METODE HENRY KISSINGER Cermin Netanyahu pada Golda Meir
Garistebal.com- Perdana Menteri (PM) Israel Golda Meir (1970-an), pernah mengatakan. "Jika negara (orang) Arab kalah Perang. Mereka hanya sekadar kalah dalam perang. Tidak punah. Namun, jika Israel kalah, negara Israel tak akan ada lagi".
Perdana Menteri Israel ke-4 (1969-1974), dan salah satu pendiri Israel bersama Ben Gurion, Ephraim Katzir, dan Moshe Dayan ini, mungkin lebih realistis. Golda Meir, paham dengan peristiwa Nakhba. Golda Meir, paham, bagaimana mulanya para diaspora mendapatkan sambutan baik, untuk datang ke Tanah Palestina.
Golda Meir melihat histori terbentuknya negara Israel adalah satu "engineering" Inggris lewat Deklarasi Balfour. Israel diciptakan di wilayah, di mana penduduk Palestina berada. Tak ada Balfour, tak ada Israel.
Apa yang dirasakan Golda Meir, lewat Perang Yom Kippur (1973) antara negara-negara Arab-Israel, sangat menyulitkan semua. Termasuk negara-negara "patron-client"nya Israel (AS-Inggris).
Perang "revanche", yang bertujuan merebut kembali wilayah Arab, yang direbut Israel dalam Perang 1967. Berujung pada embargo "crude oil" (minyak mentah) terhadap AS oleh OPEC (Organisation Petroleum Exporter Countries). Negara-Negara Arab memotori gerakan ini, dan efektif.
Semua bergelimpangan. Industri mobil juga terkapar, SPBU kosong, tak ada BBM ketika itu. Arab Saudi yang biasanya memproduksi minyak mentah 10 juta barel per hari, menurunkan tingkat produksi hingga tinggal separuhnya (5 juta barel per day).
Kini, perang Israel-Hamas yang telah berlangsung 11 bulan lebih (sejak 7 Oktober 2023), bila dikonotasikan dengan 'statement' Golda Meir setengah abad lalu. Sepertinya sudah "off side". Bandingkan dengan Perang 1967 (5-10 Juni), yang hanya berlangsung enam hari. Lalu Perang "revanche" (Yom Kippur, atau Perang Ramadhan) 1973, hanya berlangsung 19 hari (6-25 Oktober).
Pemimpin-pemimpin Israel terdahulu (sebelum Benyamin Netanyahu) melakukan 'tarik-ulur', tak ingin perang durasi panjang dengan bangsa Arab. Partimbangan ekonomi, sering mengemuka untuk mengakhiri perang 'serial'.
Di setiap serial perang. Mulai dari PM Levi Eshkol (Perang 1967), Golda Meir (Perang 1973), Manachem Begin, Yitzhak Rabin, Yitzhak Shamir, Shimon Peres, Ehud Olmert, dan Ariel Sharon. Hanya berlangsung beberapa hari, lalu berlanjut gencatan senjata permanen.
Sesungguhnya, Netanyahu, dalam beberapa serial perang dengan Hamas (2010,2014, 2018, 2021), juga tidak sekeras saat ini. Kukuhnya pemimpin Partai Likud ini, lebih kepada "sandera" koalisi oleh dua sekutu garis kerasnya (sayap kanan): Menteri Keuangan Bazalel Smotrich, dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Ittamar Ben-Gvir. Mereka mengancam Netanyahu, atau koalisi bubar dan Pemerintahan jatuh.
Sudah sekian putaran, misi 'ulang alik' perdamaian (Kairo-Dhoha) yang diprakarsai: Mesir, AS, Qatar, tidak juga menuai hasil. Semua mentok pada pendudukan Israel terhadap Jalur Gaza (Gaza Straits), terutama pada isu Koridor Philadelphia. Sebuah enklav (buffer zone) sepanjang 14 kilometer dan lebar 100 meter di perbatasan Mesir-Gaza.
Membaca pikiran Netanyahu, bahwa persenjataan Hamas diselundupkan lewat Koridor Philadelphia (Gaza Selatan) yang membuat Hamas mampu bertempur sengit hingga 11 bulan lebih. Sesungguhnya belum tentu valid. Kalangan oposisi Israel juga tak yakin Hamas bisa dihancurkan.
Karena Hamas telah mampu memproduksi sendiri persenjataannya di labirin-labirin "sarang laba-laba" (terowongan) bawah tanah. Apa yang dilakukan Hamas lewat serangan bersandi "Banjir Al Aqsa", telah dihitung betul.
Hamas tahu risiko keras Israel, dan Hamas paham watak Israel. Setiap kali Korban di pihaknya, akan dibalas dengan korban berlipat-lipat jumlahnya di pihak Palestina. Itu 'lagu' klasik yang terus berulang.
Pembalasan Israel di setiap aksi Hamas, "tak terperikan", akan sangat berdarah-darah. Kematian 41.000-an, bahkan akan banyak korban sipil Palestina lagi, juga sudah diperhitungkan oleh Hamas.
