Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Faisal Basri: Sang Penjaga Nalar Ekonomi





Penulis: Denny Septiviant - Politisi PKB

Garistebal.com- Pagi ini, mentari tampak enggan menampakkan wajahnya, seolah turut berkabung atas kepergian seorang penjaga nalar ekonomi politik Indonesia. Faisal Basri, sosok yang dikenal tak hanya karena intelektualitasnya, tetapi juga karena keberaniannya berbicara lantang tentang kebenaran, telah meninggalkan kita. Di sebuah negeri yang sering kali tersesat di tengah badai kepentingan oligarki, Faisal Basri menjadi suara yang tak pernah diam, hingga detik-detik terakhir kehidupannya.


Pemikir Ekonomi dengan Nadi Rakyat

Lahir di Bandung, 6 November 1959, Faisal dikenal sebagai seorang ekonom yang tidak pernah memisahkan teori dari kenyataan hidup rakyat. Kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hingga kiprahnya di dunia akademik dan praktisi, selalu berlandaskan pada satu prinsip: bahwa ekonomi bukan hanya angka dan grafik, melainkan tentang manusia dan nasib mereka.

Ia berdiri di tengah badai, melawan arus kebijakan yang menurutnya tidak berpihak pada rakyat. "Ekonomi itu untuk manusia, bukan manusia untuk ekonomi," ucapnya. kalimat sederhana namun tegas, yang menjadi mantra perjuangannya. Ucapan ini beberapa kali saya dengar, pertama kali ketika saya mahasiswa, ketika mengundang beliau mendiskusikan ekonomi politik orde baru di pertengahan  90’an di Semarang, jelang keruntuhan orde baru. Beliau memang akrab di kalangan aktvis mahasiswa 90-an karena mampu menjelaskan dengan kalimat sederhana aliran-aliran ekonomi mulai dari paling kanan ala neoliberal hingga paling kiri ala marxist dan sekaligus mengkritiknya. Saya meyakini beliau salah satu arsitek gerakan reformasi yang menggulingkan pemerintahan Soeharto. 

Di masa reformasi, Faisal menjadi salah satu pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW), sebuah langkah awal yang menegaskan komitmennya dalam memerangi korupsi yang ia pandang sebagai biang kerok dari rusaknya ekonomi negara. Tak hanya di ranah akademik, Faisal juga terjun ke politik dan pernah maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada 2012. Meski kalah, perjuangannya tak pernah surut. Baginya, kekalahan politik bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan momentum untuk kembali ke medan pikir dan kritik.




Kritik Tajam Terhadap Oligarki

Faisal Basri bukanlah seorang yang mudah terbuai oleh kemapanan. Ia kerap menjadi duri dalam daging bagi penguasa, terlebih ketika oligarki semakin mencengkeram perekonomian Indonesia. Dalam berbagai tulisan dan wawancaranya, Faisal sering mengkritik keras ketergantungan pemerintah pada segelintir elite ekonomi yang ia sebut sebagai oligarki. Ketika ketemu lagi setelah sekian lama di sebuah forum diskusi di Jakarta 3 tahun lalu, beliau sudah mengingatkan bahaya oligarki ini untuk demokrasi Indonesia. 

Belliau kemudian menuangkan bahaya oligarki ini dalam sebuah artikel yang menghebohkan, dimana salah satu kutipannya berbunyi, "Indonesia semakin tenggelam dalam rezim oligarki. Mereka yang berkuasa hanyalah segelintir, tapi mencengkeram semua lini ekonomi”. Kritiknya ini membuat banyak pihak gerah, tapi Faisal tidak peduli. Ia tetap menulis, tetap berbicara, dan tetap berdiri di garda terdepan melawan ketidakadilan.

Dalam satu kesempatan, Faisal menyindir kebijakan pemerintah yang menurutnya terlalu akomodatif terhadap kepentingan investor besar, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur. "Infrastruktur itu penting, tapi jangan sampai hanya menguntungkan konglomerat. Lihat saja, siapa yang paling diuntungkan? Siapa yang menguasai tanah-tanah itu? Ini permainan yang tak adil."

Tak berhenti di situ, Faisal juga lantang mengkritik kebijakan pemerintah yang, menurutnya, terlalu bergantung pada utang luar negeri. "Utang itu harusnya dipakai untuk memperkuat fondasi ekonomi rakyat, bukan untuk memoles citra di permukaan. Sayangnya, kita masih sibuk membangun gedung-gedung tinggi, sementara di bawah, fondasi ekonominya keropos."




Cahaya yang Tak Pernah Padam

Banyak orang yang mungkin merasa jengah dengan kritik-kritiknya, tetapi satu hal yang tak bisa dipungkiri: Faisal adalah seorang yang jujur dan konsisten. Hingga akhir hayatnya, ia tetap menulis, berbicara, dan mengajarkan mahasiswa-mahasiswanya tentang arti keberanian berpikir mandiri. Ia sering kali mengutip Albert Einstein, "Imagination is more important than knowledge," sebagai pengingat bahwa berpikir kritis harus selalu dipadukan dengan keberanian berimajinasi untuk sebuah masa depan yang lebih baik.

Hari ini, kita kehilangan seorang pemikir, seorang pejuang, dan seorang teman. Namun, pikiran-pikiran Faisal tidak akan pernah mati. Ia telah menyalakan api kesadaran dalam diri banyak orang. Tulisan-tulisannya, kritik-kritiknya, dan terutama keberaniannya akan tetap hidup, menjadi lentera yang menerangi jalan bagi siapa saja yang masih percaya bahwa ekonomi Indonesia bisa lebih baik, lebih adil, dan lebih berpihak pada rakyat.

Faisal Basri mungkin telah pergi, namun gagasannya adalah warisan tak ternilai. Dalam salah satu tulisannya, ia pernah berkata, "Selama kita masih bisa berpikir dan berbicara, kebenaran akan selalu menemukan jalannya." Kini, meski ia tak lagi bersama kita, suaranya akan terus menggema di benak mereka yang ingin perubahan.

Selamat jalan, Bang Faisal Basri. Engkau adalah penjaga nalar ekonomi yang tak akan pernah padam.Saya bersaksi kamu orang baik. Lahumul fatihah.



Post a Comment for " Faisal Basri: Sang Penjaga Nalar Ekonomi "