Dana Desa: Antara Kemandirian dan Ketergantungan, Menuju 2025
Hingga tahun 2022, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 686 kasus korupsi Dana Desa dengan total kerugian negara mencapai Rp433 miliar. Modus yang digunakan dalam korupsi Dana Desa beragam, mulai dari proyek fiktif, penggelembungan anggaran, hingga pengadaan barang yang tidak sesuai spesifikasi.
Garistebal.com- Sejak pertama kali diluncurkan pada awal pemerintahan JOKOWI di tahun 2015, Dana Desa telah menjadi jantung dari kebijakan pemerintah dalam membangun desa yang mandiri dan sejahtera.
Program yang digagas berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini berusaha untuk mengubah wajah pedesaan Indonesia dengan memberikan dorongan dana langsung dari pusat kepada desa-desa di seluruh penjuru negeri. Dana yang dikucurkan mencapai angka lebih dari Rp400 triliun, menandakan betapa seriusnya komitmen pemerintah dalam membangun desa. Namun, setelah delapan tahun berjalan, menuju satu dasawarsa pada 2025, muncul pertanyaan mendesak: apakah Dana Desa benar-benar telah mampu mendorong kemandirian desa atau justru membuat desa semakin bergantung?
Berdasarkan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), capaian pembangunan infrastruktur memang impresif. Selama 2015 hingga 2022, lebih dari 227.000 kilometer jalan desa telah dibangun, 1,3 juta sambungan air bersih berhasil dipasang, dan puluhan ribu unit sarana kesehatan serta fasilitas pendidikan telah berdiri. Tak hanya itu, pembangunan irigasi untuk pertanian juga menyentuh angka 71.000 unit, yang tentu saja berdampak langsung terhadap peningkatan produktivitas pertanian desa. Di banyak wilayah yang dulunya sulit diakses, kini jalan-jalan baru menghubungkan mereka dengan pusat ekonomi, membuka peluang baru bagi desa untuk tumbuh lebih cepat.
Secara ekonomi, laporan Bank Dunia pada 2022 mencatat bahwa program Dana Desa telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat desa hingga 10-12 persen. Pada masa pandemi COVID-19, Dana Desa bahkan menjadi tumpuan bagi warga desa yang terdampak secara ekonomi, terutama melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa yang berhasil membantu meredam dampak krisis. Banyak warga desa yang merasa lebih tertopang dengan adanya jaring pengaman sosial ini.
Namun, meski dari segi infrastruktur dan peningkatan pendapatan program ini cukup berhasil, tantangan besar masih ada: ketergantungan yang berlebihan terhadap Dana Desa. Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 60 persen desa masih sangat bergantung pada dana transfer pusat sebagai sumber utama pembiayaan. Kemandirian, dalam arti yang sesungguhnya, masih jauh dari kenyataan. Padahal, tujuan utama Dana Desa adalah menjadikan desa-desa ini mampu mandiri, baik secara ekonomi maupun dalam pengelolaan sumber dayanya.
Masalah berikutnya yang tak bisa diabaikan adalah soal transparansi dan akuntabilitas. Meski Dana Desa diatur sedemikian rupa agar tidak diselewengkan, kenyataannya masih banyak terjadi penyelewengan. Hingga tahun 2022, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 686 kasus korupsi Dana Desa dengan total kerugian negara mencapai Rp433 miliar. Modus yang digunakan dalam korupsi Dana Desa beragam, mulai dari proyek fiktif, penggelembungan anggaran, hingga pengadaan barang yang tidak sesuai spesifikasi. Sebagian besar pelakunya adalah kepala desa dan perangkat desa yang terlibat dalam pengelolaan proyek.
Mantan Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar, pernah menyoroti permasalahan ini. Dalam sebuah wawancara dengan Tempo, ia mengakui bahwa pengawasan dan pengelolaan Dana Desa masih memiliki banyak celah. “Ada oknum yang memanfaatkan situasi, terutama di desa-desa yang tingkat pengawasan masyarakatnya rendah,” ungkapnya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk menjadikan Dana Desa lebih efektif dan mengurangi risiko ketergantungan serta korupsi?
