Ketidakpastian Tanpa Akhir: Nasib Kelas Prekariat di Indonesia
Prekariat sebagai situasi di mana sebagian besar populasi dunia tidak memiliki pekerjaan yang stabil dan penghasilan yang tetap.
Garistebal.com- Prekariat, sebuah istilah yang semakin sering terdengar dalam diskursus sosial-ekonomi global, merujuk pada sekelompok individu yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, tidak memiliki pekerjaan tetap, dan sering kali tidak memiliki perlindungan sosial.
Dalam konteks ini, "prekariat" adalah gabungan dari kata "precarious" (tidak pasti) dan "proletariat" (kelas pekerja), yang secara harfiah menggambarkan posisi mereka di tengah arus kapitalisme modern.
Di Indonesia, fenomena prekariat semakin kentara dengan perubahan struktur ekonomi dan dinamika pasar tenaga kerja. Kelas ini tumbuh seiring dengan meningkatnya pekerjaan kontrak, outsourcing, serta gig economy yang menawarkan fleksibilitas, namun minim keamanan dan jaminan kesejahteraan.
Definisi Prekariat : Pendekatan Teoritik
Prekariat adalah kelompok pekerja yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau jaminan sosial yang memadai, dan hidup dalam ketidakpastian ekonomi yang konstan. Mereka sering kali bekerja dalam jangka waktu singkat, berpindah-pindah pekerjaan, atau terlibat dalam sektor informal yang tidak diakui secara resmi oleh negara. Menurut Guy Standing (2011), prekariat adalah "kelas sosial baru" yang menghadapi ketidakamanan kerja, ketidakstabilan penghasilan, serta minimnya akses terhadap hak-hak sosial dasar. Standing menekankan bahwa prekariat bukan hanya sebuah status pekerjaan, melainkan juga mencerminkan kondisi struktural di mana individu kehilangan hak-hak dasarnya sebagai pekerja. Ini mencakup hak atas pekerjaan yang layak, upah yang layak, serta akses terhadap layanan kesehatan dan jaminan sosial.
Dalam konteks ekonomi global, Sharryn Kasmir (2018) menggambarkan prekariat sebagai situasi di mana sebagian besar populasi dunia tidak memiliki pekerjaan yang stabil dan penghasilan yang tetap. Pekerjaan informal, temporer, atau kontrak menjadi bentuk utama mata pencaharian saat ini, termasuk kegiatan seperti memulung sampah, menjadi pekerja harian, menjual komoditas kecil, hingga mengambil pekerjaan berbasis tugas melalui platform digital. Konsep ini juga disoroti oleh Kathleen Stewart (2012) yang mengibaratkan kondisi precaritas sebagai sebuah perubahan besar namun menuju suasana yang suram, jatuh terjerembab, atau rasa aman yang “seolah-olah”. Bagi Stewart, keterikatan atau cara hidup dapat menjadi sangat penting justru karena berada dalam situasi yang genting dan tidak stabil.
Dengan demikian, prekariat tidak hanya menggambarkan status pekerjaan yang tidak tetap, tetapi juga merujuk pada ketidakstabilan yang meluas dalam kehidupan sosial dan ekonomi, di mana hak-hak dasar dan perlindungan sosial sering kali tidak terjangkau oleh kelompok ini. Fenomena ini menjadi semakin menonjol di tengah pergeseran global menuju ekonomi yang lebih fleksibel tetapi kurang stabil.
Konsep prekariat lahir dari perubahan besar dalam struktur ekonomi global, terutama sejak munculnya era neoliberal pada akhir abad ke-20. Neoliberalisme, dengan fokus pada deregulasi, privatisasi, dan pasar bebas, mengakibatkan melemahnya perlindungan negara terhadap tenaga kerja dan memperluas sektor informal. Fenomena ini menciptakan kondisi di mana pekerjaan temporer dan informal menjadi bentuk utama mata pencaharian bagi banyak orang.
Seperti yang dijelaskan oleh Sharryn Kasmir, "Temporary and informal work, in its myriad manifestations, is the predominant mode of livelihood in the late-twentieth to early-twenty-first centuries... A majority of laboring people in the world do not have secure jobs or steady incomes, but instead seek a living through garbage picking, selling petty commodities, or taking short-term ‘gigs’ contracted through the internet."
