Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dua Dekade Kepergian Munir: Racun di Udara, Racun di Keadilan




Garistebal.com- Hari ini, dua puluh tahun yang lalu, udara di atas ketinggian ribuan meter menyimpan kematian. Munir Said Thalib, seorang pejuang hak asasi manusia yang selalu berada di garis depan advokasi, diracun dalam perjalanan menuju Amsterdam. Seorang pria sederhana dengan prinsip yang tak bisa digoyahkan, Munir adalah sosok yang, bagi banyak orang, merepresentasikan suara-suara yang selalu dibungkam. Ironis, Munir dibungkam dengan cara yang ia tentang sepanjang hidupnya—secara diam-diam, perlahan, dalam ketidakadilan.

Sudah dua dekade ini, jejak Munir masih menggantung di udara, bersama pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas kematiannya. Negara, dengan segala kekuasaannya, masih terlihat bermain-main dengan janji dan investigasi setengah hati. Seakan-akan, kematian Munir adalah catatan kecil dalam lembar panjang pelanggaran hak asasi manusia di negeri ini, yang dari masa ke masa hanya dipenuhi dengan impunitas dan kebisuan.

Pelanggaran hak asasi manusia bukan sekadar pembunuhan atau penyiksaan. Pelanggaran itu terjadi ketika kebenaran disembunyikan dan keadilan ditutup-tutupi. Munir, sepanjang hidupnya, tahu bahwa perjuangannya untuk membongkar kasus-kasus penghilangan paksa, penculikan, dan pembunuhan aktivis bukan pekerjaan yang akan membuatnya populer di mata kekuasaan. Namun ia tetap berjalan di jalurnya, dengan keyakinan bahwa kebenaran harus menjadi dasar dari negara yang bermartabat.

Negara, dalam kasus Munir, gagal. Gagal melindungi warganya, gagal mengadili pelakunya, dan gagal memberikan keadilan bagi mereka yang ditinggalkan. Impunitas menjadi racun yang lebih berbahaya daripada arsenik yang merenggut nyawa Munir. Racun itu menyebar ke setiap sudut penegakan hukum, merusak kepercayaan publik terhadap keadilan, dan membiarkan mereka yang terlibat bebas tanpa pertanggungjawaban.

Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu keadilan. Munir seharusnya diingat bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai simbol kegagalan sistematis sebuah negara dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia. Setiap tahun, peringatan kematiannya mengingatkan kita bahwa negara memiliki tanggung jawab yang lebih besar—untuk menuntaskan kasus ini, untuk membuka kebenaran yang sesungguhnya, dan untuk menghapus budaya impunitas yang mengakar dalam.

Kebijakan politik yang harus diambil jelas: pembenahan total sistem hukum yang memungkinkan kasus seperti Munir terjadi. Investigasi mendalam dan transparan harus dilakukan, tak hanya untuk mengadili eksekutor, tetapi juga dalang di balik layar. Munir bukan satu-satunya. Banyak aktivis, jurnalis, dan rakyat biasa yang dipaksa bungkam atau dilenyapkan, dan mereka menunggu pengakuan atas ketidakadilan yang mereka terima.

Munir hidup untuk orang-orang yang terlupakan, dan sekarang, kita tak boleh melupakan Munir. Sebuah bangsa tak akan pernah benar-benar bebas jika mereka yang berani berkata benar dibiarkan jatuh tanpa ada yang bertanggung jawab. Tanggung jawab itu ada di tangan kita semua, terutama negara, untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi sebuah retorika kosong, melainkan kenyataan yang tegak di bumi tempat Munir pernah berpijak, berjuang, dan akhirnya, diracun dalam perjalanan mencari kebenaran. 

Penulis : Denny Septiviant - Politisi PKB

Post a Comment for " Dua Dekade Kepergian Munir: Racun di Udara, Racun di Keadilan"