Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dokter Kariadi: Pahlawan Kemanusiaan dalam Perang Lima Hari Semarang

 


Garistebal.com- Di bawah langit kelabu Oktober 1945, Kota Semarang tengah berkecamuk. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Jepang yang kalah dalam Perang Dunia II tetap enggan menyerah begitu saja kepada bangsa yang baru saja merdeka ini. 

Di tengah kecemasan akan konflik yang tak terhindarkan, terdengar isu mengejutkan yang membuat warga Semarang semakin khawatir—tentara Jepang meracuni Reservoir Siranda, sumber air utama di kota itu.

Di tengah suasana tegang itu, satu nama muncul sebagai sosok yang berani mempertaruhkan nyawanya demi memastikan kebenaran: Dr. Kariadi, seorang dokter yang tak hanya memikul tugas medis, tetapi juga tanggung jawab moral sebagai pelindung rakyat.


Masa Kecil dan Karir Awal

Lahir pada 15 September 1905 di Gondanglegi, Malang, Dr. Kariadi sejak muda menunjukkan kecerdasan dan tekad yang kuat. Setelah menamatkan pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Surabaya, ia diterima di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), sebuah sekolah kedokteran prestisius di Surabaya. Sepuluh tahun belajar dengan penuh ketekunan, ia lulus sebagai dokter pada tahun 1931.

Dr. Kariadi memulai karirnya di bawah bimbingan tokoh pergerakan nasional, Dr. Soetomo, di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ), yang kini dikenal sebagai Rumah Sakit Dr. Soetomo di Surabaya. Di sanalah ia mulai melihat kedokteran tidak hanya sebagai profesi medis, tetapi sebagai sarana untuk berjuang melawan ketidakadilan yang diderita bangsa Indonesia.

Namun, penugasannya kemudian membawanya jauh ke pelosok Indonesia, ke Manokwari, Papua. Di sini, Dr. Kariadi menghadapi kondisi yang jauh lebih menantang. Penyakit seperti malaria dan filariasis (kaki gajah) mengancam kehidupan masyarakat setempat. Tanpa fasilitas memadai, ia berinovasi dengan menggunakan minyak kenanga sebagai pengganti immersion oil untuk pemeriksaan mikroskopik. Di Manokwari, ia membuktikan bahwa pengabdiannya sebagai dokter tidak mengenal batas.


Kembali ke Jawa dan Masa Pendudukan Jepang

Pada tahun 1942, dengan latar belakang perang yang semakin berkecamuk di seluruh dunia, Jepang mengambil alih Hindia Belanda. Saat itu, Dr. Kariadi dipindahkan ke Semarang, di mana ia menjadi Kepala Laboratorium di Rumah Sakit Purusara. Rumah sakit ini sebelumnya dikenal sebagai Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) di bawah pemerintah kolonial Belanda.

Di bawah pendudukan Jepang, situasi semakin sulit. Meskipun demikian, Dr. Kariadi tetap mengabdikan dirinya sebagai dokter dengan semangat yang sama seperti ketika ia melayani di Papua. Semangat nasionalismenya semakin menguat setelah mendengar Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.


Pertempuran Lima Hari di Semarang dan Gugurnya Dr. Kariadi

Isu mengenai tentara Jepang yang meracuni Reservoir Siranda membuat situasi di Semarang semakin genting. Ribuan nyawa warga bergantung pada kebenaran isu ini. Sebagai seorang dokter, Dr. Kariadi merasa tugasnya untuk memastikan keselamatan rakyat jauh lebih penting daripada keselamatannya sendiri.

Ketika perintah datang untuk memeriksa air di Reservoir Siranda, Dr. Kariadi langsung berangkat, meskipun istrinya, drg. Soenarti, telah memohon agar ia tetap tinggal karena bahaya yang mengancam. Dengan keberanian yang tak tergoyahkan, Dr. Kariadi tetap melangkah maju, menaiki mobil menuju lokasi.

Di tengah perjalanan, tepatnya di Jalan Pandanaran, mobilnya dicegat oleh pasukan Jepang. Tanpa aba-aba, peluru-peluru dilepaskan ke arah mobil itu. Dr. Kariadi tertembak, dan meski sempat dilarikan ke rumah sakit, nyawanya tak tertolong. Ia gugur pada usia 40 tahun.


Meninggalnya Dr. Kariadi dan Bangkitnya Rakyat Semarang

Kematian Dr. Kariadi menyulut kemarahan rakyat Semarang. Pertempuran yang sebelumnya sudah di ambang pintu akhirnya meletus. Dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang, rakyat dan para pemuda bangkit melawan pasukan Jepang yang masih menolak menyerah.

Suara tembakan menggema dari Simpang Lima hingga Jatingaleh, saat rakyat melawan kekuasaan Jepang dengan penuh keberanian. Perang yang berlangsung selama lima hari tersebut menewaskan lebih dari 2.000 warga Indonesia dan 850 tentara Jepang.


Penghargaan dan Warisan Dr. Kariadi

Meski gugur, nama Dr. Kariadi tetap hidup dalam sejarah Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya, Rumah Sakit Purusara di Semarang berganti nama menjadi RSUP Dr. Kariadi pada tahun 1964. Selain itu, pada Hari Kebangkitan Nasional 1968, Presiden Soeharto menganugerahkan Satyalencana Kebaktian Sosial kepada Dr. Kariadi secara anumerta.

Jenazahnya yang sempat dimakamkan di halaman rumah sakit, kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal di Semarang pada 5 November 1961. Hingga hari ini, nama Dr. Kariadi masih dikenang sebagai pahlawan yang tidak hanya berjuang dengan ilmu kedokteran, tetapi juga dengan keberanian luar biasa di tengah pertempuran.

Sebagai seorang dokter, Dr. Kariadi tidak hanya dikenal karena pengorbanan nyawanya dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang, tetapi juga karena kontribusinya dalam ilmu kedokteran. Penelitian dan inovasi yang dilakukannya selama bertugas di Papua, serta dedikasinya di Semarang, menjadikannya sosok yang patut dikenang oleh bangsa ini.


Penulis: Ardiyansyah

Dari berbagai sumber

Post a Comment for "Dokter Kariadi: Pahlawan Kemanusiaan dalam Perang Lima Hari Semarang"