PM Netanyahu, seperti ingin "wasting time", mem-blokade koridor Philadelphia, sampai Hamas tidak lagi mendapat suplai senjata. Sehingga melemah secara natural. Keinginan Netanyahu mengeliminasi Hamas, seperti yang dikatakannya di awal Perang, akan terus dia lakoni. Hingga tujuannya tercapai.
Pemimpin-pemimpin Israel terdahulu, sangat mendengarkan aturan pola "patron-client"nya. Saat Menlu AS dijabat Henry Kissinger(1973-1977), dia pernah mengatakan satu teori. Apa yang kemudian disebut "metode Kissinger". Kira-kira teori itu menyebutkan, peperangan dalam suatu kali tak boleh terlalu panjang.
"Akhiri Perang, dan anggap diri sudah menang. Dan, keluarlah/pergi". Tujuannya adalah konsolidasi, sekaligus untuk mempersiapkan perang berikutnya. Sayangnya, teori ini tidak lagi diterapkan oleh koalisi Netanyahu. Hamas yang merupakan ideologi dan tidak mungkin ditumpas, kini makin mendapat "angin" dukungan dunia Internasional.
Bagi sebagian besar kalangan beranggapan, bisa jadi Israel telah masuk "perangkap" internasionalisasi genosida Hamas. Hamas berhasil menggiring Israel untuk mendapat stempel genosida, bukan lagi stempel peperangan semata. Harga 41.000-an Korban di pihak Palestina, bagi Hamas adalah "ongkos" yang memang mesti dia keluarkan untuk memasukkan Israel ke dalam perangkap itu.
Henry Sidgwick, seorang filosof dan alumni Universitas Cambridge (1859), dalam karyanya "The Metod of Ethics" menyebutkan. Etika akan selalu membimbing manusia, di mana moralitas akal sehat, secara tidak sadar bersifat utilitarian.
Sifat 'utilitarian' adalah, satu tindakan yang berfaedah (bermanfaat) dan menguntungkan bagi banyak orang. Tindakan itu tidak menimbulkan penderitaan, seperti perang Hamas-Israel yang berlarut-larut. Penderitaan rakyat kedua belah pihak: Palestina, maupun Israel, terus berlangsung. "The Method of Ethics", dianggap angin lalu.
Terlepas dari nafsu untuk saling bunuh, mestinya sisi etika yang dikemukakan Henry Sidgwick, tetap mengemuka. Juga "Metode Kissinger", yang pernah diterapkan saat AS menegosiasikan perang dengan Vietnam Utara, tak dipedulikan dalam konflik Hamas-Israel.
AS mengakhiri perang dengan meninggalkan Saigon (Ibukota Vietnam Selatan), April 1975. Berkaca dari "Metode Kissinger", banyak yang menyebut AS kalah, namun begitulah cara AS mengakhiri perang di Indo-China (Vietnam). AS memang tak ingin bertahan, dan pergi.
Sebelas bulan. Tepatnya setahun kurang 20 hari, Perang Gaza telah dijalani. Perang yang juga telah menyeret Yaman, Lebanon, Iran, bahkan Mesir, ke pusaran konflik. Makin hari makin liar. Ancam-mengancam, pun terus berlangsung.
Banyak variabel yang musti di hitung oleh Israel, untuk melanjutkan perang, atau mengikuti "metode Henry Kissinger" (mundur).
Pertama, nasib 100-an sandera, perekonomian, biaya perang tahun 2025 sekitar USD 67 milyar (1.000 triliun lebih), publik opini pada idiom genosida, mempersulit AS dan Inggris, label negatif ke Hamas ter-eliminasi natural, menurunnya dukungan 'close friend' (teman dekat Israel).
Konflik Gaza, sejatinya tidak mengancam Israel secara 'nation state'. Untuk apa tetap di Gaza?Sebaiknya, gunakan "metode Kissinger". Mundur! Mundur dari Gaza, tidak berarti kalah. Israel harus realistis, Hamas tak akan tereliminasi. Karena mereka adalah ideologi, yang akan terus hidup.
Meneruskan pendudukan Gaza, hanya akan mempersulit Israel, di berbagai Front. Mungkin untuk Front tempur mampu bertahan. Tapi, di front diplomasi, sejatinya Israel sangat terpojok dan banyak menanggung kerugian.
Dengan mundur dari Gaza, Israel akan mendapat manfaat. Setidaknya, bisa memperbaiki diri di Forum diplomasi. Apalagi, bila mau membuka hati untuk berunding terhormat dengan Hamas.
Ada baiknya, Netanyahu bercermin pada Meir dan Kissinger. Mundur, dan akhiri perang Hamas-Israel.
Penulis: Sabpri Piliang, Jurnalis Senior
Post a Comment for " METODE HENRY KISSINGER Cermin Netanyahu pada Golda Meir"