Teori prekariat pada dasarnya bersumber dari pemikiran Karl Marx tentang kelas pekerja dan kapitalisme, yang menggambarkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam sistem ekonomi. Namun, Guy Standing memperluas teori ini dengan menunjukkan bagaimana era neoliberal telah menciptakan kondisi kerja yang lebih fleksibel tetapi rentan, sehingga melahirkan kelompok prekariat. Dalam teori Guy Standing, prekariat dicirikan oleh tiga karakteristik utama:
Pertama adalah Ketidakamanan Kerja. Pekerjaan yang dihadapi oleh prekariat sering kali bersifat tidak tetap, dengan kontrak jangka pendek yang memberikan minimnya kepastian untuk jangka panjang. Pekerjaan ini tidak memberikan stabilitas yang dibutuhkan oleh pekerja untuk merencanakan masa depan dengan tenang.
Kedua adalah Minimnya Jaminan Sosial. Kelompok prekariat umumnya tidak mendapatkan hak-hak dasar pekerja seperti tunjangan kesehatan, pensiun, atau perlindungan sosial lainnya. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap guncangan ekonomi dan kesulitan dalam mengakses layanan dasar.
Ketiga adalah Marginalisasi Sosial. Prekariat sering kali terpinggirkan secara sosial, karena akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan hak-hak sipil terbatas. Situasi ini menciptakan eksklusi sosial yang memperparah ketidaksetaraan dalam masyarakat.
Dengan memahami prekariat melalui tiga ciri utama ini, teori Guy Standing menunjukkan bagaimana kondisi ketidakpastian dalam pekerjaan tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial. Hal ini menuntut adanya pendekatan kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada perlindungan tenaga kerja di tengah perubahan ekonomi global.
Situasi Global
Di tingkat global, perkembangan prekariat semakin terasa di banyak negara, terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa. Revolusi teknologi dan digitalisasi ekonomi mempercepat pertumbuhan pekerjaan dalam gig economy, di mana pekerja diberi kebebasan untuk bekerja kapan saja, tetapi tanpa jaminan penghasilan tetap.
Gig economy merujuk pada sistem ekonomi di mana pekerjaan dilakukan secara sementara atau berbasis proyek, biasanya melalui platform digital atau aplikasi. Dalam gig economy, pekerja tidak memiliki pekerjaan tetap, melainkan mendapatkan penghasilan dari tugas-tugas atau proyek jangka pendek. Contoh pekerjaan di gig economy meliputi pengemudi ojek online, kurir makanan, freelancer, dan pekerja lepas lainnya yang bekerja melalui aplikasi atau platform digital.
Dalam konteks pekerja prekariat, gig economy sering kali menawarkan fleksibilitas, tetapi tidak memberikan jaminan sosial, upah tetap, atau perlindungan kerja yang sama seperti pekerjaan tetap.
Di negara-negara seperti Brasil dan India, pekerjaan di sektor informal juga terus meningkat, mengakibatkan semakin banyak pekerja yang bergantung pada pekerjaan kontrak jangka pendek tanpa perlindungan sosial. Sektor informal yang besar memperburuk situasi ini, dengan banyak pekerja tidak terdaftar secara resmi, sehingga tidak mendapatkan akses ke hak-hak dasar seperti jaminan kesehatan atau tunjangan pengangguran.
Situasi di Indonesia
Indonesia tidak lepas dari fenomena global ini. Dengan populasi pekerja usia produktif yang besar, banyak di antara mereka bekerja di sektor informal atau sebagai pekerja kontrak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, sekitar 68,08% angkatan kerja di Indonesia adalah pekerja informal, yang sebagian besar tidak memiliki jaminan sosial atau kontrak kerja yang jelas.
Sektor alih daya (outsourcing) di Indonesia juga turut berkontribusi terhadap pertumbuhan prekariat. Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang mengizinkan sistem alih daya memperparah kondisi ini, karena pekerja sering kali dipindah-pindahkan dari satu perusahaan ke perusahaan lain tanpa jaminan jangka panjang.
Lebih dari itu, penerapan Omnibus Law pada 2020, yang dikenal sebagai Undang-Undang Cipta Kerja, memperparah situasi ini. UU tersebut memberikan kelonggaran bagi perusahaan untuk menggunakan tenaga kerja kontrak dan outsourcing tanpa batas waktu, serta memudahkan proses pemutusan hubungan kerja (PHK). Ini membuat pekerja, terutama yang berada di sektor informal dan gig economy, semakin rentan. Perusahaan kini bisa mempekerjakan mereka dalam jangka waktu yang tidak pasti tanpa jaminan akan diangkat sebagai pekerja tetap.
