Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Haji Toni, Kampung Bustaman dan Gulai: Legenda Kampung Jagal Yang Tak Pernah Mati



Garistebal.com- Kampung Bustaman di Semarang, selain terkenal dengan tradisi jagalnya, menyimpan banyak sejarah dan kisah unik yang masih hidup di kalangan warganya. 

Salah satu tokoh yang berperan penting dalam menjaga tradisi ini adalah Haji Toni, seorang penjagal kambing yang tinggal di daerah Jomblang, Semarang. Setiap kali pasaran hewan tiba, Haji Toni menjadi sosok yang paling sibuk. Dalam sehari, ia membeli sekitar 20 hingga 30 ekor kambing dari pasar-pasar hewan di sekitar Semarang, lalu mengangkutnya menggunakan pikap bertingkat yang ia modifikasi khusus untuk keperluan ini. Pikap itu menjadi semacam simbol mobilitas usahanya yang sudah berjalan turun-temurun.

“Setiap pagi, saya pergi ke pasar hewan dan langsung bawa kambing-kambing itu ke tempat jagal. Ini sudah rutinitas saya sejak lama,” cerita Haji Toni, yang tampak bersemangat meski hari-harinya sering dimulai sejak subuh. Di tengah zaman yang serba modern, ia tetap berpegang teguh pada tradisi ini, walaupun hanya segelintir orang yang masih menjalani profesi penjagal di Kampung Bustaman.


Kampung Bustaman Kampung Jagal Kambing

Sejak dulu, Kampung Bustaman dikenal sebagai pusat jagal kambing di Semarang. Pada puncak kejayaannya di era 70-an dan 80-an, ratusan kambing dipotong setiap harinya, dan dagingnya didistribusikan ke berbagai warung gule di kota. Namun kini, seiring berjalannya waktu, jumlah penjagal asli Bustaman menyusut. Haji Toni adalah satu dari segelintir penjagal yang tersisa, bersama Yusuf dan Lukman, yang juga masih meneruskan pekerjaan yang diwariskan orang tua mereka. Uniknya, meskipun banyak warga Bustaman beralih profesi, aroma tradisi jagal masih tercium di udara kampung ini, terutama melalui kuliner khas yang menjadi ikon kampung—gule Bustaman.


Cerita Gule Bustaman

Gule Bustaman memiliki rasa yang begitu khas, berbeda dari gule kambing pada umumnya, seperti yang berasal dari Solo. Gule Solo cenderung menggunakan santan, memberikan rasa gurih dan sedikit manis. Sementara itu, gule Bustaman tidak menggunakan santan sama sekali, tetapi lebih menonjolkan kekuatan bumbu rempah yang pekat. Haji Toni, yang juga menyediakan bumbu untuk beberapa warung gule, menjelaskan bahwa kunci dari gule Bustaman terletak pada perpaduan ketumbar, lengkuas, jahe, bawang putih, serta rempah-rempah lainnya yang diolah dengan teknik khusus agar rasa bumbu benar-benar meresap ke dalam daging kambing


Tradisi Gebyur Bustaman

Namun, kehidupan di Kampung Bustaman tidak hanya tentang jagal kambing dan gule. Ada satu tradisi lain yang turut memeriahkan suasana kampung, yakni Gebyuran Bustaman. Tradisi ini diadakan setiap tahun untuk menyambut bulan suci Ramadan. Masyarakat Bustaman, baik anak-anak maupun dewasa, turut serta dalam prosesi ini. Tradisi gebyuran dimulai dengan arak-arakan keliling kampung yang membawa seekor kambing, simbol dari kekuatan tradisi jagal yang tetap lestari di Kampung Bustaman. Setelah itu, kambing disembelih, dan dagingnya dibagikan kepada warga sekitar untuk dimasak bersama.

Uniknya, setelah penyembelihan kambing, warga akan melakukan prosesi "gebyuran" atau penyiraman air secara massal. Semua orang, tua dan muda, saling menyiram air satu sama lain. Makna dari gebyuran ini adalah simbol pembersihan diri menjelang Ramadan, baik secara fisik maupun batin. Tradisi ini selalu berhasil mengundang tawa dan keceriaan di antara warga, sekaligus mempererat tali persaudaraan di kampung yang kecil namun sarat akan makna sejarah.

“Setiap kali gebyuran, anak-anak pasti senang, suasananya jadi ramai,” kata Haji Toni sambil tertawa. “Ini sudah jadi acara tahunan yang ditunggu-tunggu warga, terutama untuk menyambut Ramadan.”


Kampung Bustaman ditengah pusaran modernisasi

Meskipun banyak aspek kehidupan di Kampung Bustaman berubah seiring waktu, baik dari profesi warga hingga modernisasi yang tak terhindarkan, tradisi seperti gebyuran dan gule Bustaman tetap menjadi bagian integral dari identitas kampung ini. Begitu pula usaha Haji Toni yang terus dijalankan dengan semangat, diteruskan oleh anaknya dengan inovasi dalam bentuk layanan aqiqah dan penyediaan masakan kambing khas.

Dalam menjaga keberlangsungan tradisi-tradisi kampung, warga lokal bekerja sama dengan komunitas dari luar kampung, seperti komunitas Hysteria dan juga Pemerintah Kota Semarang menggelar Tengok Bustaman yang salah satu agendanya adalah tradisi Gebyuran. Tradisi-tradisi yang semula bersifat eksklusif dijalankan oleh warga Kampung Bustaman seperti Gebyuran, kini telah menjadi agenda kebudayaan rutin setiap tahun di Kota Semarang dan terbuka bagi pengunjung dari berbagai daerah yang ingin meramaikan acara

Bagi Haji Toni, jagal kambing bukan sekadar pekerjaan, melainkan amanah turun-temurun yang harus dijaga. Dan meski generasi muda Bustaman kini banyak yang memilih jalan hidup lain, selama masih ada sosok-sosok seperti Haji Toni, sejarah dan tradisi Kampung Bustaman akan terus hidup di tengah denyut kota Semarang.


Tim liputan

Editor: Ardiyansyah

Post a Comment for " Haji Toni, Kampung Bustaman dan Gulai: Legenda Kampung Jagal Yang Tak Pernah Mati"