Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tangis Kecemasan, Tangis Kehilangan

 


Garistebal.com-  Ketika saya mendapatkan kabar meninggalnya ekonom dengan integritas mumpuni, Faisal Basri. Banyak yang mengirim pesan duka itu disertai emoticon menangis.

Sampai di sini saya berupaya memilah-milah jenis tangisan tersebut. Namun secara garis besar ada dua. Pertama tangis kehilangan kedua tangis kecemasan.

Tangis kecemasan itu memang dipicu rasa cemas jika orang baik, cerdas, berani, berintegritas yang ada di Indonesia ternyata tinggal Faisal Basri seorang. 

Kecemasan ini tentu berlebihan. Namun, syarat datangnya kecemasan memang harus berlebihan. Mengapa? Mari kita runut. 

Kecemasan jangan-jangan Faisal Basri adalah orang baik terakhir di Indonesia, akhirnya memancing munculnya kecemasan lanjutan Akal sehat mengatakan bahwa orang baik itu bukan hanya Faisal Basri. Masih banyak berserakan di sudut-sudut Indonesia. 

Namun, apakah kebaikan saja sudah cukup mampu mengurai dan melihat secara jernih problem berbangsa dan bernegara di Indonesia?

Banyak banget orang baik. Tapi apakah mereka juga punya keberanian? Gusti Allah juga tak pernah menjamin bahwa kebaikan dan keberanian selalu menjadi satu. 

Tiap hari secara kasat mata kita melihat banyak orang baik tapi menderita ketakutan diam-diam.

Baiklah, sekarang memang benar masih banyak orang baik sekaligus berani. Namun apakah mereka memiliki kesempatan?

Lagi-lagi Gusti Allah tak memberi garansi bahwa kebaikan dan keberanian selalu jadi satu dengan kesempatan. Lihatlah, banyak orang baik dan berani malah frutrasi karena tak memiliki kesempatan.

Faisal Basri adalah salah satu contoh paket komplit. Benarkah paket komplit?

Ia adalah orang baik, sekaligus berani sekaligus mendapat kesempatan. Tapi ternyata semua itu dihentikan langsung oleh Gusti Allah.

Kembali Gusti Allah tak menjamin  bahwa kebaikan, keberanian dan kesempatan selalu berarti sukses sebuah tujuan. Tak ada satupun manusia sanggup mendikte nasib.

Mari kita sedikit menyisihkan waktu, merenungi kepergian Faisal Basri. Bisa jadi ini adalah sebuah sindiran bahwa persoalan perilaku berbangsa di negeri ini terlalu berat jika dibebankan "hanya" kepada sosok Faisal Basri. 

Manusia Indonesia saat ini sudah terancam linglung dan harus segera mengingat makna kata "hanya" di atas. 

Apalagi perilaku para pejabat di pemerintahan, dari pusat sampai daerah, eksekutif, legislatif, yudikatif, kalaupun semua itu disatukan dan dipegang seseorang, ternyata tak ada jaminan mereka sudah berkuasa.

"Masih ada Aku," kata Sang Maha Kuasa.

Memang sangat banyak yang sayang Faisal Basri dan menangis untuk kepergiannya. Tapi ia ternyata sudah ada Pemiliknya. Ia pergi karena dipanggil Pemiliknya.

Kepergian Faisal Basri, seperti kepergian orang-orang baik, berani, dan punya kesempatan adalah sebuah kode semesta. Bahwa masalah bangsa ini sudah terlalu rumit jika hanya diatasi oleh satu dari orang-orang baik, berani, dan punya kesempatan itu.

Lalu kita harus bagaimana? 

Tugas kita ternyata sangat sederhana dan hanya satu. Menjadi kita yang baik. Sederhana tapi hingga sekarang banyak yang belum kita tunaikan. 

Jika kita menjadi presiden harus presiden yang baik. Jika menjadi anggota DPR, harus anggota DPR yang baik, polisi, tentara, apapun itu termasuk menjadi rakyat pun harus rakyat yang baik.

Masalahnya saat ini, kebaikan seperti apa? Hingga kini belum juga kelar kita rumuskan.

Maka lahirlah talk show, diskusi, seminar dan sejenisnya. Rumusan kebaikan justru menjadi alat politik dan alat kepentingan. 

Lalu ketika kita sibuk bertengkar, diam-diam kebaikan yang sejati sedang jongkok di sebuah pojok. Ia sendirian, kesepian dan tak ada yang menyapanya 

Terima kasih orang-orang baik, berani, berintegritas yang sudah memberi cahaya hingga lahir tulisan ini. 


Penulis: Edhie Prayitno, Kolom-Nis

Post a Comment for "Tangis Kecemasan, Tangis Kehilangan "