SOLUSI ISRAEL-HAMAS Dahlan "Jalan Tengah" Mediator?
Semalam, Saya bermimpi sedang berjalan sendirian di trotoar Kota Sarajevo (Bosnia Herzegovina). Angin berhembus kencang. Lembut masuk ke tulang. Kota yang dijuluki sebagai simbol "kasih sayang" ini, begitu indah.
Masuk ke sebuah kedai, duduk minum kopi. Terdengar lantunan petikan "cello" Vedran Smailovic. Seorang seniman pesohor dari Kota yang pernah terkepung oleh Pasukan Serbia Bosnia, pimpinan Radovan Karadzic dan Ratco Mladic. Kota ini hancur, ribuan wanita dan anak-anak ikut menjadi korban. Sungguh sia-sia nyawa manusia.
Hari itu, akhir Mei 1992. Sarajevo tengah haru-biru, terkepung. Padahal kurun puluhan abad, kota "campuran" etnik ini begitu rukun. Di kota yang terkenal dengan 'trem' ini, telah hidup bersama, rukun-damai, orang-orang Muslim, Serbia, dan Kroasia. Mereka berdampingan, tanpa ada pretensi apa pun.
Hari itu, di tengah kekacauan kota. Vedran Smailovic pemain 'cello' utama orkestra Sarajevo. Sengaja melantunkan 'cello'nya, untuk menghormati 20 orang yang terbunuh oleh pecahan mortir. Saat mereka tengah antre untuk mendapatkan roti. Penyambung hidup. Di Kota yang terkepung, dan terblokade.
Melihat Kota Gaza sekarang, persis melihat Kota Sarajevo 32 tahun lalu. Di gedung-gedung tinggi, berjejer di tengah kota yang telah hancur. Para penembak bersembunyi. Membuat penduduk takut melintas, dan akhirnya kelaparan.
Warga yang mencari makanan, jadi sasaran penembak, tanpa peduli dia militer (petempur atau bukan). Semua di sapu bersih. Mereka, lapar, waswas, berlari, ketakutan, seperti Rusa yang tengah diburu.
Namun, tidak untuk Vadran Smailovic. Tetap duduk tenang di tempat terbuka, mengenakan busana konser. Di kepalanya berdesing mortir, peluru, tak berhenti menyalak. Anda sudah gila? Lari! Teriakan tertuju pada Smailovic. "Mereka yang gila, menghujani Sarajevo dengan Bom dan Senjata mesin. Apakah kalian waras, banyak anak-anak dan wanita,"!
Kegilaan itu, 32 tahun setelah Sarajevo. Kembali terjadi di Kota Gaza (Palestina). Meskipun tak ada pemain 'cello' seperti Vedran Smailovic. Namun ada Kepala Otoritas Keuangan Israel (Menteri Keuangan) Bazalel Smotrich yang juga tengah "memainkan" orkestrasi"nya. Orkestrasi perang.
Tokoh sayap kanan Israel ini mengatakan. "Tindakan membiarkan dua juta penduduk Gaza mati kelaparan. Itu bisa dianggap beralasan dan bermoral. Sampai sandera kami dibebaskan,"kata Bazalel Smotrich. Dunia marah, dan mengecam pernyataan ini.
Gaza terkepung oleh Pasukan Israel dengan Arsenal modern. Lalu, perbatasan Rafah yang di"kunci", hingga bantuan makanan sulit masuk. Langit Gaza juga diintai pesawat yang siap menjatuhkan puluhan ton bom berpemandu, dan para 'sniper' di Gedung rongsok siap merobek tubuh mungil anak-anak yang mencari makanan, dan lapar.
Hamas dan Israel memang tengah berperang. Hamas, betul yang memulainya terlebih dahulu, 7 Oktober hampir 11 bulan lalu. Kemarahan Israel yang tanpa batas, tentu telah melebihi "ambang" kemanusian.
Menteri Keuangan Bazalel Smotrich, atau tokoh sayap kanan lain, Ittamar Ben-Gvir (Menteri Keamanan Nasional), atau PM Benyamin Netanyahu, sudah sulit menjelaskan kepada dunia alasan yang logis. Mengapa perdamaian tak juga dilakukan. Membela diri? Masih kurangkah 40.000-an jiwa melayang? Masih belum cukup dengan kota Gaza yang telah rata?
"Mengapa perang ini masih dilanjutkan"? Mengapa perang "gila" ini tidak dicarikan solusi? Solusi pengakhiran, menunggu Hamas "habis"? Itu tidak akan terwujud. Hamas adalah ideologi, itu juga diakui oleh Jurubicara Militer Israel, Daniel Hagari beberapa waktu lalu.
Teringat kata-kata PM Inggris Winston Churchill, "Saya merasa seolah-olah berjalan dengan takdir. Seluruh kehidupan masa lalu, hanyalah disiapkan untuk masa kini, dan cobaan yang saat ini tengah kita dijalani". Konflik bangsa Palestina-Israel, pun adalah bagian dari histori.
Apa yang dilakukan Hamas (7 Oktober 2023), adalah takdir dari kehidupan 'masa lalu', takdir dari 'Deklarasi Balfour', takdir dari peristiwa pengusiran dan pembantaian terhadap bangsa Palestina di tanah-tanah mereka. Peristiwa yang disebut bangsa Palestina sebagai 'Nakhba'.