Pertama, pemerintah perlu memikirkan ulang distribusi penggunaan Dana Desa. Selama ini, porsi terbesar Dana Desa masih digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Ini bukan hal buruk, namun sudah saatnya fokus mulai bergeser ke pemberdayaan ekonomi lokal dan peningkatan sumber daya manusia. Desa harus mulai dilatih untuk mengelola potensi lokal mereka, entah itu di bidang pariwisata, pertanian organik, atau pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan demikian, desa bisa menciptakan sumber pendapatan yang mandiri dan berkelanjutan. Jika tidak, desa-desa ini akan terus bergantung pada suntikan dana pusat dan kehilangan peluang untuk berkembang secara mandiri.
Peningkatan kapasitas aparatur desa juga menjadi hal yang mendesak. Kasus korupsi Dana Desa menunjukkan betapa lemahnya manajemen dan tata kelola keuangan di tingkat desa. Perlu ada pelatihan manajemen keuangan yang lebih ketat, serta penguatan nilai integritas bagi aparatur desa. Ini bisa dilakukan melalui kerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberikan pelatihan audit internal desa. Selain itu, audit rutin terhadap pengelolaan keuangan desa harus diperluas agar potensi penyimpangan bisa lebih cepat terdeteksi.
Masyarakat desa juga perlu didorong untuk lebih terlibat dalam perencanaan dan pengawasan Dana Desa. Saat ini, keterlibatan warga dalam musyawarah desa dan pengawasan penggunaan dana masih minim. Padahal, jika warga desa lebih aktif berpartisipasi, mereka bisa menjadi pengawas langsung yang efektif dalam menekan potensi korupsi. “Desa harus menjadi miniatur demokrasi, di mana warga memiliki peran besar dalam perencanaan dan evaluasi penggunaan dana,” kata Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Selain itu, pengawasan juga harus diperkuat melalui penggunaan teknologi digital. Aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) yang mempermudah pengawasan real-time terhadap penggunaan Dana Desa perlu diperluas cakupannya. Setiap desa harus diwajibkan mengunggah laporan penggunaan dana secara transparan dan dapat diakses publik. Hal ini akan memudahkan warga dan pihak berwenang untuk melakukan pemantauan. Jika sistem ini berjalan dengan baik, potensi korupsi bisa ditekan lebih jauh.
Penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai motor ekonomi desa juga menjadi salah satu solusi jangka panjang. BUMDes yang dikelola secara profesional dan inovatif dapat menjadi ujung tombak dalam menciptakan ekonomi lokal yang mandiri. Namun, perlu diingat, BUMDes harus bergerak sebagai entitas bisnis yang mandiri, bukan sekadar perpanjangan birokrasi desa.
Dengan memperbaiki tata kelola, mengurangi ketergantungan, serta menutup celah-celah korupsi, Dana Desa bisa benar-benar mewujudkan cita-cita awalnya: menjadikan desa sebagai motor pembangunan yang mandiri, kuat, dan sejahtera. Jika tidak, Dana Desa hanya akan menjadi program tambal sulam yang memberi perubahan sementara, namun tidak menyentuh akar masalah pembangunan desa di Indonesia.
Antisipasi Korupsi dan Upaya Pencegahan
Mencegah lebih banyak kasus korupsi Dana Desa adalah pekerjaan berat, namun bukan tidak mungkin. Selain audit berkala, kolaborasi antara Kemendes dengan KPK untuk membangun sistem deteksi dini terhadap korupsi berbasis data adalah langkah yang perlu dipercepat. Penggunaan teknologi blockchain, misalnya, bisa menjadi salah satu inovasi yang memungkinkan pengelolaan keuangan yang lebih transparan dan akuntabel. Setiap transaksi yang dilakukan bisa tercatat dan diawasi secara langsung, mengurangi kemungkinan manipulasi data.
Pemerintah juga bisa memberikan insentif bagi desa-desa yang berhasil mengelola Dana Desa secara transparan dan efektif. Desa yang menjadi contoh bisa menjadi model bagi desa lain, menciptakan persaingan sehat untuk memacu desa-desa lain agar lebih baik dalam mengelola anggarannya.
