Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengapa Negara Gagal: Menelusuri Akar Kesenjangan Politik dan Ekonomi Indonesia



 Garistebal.comSaya kembali teringat dengan buku “Why Nations Fail” karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson ini setelah penulisnya disebut beberapa kali oleh Gita Wiryawan ketika acara Briefing Public Policy di DPP PKB beberapa saat lalu. 

Memang buku ini menarik, karena menawarkan lensa tajam untuk memahami akar kesenjangan pembangunan di berbagai negara. Acemoglu dan Robinson menekankan bahwa keberhasilan atau kegagalan suatu bangsa ditentukan oleh apakah negara tersebut memiliki institusi politik dan ekonomi yang inklusif atau ekstraktif. Dalam konteks Indonesia, yang memiliki institusi relatif inklusif, muncul pertanyaan: Mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia belum sebanding dengan negara-negara seperti Malaysia, Kolombia, atau Meksiko, yang justru memiliki institusi politik yang lebih ekstraktif?


Politik Inklusif: Janji yang Belum Terpenuhi

Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, sering digambarkan memiliki institusi politik yang inklusif. Dalam teori Acemoglu dan Robinson, negara dengan institusi inklusif memungkinkan partisipasi politik yang lebih luas, memberikan akses ekonomi yang merata, serta memastikan bahwa kekayaan dan kekuasaan tidak terkonsentrasi pada segelintir elite. Namun, di lapangan, institusi inklusif Indonesia masih tertatih-tatih dalam menghadapi tantangan oligarki, korupsi, dan ketidaksetaraan ekonomi.

Sebagai contoh, demokrasi yang dirayakan dalam pemilu langsung sejak 1998 belum sepenuhnya menciptakan distribusi ekonomi yang merata. Reformasi institusional yang dijalankan selama dua dekade terakhir masih terhambat oleh kelompok oligarki yang menguasai sektor-sektor kunci ekonomi. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi tetap stagnan pada kisaran 5% per tahun—jauh di bawah potensi yang seharusnya dapat dicapai jika institusi inklusif benar-benar berjalan dengan optimal.


Negara Ekstraktif yang Maju: Pelajaran dari Malaysia dan Kolombia

Buku “Why Nations Fail” menjelaskan bahwa institusi ekstraktif, yang cenderung menutup akses politik dan ekonomi hanya untuk kalangan tertentu, biasanya menyebabkan ketidakstabilan dan kemunduran ekonomi. Namun, paradoksnya, negara-negara seperti Malaysia, Kolombia, dan Meksiko yang masih didominasi oleh politik ekstraktif justru menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

Malaysia, misalnya, memiliki elemen-elemen ekstraktif dalam pengelolaan ekonominya, di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada elit UMNO dan kelompok-kelompok pengusaha terafiliasi. Meski demikian, Malaysia mampu memacu pertumbuhan ekonominya dengan kebijakan yang tegas dalam mengembangkan sektor manufaktur dan teknologi. Sementara itu, Kolombia, meskipun sering diguncang konflik internal dan kartel narkoba, berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih dinamis melalui reformasi institusional parsial dan pengelolaan sektor minyak yang kuat.


Perbandingan dengan Singapura: Kebijakan vs Institusi

Singapura menjadi contoh negara yang mengaburkan batas antara institusi ekstraktif dan inklusif. Di bawah kepemimpinan otoriter yang tegas namun berorientasi pada pembangunan ekonomi, Singapura mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan pertumbuhan pesat. Meskipun institusi politiknya sering dianggap ekstraktif karena kurangnya kebebasan politik, Singapura menunjukkan bahwa kebijakan yang efektif dan pembangunan sumber daya manusia dapat mengimbangi keterbatasan dalam inklusivitas politik. Ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia: bahwa komitmen pada kebijakan yang mendorong inovasi dan efisiensi ekonomi dapat menjadi penyeimbang dalam sistem demokrasi yang masih terbelit kepentingan oligarkis.


Tantangan Bagi Pemerintahan Prabowo

Jika Prabowo Subianto, sebagai calon presiden mendatang, serius ingin membawa Indonesia menuju era baru pembangunan ekonomi yang lebih inklusif, maka langkah pertama adalah memastikan institusi politik Indonesia tidak terjebak dalam lingkaran oligarki. Reformasi birokrasi dan hukum yang tegas untuk memberantas korupsi harus menjadi agenda utama, diikuti dengan pemberdayaan sektor industri yang memiliki nilai tambah tinggi.

Dalam hal ini, keberhasilan Malaysia dan Singapura dapat menjadi inspirasi, namun tetap harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang lebih plural dan kompleks. Peningkatan akses terhadap pendidikan dan teknologi bagi seluruh rakyat Indonesia, serta reformasi sistem perpajakan yang adil, bisa menjadi langkah awal untuk memastikan kekayaan negara tidak hanya terkonsentrasi pada kelompok tertentu.


Anjuran Agenda Politik untuk PKB

Sebagai partai yang menjadi bagian dari koalisi pemerintahan, PKB harus memainkan peran sentral dalam mendorong agenda inklusif ini. Pertama, PKB perlu memperkuat posisinya dalam memperjuangkan kebijakan pro-rakyat yang nyata—terutama dalam hal reformasi pendidikan, akses kesehatan, dan dukungan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kedua, PKB juga harus mendorong terciptanya institusi-institusi yang lebih demokratis di tingkat daerah, di mana otonomi daerah sering kali dimanfaatkan oleh elit lokal untuk memperkaya diri. Dengan memperkuat demokrasi di tingkat akar rumput, PKB bisa mendorong terciptanya institusi politik yang lebih adil dan merata.

Pada akhirnya, buku “Why Nations Fail” menyajikan refleksi yang relevan bagi Indonesia. Meskipun negara ini memiliki potensi besar dengan institusi yang inklusif, tanpa reformasi serius yang menargetkan oligarki dan kebijakan ekonomi yang lebih progresif, Indonesia akan terus tertinggal dari negara-negara tetangganya yang memiliki institusi ekstraktif tetapi efektif dalam memajukan ekonominya. 

Penulis: Denny Septiviant - Politisi PKB

Post a Comment for "Mengapa Negara Gagal: Menelusuri Akar Kesenjangan Politik dan Ekonomi Indonesia"