Robertus Robet, seorang akademisi dan aktivis perburuhan, menyatakan bahwa "Omnibus Law memperlemah posisi tawar pekerja, memperkuat fleksibilitas yang menguntungkan pengusaha, namun meninggalkan pekerja dalam ketidakpastian yang lebih besar".
Bagaimana Nasib Gen-Z?
Nasib Gen Z di pasar tenaga kerja Indonesia semakin mencemaskan. Data terbaru menunjukkan bahwa ada sekitar 3,6 juta Gen Z berusia 15-24 tahun yang menganggur tahun ini, yang merupakan setengah dari total pengangguran terbuka. Angka ini semakin meningkat jika kita memperhitungkan mereka yang tergolong Not in Employment, Education, or Training (NEET), yang jumlahnya mencapai 9,9 juta orang. Mereka adalah kelompok anak muda yang tidak sedang bekerja, bersekolah, maupun menjalani pelatihan. Kondisi ini menunjukkan bahwa banyak generasi Z kesulitan mendapatkan pijakan awal dalam karier mereka.
Banyak anak muda dari generasi Z ini, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, telah berusaha keras dengan mengirimkan ratusan surat lamaran dalam beberapa bulan, namun panggilan kerja yang mereka harapkan tak kunjung datang. Salah satu penyebabnya adalah pergeseran industri dari padat karya menuju padat modal. Pergeseran ini berarti perusahaan semakin mengutamakan investasi pada teknologi ketimbang tenaga kerja manusia, mengakibatkan semakin sedikitnya peluang kerja di sektor formal. Ketatnya persaingan di pasar kerja ini menempatkan Gen Z pada situasi yang semakin sulit.
Tidak hanya itu, Gen Z juga menghadapi tantangan kondisi prekariat yang diperburuk oleh Undang-Undang Cipta Kerja. Kebijakan ini memungkinkan penerapan sistem outsourcing dan kontrak jangka pendek yang lebih fleksibel, tetapi sering kali berdampak negatif pada pekerja. Situasi ini menyebabkan upah yang rendah, jam kerja yang panjang, dan hubungan kerja yang rentan diputus kapan saja. Meskipun generasi Z cenderung lebih kritis dan sadar akan isu kesehatan mental serta hak-hak pekerja, banyak di antara mereka yang akhirnya menolak pekerjaan atau berhenti bekerja karena upah yang tidak layak dan kondisi kerja yang buruk.
Tren pekerja informal mendominasi selama sepuluh tahun terakhir dan jumlahnya terus meningkat, sementara pekerja formal justru stagnan. Kondisi ini memaksa banyak orang, termasuk Gen Z, untuk terjun ke gig economy, seperti menjadi ojek online. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Permana dkk. (2023), menggunakan data Sakernas 2019, diperkirakan ada sekitar 140 ribu hingga 900 ribu orang Indonesia yang menjadikan pekerjaan gig sebagai pekerjaan sampingan. Namun, pekerjaan dalam gig economy memiliki risiko tersendiri. Selain guncangan ekonomi yang bisa mengancam pendapatan, pekerja gig juga rentan terhadap stres akibat jam kerja yang terlalu panjang dan potensi kejahatan siber.
Dengan kondisi yang penuh tantangan ini, Gen Z berada dalam posisi yang sulit. Mereka dituntut untuk lebih fleksibel dan beradaptasi dengan situasi yang tidak menentu di tengah dinamika pasar tenaga kerja yang terus berubah. Negara perlu mengambil langkah yang lebih konkret untuk menciptakan peluang kerja yang lebih stabil dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi generasi muda ini, agar mereka tidak terjebak dalam siklus ketidakpastian yang panjang.
Tanggung Jawab Negara dan Kebijakan yang Harus Dilakukan
Negara memiliki peran krusial dalam mengatasi masalah prekariat yang terus membayangi pekerja di era modern. Tanggung jawab ini menuntut serangkaian kebijakan yang tidak hanya melindungi, tetapi juga memberdayakan mereka yang bekerja dalam kondisi ketidakpastian ekonomi. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah dengan memperluas cakupan jaminan sosial yang dapat diakses oleh pekerja informal dan kontrak, mencakup perlindungan kesehatan, tunjangan pengangguran, serta pensiun. Hal ini penting untuk memberikan kepastian dan keamanan bagi pekerja di sektor-sektor yang rentan. Misalnya, negara harus menyediakan akses layanan kesehatan melalui BPJS Kesehatan dan menciptakan skema jaminan hari tua bagi pekerja informal yang selama ini belum tersentuh oleh program jaminan pensiun.