Menuju 2025, Dana Desa perlu lebih dari sekadar uang pembangunan. Program ini harus menjadi instrumen yang mampu membawa desa Indonesia ke level berikutnya: desa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Rekomendasi Kebijakan Politik Prabowo
Seiring dengan pelaksanaan Dana Desa yang memasuki satu dasawarsa, kebijakan politik menjadi faktor kunci untuk memastikan program ini benar-benar efektif dalam mendorong kemandirian desa. Salah satu langkah yang paling mendesak adalah penguatan otonomi desa melalui revisi regulasi. Saat ini, banyak desa masih terlalu bergantung pada arahan dari pemerintah pusat atau kabupaten. Desa seharusnya diberi kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber daya lokal dan menetapkan prioritas pembangunan yang sesuai dengan potensi wilayahnya. Untuk itu, revisi terhadap Undang-Undang Desa perlu dilakukan guna memperkuat desentralisasi fiskal, memastikan desa memiliki kendali lebih besar atas keuangan dan perencanaan mereka sendiri.
Selain itu, kebijakan anggaran juga harus lebih berpihak pada pemberdayaan ekonomi lokal. Dana Desa yang selama ini banyak terserap untuk infrastruktur fisik, perlu dialihkan sebagian ke sektor-sektor yang mendorong produktivitas ekonomi, seperti pengembangan pertanian, pariwisata, dan industri kreatif desa. Pemerintah pusat bisa menerapkan kebijakan yang mengarahkan desa untuk lebih fokus membangun kemandirian ekonomi melalui penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang terbukti menjadi salah satu motor ekonomi di beberapa desa sukses, seperti Desa Ponggok di Klaten.
Digitalisasi desa juga harus menjadi prioritas politik. Teknologi informasi bisa menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi pengelolaan keuangan desa. Pemerintah perlu mempercepat akses internet di pedesaan dan memberikan pelatihan digital kepada perangkat desa dan masyarakat, sehingga mereka bisa memanfaatkan teknologi dalam proses perencanaan dan pengawasan pembangunan.< /span>
Insentif juga perlu diberikan kepada desa-desa yang mampu berinovasi dan menciptakan model pembangunan yang sukses. Desa-desa yang berhasil menciptakan sumber pendapatan baru atau meningkatkan kesejahteraan warganya harus mendapat penghargaan berupa tambahan anggaran atau bantuan teknis untuk memperluas inovasi mereka. Ini akan menciptakan semangat kompetisi sehat antar desa, memacu mereka untuk terus berinovasi.
Pengawasan terhadap penggunaan Dana Desa perlu diperketat melalui kebijakan politik yang mendorong transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan tidak hanya harus datang dari aparat pemerintah, tapi juga melibatkan masyarakat melalui Musyawarah Desa. Dengan adanya transparansi berbasis digital, masyarakat bisa dengan mudah mengakses informasi terkait pengelolaan anggaran desa dan ikut mengawasi penggunaannya.
Kebijakan lintas sektor juga penting untuk memperkuat sinergi antara berbagai kementerian terkait, seperti Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pariwisata. Sinergi ini memastikan bahwa program pembangunan desa tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi saling melengkapi sesuai dengan potensi desa. Program penanggulangan kemiskinan nasional seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) juga harus diintegrasikan dengan Dana Desa agar dampaknya lebih terasa di lapangan .
Dalam jangka panjang, perangkat desa perlu dibekali dengan pendidikan dan pelatihan yang lebih baik. Reformasi pendidikan bagi perangkat desa harus dilakukan untuk menciptakan aparatur yang mampu mengelola pembangunan desa secara efektif. Hal ini penting, karena desa yang mandiri membutuhkan aparatur yang kompeten dalam tata kelola keuangan dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Selain itu, pemerintah pusat tetap harus memastikan pembangunan infrastruktur dasar di desa, seperti listrik, air bersih, dan jalan, menjadi prioritas. Infrastruktur yang memadai adalah fondasi utama bagi desa untuk mengembangkan potensi ekonomi dan sosialnya. Kebijakan politik yang terus mendorong percepatan pembangunan infrastruktur desa ini akan menjadi langkah krusial untuk memastikan Dana Desa benar-benar mampu menggerakkan kemandirian desa di masa depan.
Jika kebijakan-kebijakan politik ini diterapkan dengan baik, Dana Desa tidak hanya akan menjadi alat pembangunan jangka pendek, tetapi menjadi fondasi untuk menciptakan desa-desa yang mandiri, produktif, dan sejahtera secara berkelanjutan.
Penulis: Denny Septiviant - Politisi PKB, Mantan Pendamping Desa
Post a Comment for "Dana Desa: Antara Kemandirian dan Ketergantungan, Menuju 2025"