Katakanlah Hamas "bersalah", telah membunuh 1200-an rakyat Israel. Menyerang dalam sandi "Banjir Al Aqso", namun tentu ada "causa prima", sebab akibat di situ. Isu pembicaraan Kemerdekaan Palestina yang dimulai 1993, antara mendiang Yasser Arafat (Palestina) dan mendiang PM Israel Yitzhak Rabin (Oslo, 1993), tidak dilanjutkan oleh para "suksesor" Israel: Yitzhak Shamir, Ehud Barak, Ehud Olmert, Benyamin Netanyahu dll.
Mendiang PM Yitzhak Rabin pun akhirnya ditembak, oleh ekstremis (radikal) Israel (Yigal Amir) tahun 1995, dua tahun setelah perdamaian dengan Palestina ditandatangani. Atau setahun, sesudah Yitzhak Rabin dan Raja Hussein (Yordania) juga menandatangani perdamaian Israel-Yordania (1994).
Kini, dua tokoh garis keras Israel: Itamar Ben-Gvir dan Bazalel Smotrich juga bersipat keras. Keduanya memiliki seruan yang sama, untuk membiarkan kelaparan rakyat Gaza. Sejumlah kalangan di Eropa, sempat menyebut, inilah Pemerintahan "terkeras", sepanjang sejarah berdirinya Israel (sejak 1948).
Palestina yang kehilangan "patron" di Timur Tengah, sementara Israel terus mengupayakan pembukaan hubungan diplomatik dengan negara-negara Liga Arab (baca patron Palestina). Memunculkan rasa frustrasi di faksi-faksi Palestina.
Kelahiran Faksi Hamas tahun 1987, pun adalah "sintesa", dari ketidakpastian masa depan bangsa Palestina tadi. Kegagalan 'tesa' (tesis) 'Oslo' (Norwegia), lalu "approach" Israel ke sejumlah negara Liga Arab ('antitesa'), menjadikan jalan kekerasan sebagai pilihan.
Betul, kekerasan. Apa pun, secara universal, itu tidak dibenarkan. Yang terjadi tanggal 7 Oktober tahun lalu adalah kekerasan, yang semestinya tidak terjadi. Juga pembalasan Israel terhadap penghancuran Gaza (40.000 jiwa tewas dan jutaan mengungsi), adalah "beyond of humanity".
Israel nampaknya tidak ingin ada lagi Hamas. Israel, tidak ingin memberikan kemerdekaan penuh dan berbagi "Tanah" yang sama dengan bangsa Palestina. Israel ingin "status quo", di mana hanya ada Authoritas Palestina (PA) pimpinan Mahmoud Abbas di Ramallah (West Bank), serta Jalur Gaza (Strait Gaza) yang sesak. Selamanya.
Mensitir "Jerusalem Post" (Senin/12 Agustus 2024), disebut-sebut Israel menginginkan Jalur Gaza kembali seperti tahun 2005. Saat Faksi Al-Fatah yang memerintah, sebelum diambil Hamas (lewat Pemilu dan pertempuran Hamas vs Fatah).
Lantas siapa tokoh yang diinginkan Israel dan para negosiator perdamaian (Hamas-Israel) untuk memerintah Gaza, pasca-Hamas? "Editorial" Jerusalem Post menyebut nama tokoh Palestina Mohammad Dahlan, dari Faksi Al Fatah, sebagai "jalan tengah".
Sama-sama lahir di Khan Younis (Gaza) seperti Kepala Biro Politik Hamas Yahya Sinwar, Mohammad Dahlan (lahir 1961) pernah ditangkap oleh Israel karena aktivitas Kemerdekaan yang dia lakukan.
Satu hal yang menarik, Mohammad Dahlan adalah tokoh Palestina yang disukai AS. Tahun 2007, Presiden AS George Bush, dilaporkan menekan Presiden Palestina (PA), Mahmoud Abbas agar mengangkat Mohammad Dahlan sebagai wakilnya.
Pengaruh Internasional Mohammad Dahlan, bisa menjadi terobosan untuk memecah kebuntuan perdamaian. Dikenal dekat dengan pemerintah: Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan oposisi Suriah. Mengutip "Wall Street Journal", Hamas dapat menerima Mohammad Dahlan sebagai solusi sementara untuk menghentikan perang (Gencatan Senjata).
Dunia kini harap-harap cemas. Berpacu dengan waktu. Ancaman Iran untuk membalaskan kematian Ismail Haniyeh, bisa di"gagalkan", seandainya "jalan tengah" tadi bisa terwujud.
Mohammad Dahlan yang dididik oleh Mesir dan Ini Emirat Arab (UEA), bisa menjadi "kartu truf" yang dapat menekan tokoh "kanan" Israel: Ittamar Ben-Gvir dan Bazalel Smotrich, agar mendukung langkah mediator (AS, Mesir, Qatar) maju ke meja perundingan.
Saya yakin, PM Benyamin Netanyahu juga tersandera oleh kedua tokoh ini. Karena, tanpa dukungan Ben-Gvir (Partai Otzma Yehudit) dan Smotrich (Partai Tkuma/Zionisme Agama), Pemerintahan Netanyahu akan jatuh di Kenesset (Parlemen).
Semoga permainan "cello" nan merdu Vedran Smailovic di Sarajevo, bisa terdengar hingga ke Gaza.
Penulis: Sabpri Piliang, Jurnalis
Ilustrasi: Epaper MediaIndonesia
Post a Comment for "SOLUSI ISRAEL-HAMAS Dahlan "Jalan Tengah" Mediator?"