Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

“Kopi, Presiden, dan Pencitraan”



Garistebal.comPagi yang cerah di warung kopi Pak Darmin, Paijo dan Bendrat seperti biasa duduk di bangku panjang dengan segelas kopi hitam di tangan. Suasana kampung masih tenang, tapi obrolan mereka pagi ini mulai mengarah ke sesuatu yang lebih "berat" dari biasanya. Bukan lagi soal harga cabai atau kambing tetangga yang kabur, tapi soal presiden yang akan segera turun dari singgasananya.

“Njo, kowe ndenger ora? Katanya presiden kita mau operasi,” ujar Bendrat sambil menyeruput kopinya pelan-pelan.

Paijo terkejut, nyaris menumpahkan kopinya. "Waduh! Operasi opo to, Ndrat? Jangan-jangan presiden kena penyakit serius? Aku kira sehat-sehat wae, lho."

Bendrat terkekeh, menepuk bahu Paijo. "Bukan operasi bedah, Njo. Ini operasi pencitraan."

Paijo mengernyitkan dahi, bingung. "Pencitraan? Kok presiden butuh operasi pencitraan? Biasane pencitraan itu ya, apa ya… kaya foto-foto pas panen padi, tanam pohon, gitu-gitu?"

"Nah, itu dia, Jo! Persis banget. Tapi ini skala gede, lho! Jadi, sebelum turun tanggal 20 Oktober nanti, presiden kita lagi digarap biar kelihatan... apik gitu. Wong-wong pada bikin tagar di Twitter, TikTok, segala macam, pokoke serba pujian. Hashtag #TerimakasihPakJokowi, #KerjaNyata, itu lho, sudah lebih dari 11 ribu kali dipakai. Kayak main layangan, diterbangkan tinggi-tinggi biar semua orang lihat."

Paijo terkekeh. "Lha, iya ya, kok kesannya kayak mau perpisahan anak sekolahan. Dikasih plakat, difoto bareng-bareng terus disuruh tanda tangan buku tahunan.”

Bendrat tertawa keras, hampir tersedak kopinya. "Wah, bener banget, Jo! Ini mungkin biar kesannya kayak presiden kita wis lulus dengan predikat cum laude. Semua yang diomongin soal dia bagus-bagus, biar rakyat ingetnya yang manis-manis. Jalan tol, bandara, bendungan... Pokoke prestasi yang cetar membahana."

"Tapi Ndrat," Paijo mulai mengangkat tangan sambil mengernyitkan dahi, "kowe ndak ngerasa aneh? Sepuluh tahun jadi presiden, kok mendadak semuanya dipoles apik. Kayak papan tulis yang dihapus terus ditulis ulang, padahal kita kan tahu… ya... gitu deh."

Bendrat mengangguk-angguk dengan bijak. "Lha iya, Jo. Makanya namanya juga pencitraan. Wong kalo yang jelek-jelek diungkap, gimana nanti? Rakyat ndak seneng, rating jatuh, terus gimana nasib tanggal 20 Oktober nanti? Harus kelihatan anggun, dong. Gaya turun panggung harus elegan."

Paijo garuk-garuk kepala, "Lha terus, yang soal sawah-sawah kita yang kena tol itu? Pencitraan ini bisa mbayar ganti rugi juga ndak?"

Bendrat tersenyum penuh arti, seperti bijak ala orang kampung yang sudah sering menonton berita. "Ah, Jo, kowe iki lucu! Mana bisa pencitraan mbayar utang. Itu bukan soal gambar, itu soal nyari duit buat proyek."

Paijo terkekeh kecil, "Ya, jadi pencitraan ini kayak hiasan kue ultah ya? Cantik, tapi kalo dimakan ya, ndak bikin kenyang."

"Pas banget! Tapi begini, Jo," Bendrat melanjutkan, "ini semua ndak mungkin berjalan tanpa ada orkestra besar di belakang layar. Wong Kementerian Komunikasi sampe rapat besar segala, buat nentuin ini. Ya maklum, mumpung ada waktu dua minggu lagi, semua kudu kelihatan ‘sempurna’. Video pendek, narasi bagus, suara emas di TikTok..."

Paijo menyandarkan tubuhnya, menatap langit yang cerah. "Wah, hebat tenan ya. Kayaknya sampe rakyat desa kayak kita ini juga kebawa suasana. Tapi tetep... aku pengen lihat sawahku balik dulu sebelum ikut nyanyi-nyanyi."

Bendrat tersenyum penuh pengertian, "Santai, Jo. Wong kita ini kan cuman penonton. Tapi ya, kalo yang ditonton acaranya terus sanjungan-sanjungan, yo ngerti lah siapa yang jadi sutradarane."

Paijo tertawa lepas. "Lha, iya Ndrat! Sutradara paling lihai sedesa ini, ya, presiden kita sendiri. Pinter ngatur cerita!"

Dan mereka pun melanjutkan obrolan, sesekali masih menyelipkan guyonan soal pencitraan yang makin ramai. Di desa, percakapan mereka mungkin terdengar sederhana, tapi di balik setiap tawa, terselip sindiran halus. Hari terus berjalan, tapi di warung kopi itu, mereka masih mengawasi dari jauh bagaimana “pertunjukan besar” akan berakhir.


Penulis: Ardiyansyah, Editor


Post a Comment for " “Kopi, Presiden, dan Pencitraan”"