Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum dan Habitat: Polemik Sukena dan Satwa Langka di Bali



Garistebal.com-  I Nyoman Sukena, warga Bali, baru-baru ini tersandung masalah hukum setelah otoritas setempat menemukan empat ekor Landak Jawa (Hystrix javanica) di koleksi pribadinya. Satwa asli Indonesia ini termasuk rentan akibat hilangnya habitat dan perburuan liar. Kasus Sukena memicu perdebatan mengenai perlindungan satwa liar sekaligus kerusakan habitat yang telah terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam.

Dari sisi hukum, kasus ini mengundang analisis kritis terkait penerapan hukum lingkungan, undang-undang pidana, dan peraturan administratif di Indonesia. Roberto Unger, akademisi dari gerakan Critical Legal Studies, pernah menulis, “Hukum tidak otonom, tetapi terkait erat dengan kekuatan sosial dan ekonomi. Aturan hukum sering kali melindungi kepentingan yang kuat dan meminggirkan mereka yang kurang memiliki sumber daya atau pengaruh politik.”

Kasus Sukena memperlihatkan bagaimana individu yang tidak memiliki akses atau pemahaman memadai tentang aturan yang kompleks bisa terjerat hukum, sementara persoalan habitat yang rusak luput dari penegakan hukum yang signifikan.

I Nyoman Sukena ditahan karena pelihara landak (foto Balipost)

  

Masalah Perizinan dan Birokrasi

Secara administratif, pemeliharaan spesies langka seperti landak Jawa memerlukan izin khusus dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, spesies tertentu tidak boleh dipelihara tanpa izin. Sukena dianggap melanggar hukum konservasi karena tidak memiliki izin tersebut.

Kasus ini membuka tabir betapa sulitnya akses terhadap proses perizinan spesies dilindungi yang sering kali berbelit-belit dan justru membuka peluang perdagangan gelap. Warga biasa, terutama di daerah pedesaan seperti Bali yang terbiasa hidup berdampingan dengan spesies-spesies itu dengan berbagai alasan, mungkin tidak menyadari atau memahami aturan yang berlaku. Maka, tugas negara seharusnya bukan hanya memberikan sanksi, melainkan juga memastikan regulasi ini mudah dipahami dan diakses oleh publik.

I Nyoman Sukena ditahan karena pelihara landak (foto Balipost)


Antara Hukum Pidana dan Praktik Budaya

Tindakan Sukena bisa dijerat hukum pidana, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Konservasi. Ia bisa dikenai denda atau penjara hingga lima tahun. Namun, di sini muncul pertanyaan: apakah setiap pelanggaran kepemilikan satwa liar selalu bermotif jahat?

Duncan Kennedy dalam The Critique of Rights in Critical Legal Studies berpendapat, "Hukum sering digunakan sebagai alat penindasan, lebih banyak mempengaruhi kelompok terpinggirkan." Kasus Sukena mencerminkan persoalan ini, di mana hukum sering kali menghukum individu yang melakukan praktik budaya lokal tanpa memberi ruang edukasi atau solusi inklusif.

Di Bali, hewan sering dianggap bagian dari tradisi budaya atau spiritual. Sukena mungkin tidak memiliki niat jahat. Tindakan memelihara landak untuk upacara adat bisa dianggap sebagai bentuk over-kriminalisasi. Menurut prinsip hukum pidana, pemidanaan seharusnya menjadi jalan terakhir (ultimum remedium). Dalam kasus ini, meskipun Sukena melanggar aturan formal, landak yang dipeliharanya dirawat dengan baik dan digunakan untuk keperluan adat.

I Nyoman Sukena ditahan karena pelihara landak (foto Balipost)


Konservasi dan Keseimbangan Hukum

Regulasi lingkungan dan konservasi Indonesia sangat menekankan perlindungan terhadap spesies yang terancam punah seperti Landak Jawa. Namun, upaya pencegahan ini perlu dipertimbangkan ulang. Data menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan kebakaran hutan, berdampak jauh lebih luas dibandingkan perdagangan satwa liar.

Sebagai contoh, Indonesia kehilangan 1,47 juta hektar hutan antara 2017 hingga 2021, yang menyebabkan kerusakan habitat satwa dilindungi termasuk Landak Jawa. Sementara, pada 2021 hanya ada 447 kasus perdagangan satwa yang terungkap. Ironisnya, meski ada penegakan hukum terhadap individu seperti Sukena, masalah besar seperti kerusakan ekosistem sering luput dari perhatian hukum.

I Nyoman Sukena ditahan karena pelihara landak (foto Balipost)


Jalan Menuju Keadilan Lingkungan

Kasus I Nyoman Sukena menggarisbawahi ketimpangan dalam penerapan hukum konservasi. Seperti yang diungkapkan David Kairys dalam The Politics of Law: A Progressive Critique, "Hukum yang tampak netral sering kali bersifat politis dan mempertahankan hierarki yang ada."

Penerapan hukum yang terlalu keras pada individu seperti Sukena bisa mengabaikan konteks budaya dan sosial di mana pelanggaran ini terjadi. Pendekatan hukum yang lebih inklusif, yang menggabungkan aspek pendidikan dan kesadaran publik, mungkin akan lebih efektif daripada sekadar hukuman.

Pada akhirnya, kasus ini menegaskan bahwa konservasi yang efektif tidak hanya memerlukan undang-undang yang ketat, tetapi juga sistem hukum yang adil, rasional, mudah diakses, dan mempertimbangkan realitas sosial masyarakat. 

Penulis : Denny Septiviant - Advokat / Politisi PKB

Post a Comment for "Hukum dan Habitat: Polemik Sukena dan Satwa Langka di Bali"