Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Keikhlasan Cinta Dibajak, Lahirlah Suporter Fanatik




 Garistebal.com- Barangkali hanya saya yang mengaku pecinta Timnas Sepakbola Indonesia namun selalu kesulitan untuk menonton. Termasuk ketika pertandingan melawan Arab Saudi semalam.

Jauh-jauh hari saya sudah mencatat jadwalnya. Namun saat hari H justru saya malah lupa mengingat hari. Perasaan masih hari Selasa, ternyata sudah Kamis.

Maka, ketika mencari isu terbaru negeri ini, justru yang muncul adalah berita bahwa Timnas Indonesia sementara unggul 1-0.

Hati saya bersorak. Detik berikutnya kemudian berusaha mencari streaming yang menyiarkan langsung. Harapannya, masih sempat ikut menikmati setidaknya 45 menit babak kedua.

Ternyata mencari link streaming gratisan itu sulitnya setara dengan mencari pejabat pemerintah yang jujur, sederhana dan cerdas. Satu jam lebih saya cari, tetap belum ketemu. 

Menyerah adalah episode berikutnya. Namun ketika menyerah itulah, saya berhasil mendapatkan sebuah link live streaming. Saya melihat penunjuk waktu. Masih tersisa dua menit pertandingan. Lumayan, setidaknya saya ikut merasakan dua menit ketegangan dari 90 menit yang disajikan.

Oh ya. Saya harus mencari tautan live streaming ini karena saya tak punya televisi. Dan ini saya sikapi sebagai sebuah perjuangan.

Dua menit belum selesai, tiba-tiba siaran langsung itu sudah dibanned oleh RCTI hingga pertandingan selesai. 

Barangkali yang soal ini kejengkelan saya ada temannya. Saya menghibur diri, setidaknya saya tak sendiri.

Usai pertandingan, nyaris semua memberikan apresiasi kepada Timnas Indonesia. Skore akhir adalah 1-1. Apresiasi diberikan karena secara peringkat, Indonesia jauh di bawah Arab Saudi.

Faktor kedua adalah bermain di kandang lawan, tentu tekanan psikologis dari penonton tuan rumah lebih kuat. 

Sorotan lain adalah banyaknya suporter Indonesia yang hadir di stadion. Media Arab Saudi bahkan memberikan ulasan khusus tentang para suporter ini. Jauh sebelumnya, Qatar juga sempat memperingatkan tentang kegilaan suporter Indonesia.

Para suporter yang hadir ke stadion ini, bisa bernyanyi, bersorak selama pertandingan. Ini berbeda dengan suporter negara lain. Bahkan pelatih Timnas Indonesia Shin Tae Yong sampai terharu.

"Hanya di Indonesia nama pelatih diteriakkan suporter. Hanya di Indonesia ada nyanyian terima kasih kepada pelatih. Nama pelatih biasanya akan tenggelam oleh penampilan pemain bintang. Tapi Indonesia tidak. Tetap ada teriakan terima kasih kepada pelatih," kata Shin Tae Yong salam sebuah podcast dengan media di Korea.

Negara lain juga heran dengan kegilaan suporter Indonesia. Bahkan untuk pertandingan kelompok umur, U-12, U-15, U-17, U-20 apalagi U-23 dan lainnya, animo suporter sangat tinggi. Hanya Indonesia yang mampu menghadirkan puluhan ribu suporter mendatangi stadion untuk mendukung Timnas Indonesia yunior. 

Beberapa orang "sibuk" sempat saya tanya, apakah mereka juga menyaksikan pertandingan itu? 

Ada yang mengaku nonton tapi sambil lalu karena sibuk. Ada juga yang mengaku tak tahu ada pertandingan kualifikasi piala dunia. Bahkan ada juga yang tahu tapi tak ambil pusing.

"Sejak saya kecil, sepakbola kita gitu-gitu aja. Nggak menarik," ini alasan paling banyak.

Saya sebenarnya bukan penggemar sepakbola. Namun ternyata yang tak pernah absen menonton juga tak semua gemar sepakbola.

"Saya menonton ini, karena yang bermain adalah Indonesia, negara di mana saya lahir," kata kawan dari Jerman.

"Sampai kapanpun dan seburuk apapun , saya akan tetap nonton, karena ini Indonesia, negeri dimana saya hidup," kata yang lain.

Pikiran saya kemana-mana. Saat ini, sepakbola menjadi sebenar-benarnya olahraga yang setia membela harga diri bangsa. Apalagi menonton Jay Idzes, Marteen Paes, Tom Haye, Rafael Struick, dan kaum diaspora lain berusaha keras menghapal dan menghayati lagu Indonesia Raya. Mereka sangat khidmat, tak kalah dengan Asnawi Mangkualam, Witan Sulaiman, dan nama-nama lain yang lahir dan besar, makan, minum, beol di Indonesia.

