jumlah madrasah yang diizinkan beroperasi dan perbaikan pendidikan Islam, sebagai bagian dari reformasi yang lebih luas untuk memperkuat identitas Islam moderat di Uzbekistan. Namun, kontrol negara tetap kuat dalam hal pengawasan dan pengaturan aktivitas keagamaan, termasuk di madrasah.
Po-i Kalyan dan Kemegahan Kalyan Minaret
Salah satu situs paling megah di Bukhara adalah Kompleks Po-i Kalyan, yang di dalamnya terdapat Menara Kalyan yang menjulang setinggi 45 meter. Menara ini, yang disebut juga Menara Kematian karena pernah digunakan untuk mengeksekusi para terpidana, adalah simbol spiritual dan arsitektural Bukhara. Dari puncak menara, muazin menyerukan adzan yang menggetarkan setiap jiwa yang mendengarnya, seolah memanggil kembali ke kedalaman sejarah Islam.
Di seberangnya, Masjid Bolo Hauz berdiri dengan megah, diiringi bayangan menara-menara yang menari di atas kolam air yang tenang. Masjid ini menjadi salah satu tempat utama bagi para peziarah yang datang untuk beribadah dan merasakan ketenangan spiritual di tengah riuhnya kota.
Masjid Bolo Hauz, yang dibangun pada tahun 1712 di Bukhara, Uzbekistan, adalah salah satu masjid bersejarah yang terkenal dengan arsitektur kayu tiangnya yang indah dan berornamen. Masjid ini terletak dekat dengan benteng Ark dan pernah menjadi tempat ibadah para penguasa Bukhara, termasuk Emir Bukhara. Dengan struktur unik yang terdiri dari tiang-tiang kayu yang menjulang tinggi di serambi depan dan dekorasi interior bergaya Islam klasik, Masjid Bolo Hauz mencerminkan kekayaan arsitektur Islam Asia Tengah. Saat ini, masjid ini masih aktif digunakan untuk ibadah, terutama saat salat Jumat dan acara keagamaan penting. Selain menjadi tempat ibadah, Masjid Bolo Hauz juga merupakan destinasi wisata, menarik pengunjung yang tertarik pada sejarah dan arsitektur Islam Uzbekistan.
Emir Bukhara adalah gelar yang digunakan oleh penguasa Kesultanan Bukhara, sebuah entitas politik Islam yang menguasai wilayah Asia Tengah, terutama Uzbekistan modern, dari abad ke-18 hingga awal abad ke-20. Emir Bukhara memainkan peran penting dalam menjaga otonomi kesultanannya meskipun berada di antara dua kekuatan besar, Kekaisaran Rusia dan Dinasti Qing di Tiongkok. Politik Emir Bukhara seringkali ditandai dengan upaya mempertahankan kedaulatan lokal sembari mengelola hubungan yang rumit dengan Rusia, yang akhirnya menjadikan Bukhara sebagai protektorat pada akhir abad ke-19. Di bawah protektorat Rusia, Emir tetap berkuasa secara nominal, tetapi secara de facto kekuasaannya sangat terbatas, terutama dalam urusan kebijakan luar negeri dan ekonomi. Kesultanan Bukhara runtuh pada tahun 1920 setelah Revolusi Bolshevik, ketika tentara Merah Soviet menaklukkan Bukhara dan mengakhiri kekuasaan dinasti Emir.
Makam-makam Suci dan Ziarah Spiritual
Bukhara juga merupakan tanah suci bagi para ulama besar. Imam Bukhari, pengumpul hadis yang paling dihormati dalam tradisi Islam lahir di kota ini namun dimakamkan di Samarkand.
Di Kota ini saya menziarahi makam Imam Naqsyabandi, pendiri Tarekat Naqsyabandiyah yang menjadi salah satu gerakan sufisme terbesar di dunia Islam. Makamnya adalah tempat suci bagi para peziarah dari seluruh dunia yang mencari kedamaian batin dan pencerahan spiritual.
Bahkan di luar makam-makam suci, nama-nama besar seperti Ibnu Sina, filsuf dan dokter yang dikenal sebagai Avicenna di Barat, dan Ulugh Beg, seorang astronom dan pemimpin, terus bergaung. Ibnu Sina, memang lahir di dekat sini, seorang dokter dan filsuf yang merubah dunia medis. Beliau menulis lebih dari 450 buku, salah satunya adalah “The Canon of Medicine”, yang menjadi dasar ilmu kedokteran modern selama berabad-abad. Bukhara juga rumah bagi penyair besar seperti Fadhil Al-Bukhari dan sastrawan-sastrawan yang menghiasi panggung intelektual Islam dengan karya-karya mereka.
Bukhara tidak hanya menjadi pusat agama, tetapi juga pengetahuan yang berpengaruh hingga jauh ke dunia Barat.
Di Antara Sejarah dan Kenyataan
Perjalanan saya di Bukhara adalah perjalanan melintasi waktu. Dari peninggalan arsitektural hingga makam-makam suci, dari para ulama besar hingga para pedagang di Jalur Sutra, Bukhara mengajarkan bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang mati, melainkan hidup dalam setiap langkah yang kita jejakkan di atasnya.
Ibnu Batutah benar ketika berkata, "Bukhara adalah kota yang penuh berkah," tetapi lebih dari itu, Bukhara adalah kota yang menyimpan cerita tentang bagaimana manusia mengatasi batas-batas politik, agama, dan waktu. Di antara modernitas dan tradisi, saya meninggalkan Bukhara dengan pemahaman bahwa sejarah dan spiritualitas tidak hanya ada di buku-buku, tetapi juga di tempat-tempat yang telah menjadi saksi perjalanan peradaban ini.
Penulis: Denny Septiviant – Politisi PKB / Travel Photography Enthusiast
Post a Comment for "Menyusuri Jejak Peradaban di Tengah Arus Zaman : Bukhara (1)"