Reformasi terhadap undang-undang ketenagakerjaan juga menjadi kebutuhan mendesak. Revisi terhadap undang-undang, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja, perlu diarahkan untuk membatasi penggunaan sistem alih daya (outsourcing) yang berlebihan. Tujuannya adalah agar pekerja kontrak tidak terjebak dalam ketidakpastian berkepanjangan dan memiliki hak-hak yang setara dengan pekerja tetap. Kebijakan ini harus menjamin kepastian jangka panjang bagi pekerja kontrak, termasuk hak-hak dasar seperti asuransi tenaga kerja dan cuti tahunan.
Selain itu, negara juga perlu mendorong pembentukan dan penguatan serikat pekerja di sektor informal dan gig economy. Serikat pekerja memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak-hak prekariat, mulai dari upah yang layak hingga jaminan kesehatan. Dukungan negara terhadap serikat pekerja ini dapat diwujudkan melalui regulasi yang memperkuat hak berserikat serta pengawasan yang lebih ketat terhadap pelanggaran hak-hak pekerja.
Salah satu cara efektif untuk mengurangi risiko ketidakpastian adalah dengan memberikan pekerja keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja masa depan. Pemerintah perlu menyediakan lebih banyak akses terhadap pendidikan dan pelatihan vokasional. Balai Latihan Kerja (BLK) yang dikelola oleh Kementerian Ketenagakerjaan, misalnya, harus lebih responsif terhadap perubahan teknologi dan tren pasar. Fokus utamanya bisa diarahkan pada pengembangan keterampilan teknis yang dibutuhkan di era industri 4.0, seperti keterampilan digital, pengembangan software, dan bahasa asing, sehingga pekerja prekariat memiliki kemampuan untuk bersaing di pasar kerja yang semakin dinamis.
Penerapan kebijakan ini merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan inklusif. Generasi milenial dan pekerja di sektor informal membutuhkan jaminan bahwa fleksibilitas pekerjaan yang mereka nikmati tidak berbanding lurus dengan kerentanan yang mereka hadapi. Hanya dengan kebijakan yang berfokus pada perlindungan dan pemberdayaan, negara dapat mengatasi tantangan prekariat dan menciptakan masa depan yang lebih pasti bagi para pekerja.
Peran Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Prekariat
Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah juga memegang peran penting dalam melindungi pekerja prekariat. Pemerintah Provinsi bertanggung jawab dalam menetapkan upah minimum provinsi (UMP), mengawasi perusahaan di wilayahnya, serta memastikan implementasi program jaminan sosial di tingkat lokal. Dinas Tenaga Kerja di setiap Kota/Kabupaten brkolaborasi dengan Provinsi serta Serikat Pekerja perlu memperkuat pengawasan terhadap pelanggaran hak-hak tenaga kerja, termasuk memberikan akses yang lebih luas kepada program jaminan sosial.
Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah juga sangat penting. Sebagai contoh, pemerintah pusat bisa memberikan pedoman umum dalam penetapan upah minimum, sementara pemerintah daerah menyesuaikannya dengan kondisi ekonomi setempat. Hal ini memastikan bahwa pekerja prekariat di seluruh wilayah Indonesia mendapatkan perlindungan yang layak.
Penutup
Fenomena prekariat mencerminkan ketidakpastian yang semakin melanda pasar kerja modern, baik di tingkat global maupun nasional. Ketidakpastian ini menjadi tantangan besar bagi pekerja di sektor informal dan gig economy, terutama generasi milenial yang banyak terlibat di dalamnya. Untuk menghadapi tantangan ini, negara harus mengambil langkah konkret dengan memperkuat regulasi ketenagakerjaan, meningkatkan perlindungan sosial, serta memberikan akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan pelatihan vokasional. Kebijakan yang inovatif dan inklusif menjadi kunci untuk menciptakan pasar kerja yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan begitu, kelas prekariat dapat dihadapi secara lebih komprehensif, dan masa depan pekerja dapat menjadi lebih pasti serta terjamin.
Penulis: Denny Septiviant - Politisi PKB
Post a Comment for " Ketidakpastian Tanpa Akhir: Nasib Kelas Prekariat di Indonesia"