Menonton mereka adalah melihat darah daging sendiri. Padahal mereka tengah berada di negeri Arab Saudi, negara kaya yang menjadi impian banyak warga Indonesia. Mereka berjuang sendirian, rasanya kebangetan kalau saya tidak menemani. Bahkan Shin Tae Yong yang masih warga Korea juga kelihatan begitu mencintai negeri ini.

Tapi saat itu kita benar-benar sibuk. Presiden Jokowi, sibuk bertelepon dengan para investor di IKN. Mereka adalah 9 orang terkaya di Indonesia yang mengendalikan 87% perekonomian negeri ini. 

Para ketua Partai juga sibuk dengan urusan pemilihan kepala daerah. Lalu kaum menengah juga sibuk menawarkan diri masuk dalam pemerintahan, mematut diri untuk menjalankan program pemerintah.

Pendek kata, ini negara, dari anak muda, orang tua, ibu-ibu, para politisi dan presiden sedang sibuk luar biasa.

Padahal pertandingan baru 19 menit, Ragnar Oeratmangoen sudah bikin gol. Meski di menit-menit akhir babak pertama akhirnya Arab Saudi juga sukses mencetak gol.

Di babak kedua, para pemain Timnas Indonesia ini sering menjadi korban kekasaran pemain Arab Saudi. Dalam sebuah sesi, tampak jelas Ragnar Oeratmangoen, Egy Maulana Vikry seperti menjadi korban ketidakjelian wasit.

Barangkali mereka merasa wasit tengah menganiaya rasa keadilannya. Bisa jadi perasaan mereka ingin mengamuk. Namun mereka memilih meneruskan pertandingan sambil membayangkan bahwa jumlah berjuta kali lipat warga negara yang merasa jadi korban ketidakadilan juga.

Maka ketika Maarten Paes membuat blunder dan Arab Saudi dihadiahi penalti, rasa ketidakadilan itu makin memuncak. Rasa itu yang dikonversi dengan perlawanan. Marteen Paes sukses menghadang penalti. Ia menyelamatkan Indonesia dari kekalahan.

Saat pertandingan berakhir, semua komentar positif datang dari para dewa sepakbola. Christiano Ronaldo, Lionel Messi, Radja Nainggolan, hingga pelatih-pelatih papan atas, mengomentari daya juang pemain Timnas.

Maka ketika Jens Raven yang masih 17 tahun berlinang airmata karena terharu, saya ternyata ikut terharu juga. Andai saat itu saya bercermin, pasti wajah saya lebih jelek daripada pengelolaan lingkungan era Presiden Jokowi. Saya merasa malu sendiri.

Lebih malu lagi ketika saat terharu itu, saya merasa sendiri. Orang-orang yang bertanggungjawab menjalankan negara sedang sibuk sekali. Pasti banyak sekali yang tidak mendengar Lagu Indonesia Raya yang terdengar sangat berbeda dari upacara di IKN.

Beginilah, saya yang telat nonton saja bisa merasakan kebanggaan. Karena saya tak menemukan kebanggaan lagi dari pejabat-pejabat negeri ini. Tak menemukan kebanggaan lagi dari para pemegang otoritas keagamaan yang menerima konsesi tambang. Tak ada kebanggaan lagi melihat konstitusi yang mudah ditekuk-tekuk. 

Tak ada kebanggaan juga pada pengelola klub sepakbola macam Persis yang malah sibuk pamer Jet pribadi. Tak ada kebanggaan juga pada para calon pemimpin yang malah mengotori kota dengan sampah visual berupa wajah-wajah mereka di banner MMT.

Tak juga bisa merinding mendengar lagi Indonesia Raya dinyanyikan di IKN, di istana negara.

Maka satu-satunya cara untuk menjaga kewarasan dan keikhlasan mencintai negeri ini adalah dengan menonton warga Indonesia yang baru resmi menjadi warga negara namun ikhlas dan total membela nama Indonesia. Mungkin perasaan inilah yang menjadi penyebab, suporter Indonesia dimanapun Timnas bertanding pasti membeludak. Mereka sungguh-sungguh cinta, sungguh-sungguh bangga, namun kebanggaan mereka sudah dibegal perilaku korup. 

Korup terhadap kekayaan negeri, korup terhadap rasa keadilan, korup terhadap konstitusi sebagai kesepakatan tertinggi negeri.

Maka biarkan saya menangis terharu melihat Marteen Paes begitu semangat dan langsung menjiwai pisuhan "Jancuuuk". Pisuhan yang hidup di kebudayaan nenek moyangnya, Kediri.

Post a Comment for "Keikhlasan Cinta Dibajak, Lahirlah Suporter Fanatik"