Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hari Tani Nasional: Menelusuri Keadilan Petani melalui Film Percy


 

Kisah nyata Percy Schmeiser, seorang petani Kanada yang pada tahun 1998 dituntut oleh Monsanto karena dianggap menggunakan benih rekayasa genetika tanpa izin. Padahal Percy selama bertahun-tahun menyimpan dan menanam benih sendiri, ia kemudian membantah tuduhan ini dan memilih untuk melawan di pengadilan


Garistebal.com - Setiap tanggal 24 September, Indonesia memperingati Hari Tani Nasional, sebuah momentum untuk mengenang lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. UUPA ini menjadi tonggak penting dalam upaya melakukan reforma agraria, yaitu untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi para petani dengan mengatur kepemilikan dan distribusi lahan secara lebih adil. Tujuannya adalah untuk menghapuskan ketimpangan kepemilikan tanah yang dikuasai oleh golongan tertentu dan memberdayakan petani yang menjadi tulang punggung perekonomian bangsa.

Namun, di balik semangat tersebut, persoalan ketidakadilan masih membayangi banyak petani, terutama dalam menghadapi dominasi korporasi besar. Film Percy (2020), yang mengisahkan perjuangan seorang petani kecil melawan raksasa agribisnis Monsanto -walaupun agak berbeda situasi dengan petani Indonesia- namun konteksnya dapat memberikan refleksi tajam atas kondisi ini.

Percy menceritakan kisah nyata Percy Schmeiser, seorang petani Kanada yang pada tahun 1998 dituntut oleh Monsanto karena dianggap menggunakan benih rekayasa genetika tanpa izin. Monsanto, perusahaan multinasional yang mendominasi industri agrikultur dengan produk-produk hasil modifikasi genetika, menuduh Percy melanggar paten perusahaan. Percy, seorang petani tradisional yang selama bertahun-tahun menyimpan dan menanam benih sendiri, membantah tuduhan ini dan memilih untuk melawan di pengadilan.

Film ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh korporasi dalam mengontrol sektor pertanian global. Percy, yang hanya seorang petani biasa, harus menghadapi salah satu korporasi agribisnis terbesar di dunia. Kisah ini menjadi simbol perlawanan petani kecil terhadap sistem yang semakin meminggirkan mereka.


Perjuangan Melawan Ketidakadilan

Cerita bermula ketika benih hasil rekayasa genetika Monsanto, yang tahan terhadap pestisida, ditemukan di ladang Percy. Monsanto mengklaim bahwa benih tersebut adalah milik mereka dan menuntut Percy dengan tuduhan pelanggaran hak paten. Percy, yang selama bertahun-tahun mengembangkan benihnya sendiri, merasa tidak bersalah dan memilih untuk menempuh jalur hukum.

Proses pengadilan yang panjang dan berat menguras tenaga dan sumber daya Percy. Ia dipaksa untuk menghadapi tim pengacara korporasi yang kuat dan berpengalaman. Namun, Percy tetap teguh pada prinsipnya: bahwa petani memiliki hak untuk mengolah dan menyimpan benih mereka sendiri tanpa dikendalikan oleh korporasi besar.

"We save our own seeds. We don't rely on companies like Monsanto. That's the way farming should be." (Kami menyimpan benih kami sendiri. Kami tidak bergantung pada perusahaan seperti Monsanto. Itulah cara pertanian seharusnya berjalan), begitu kata Percy. Kutipan ini mencerminkan semangat kemandirian petani yang seringkali terancam oleh monopoli perusahaan besar.


Relevansi dengan Nasib Petani Indonesia

Kisah Percy Schmeiser seolah menjadi cermin bagi petani di Indonesia yang juga menghadapi tekanan dari korporasi agribisnis. Di Indonesia, banyak petani yang masih terjerat oleh masalah ketidakadilan struktural. Mulai dari kesulitan mendapatkan akses lahan, akses kredit hingga dominasi perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol harga komoditas dan benih.

Kasus sengketa agraria di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Banyak petani yang harus menghadapi penggusuran lahan, ketidakadilan distribusi hasil panen, hingga keterbatasan akses terhadap teknologi pertanian yang adil dan berkelanjutan. Meski pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melindungi petani, dalam praktiknya, implementasi di lapangan masih seringkali tidak berpihak pada mereka.

Seperti halnya Percy yang harus menghadapi kekuatan besar Monsanto, petani Indonesia juga harus berhadapan dengan perusahaan besar yang menguasai sektor agribisnis. Mereka seringkali tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk mempertahankan hak-hak mereka. Film  Percy menyuarakan bahwa perjuangan petani untuk mendapatkan keadilan adalah perjuangan yang universal.

Pada Hari Tani Nasional ini, kita diingatkan akan pentingnya memperkuat perlindungan hukum bagi petani Indonesia. Kisah Percy seharusnya menjadi inspirasi bagi semua pihak, baik pemerintah, organisasi petani, maupun masyarakat, untuk terus memperjuangkan hak-hak petani kecil yang seringkali terlupakan di tengah dominasi korporasi besar.


Menelusuri Harapan ke Depan

Kisah Percy Schmeiser mengajarkan bahwa meskipun sistem seringkali tidak berpihak pada petani kecil, perlawanan tetaplah mungkin. Dalam konteks Indonesia, langkah-langkah seperti reforma agraria, perlindungan hukum yang lebih kuat, serta dukungan terhadap teknologi pertanian yang berkelanjutan harus menjadi prioritas. Hari Tani Nasional seharusnya menjadi momen refleksi untuk memperbaiki sistem yang masih belum adil ini.

Petani bukanlah hanya pelaku ekonomi, mereka adalah penjaga kehidupan. Tanpa keadilan bagi mereka, kita akan kehilangan salah satu pilar utama ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Selamat Hari Tani, Hidup Petani Indonesia !!!! 


(Denny Septiviant, Politisi PKB)

Post a Comment for "Hari Tani Nasional: Menelusuri Keadilan Petani melalui Film Percy "