Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Raja Jawa dan Canda Murahan Politisi Miskin Sejarah


Garistebal.com- Budaya Jawa, yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai moral, sering kali digambarkan dalam konteks keraton dan kehidupan para raja. Namun, di balik kemegahan istana, terdapat kisah-kisah tentang raja-raja yang jauh dari kesan otoriter, kejam, atau bengis. 

Sebaliknya, raja-raja ini dikenal karena kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang mereka terhadap rakyatnya. Beberapa sosok raja Jawa bahkan telah meninggalkan warisan moral yang kuat melalui kepemimpinan mereka yang adil dan penuh kasih.

Sri Sultan Hamengkubuwono I misalnya, pendiri Kesultanan Yogyakarta pada akhir abad ke-18. Beliau dikenal tidak hanya sebagai seorang pemimpin militer yang cakap tetapi juga sebagai seorang raja yang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Dalam masa pemerintahannya, Sultan Hamengkubuwono I selalu berusaha mendamaikan berbagai golongan yang ada di kerajaannya dan menjunjung tinggi keadilan. Rakyatnya merasa dilindungi karena keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan yang matang dan tidak memihak.

Demikian pula dengan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda yang juga dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana. Beliau memerintah dengan prinsip-prinsip kearifan lokal dan selalu mengedepankan dialog dan musyawarah dalam mengambil keputusan. Hal ini membuatnya dicintai oleh rakyatnya dan dihormati oleh lawan-lawannya. Dalam masyarakat Sunda, Prabu Siliwangi masih dikenang sebagai simbol kebijaksanaan dan kepemimpinan yang ideal.


Kasih Sayang Terhadap Rakyat

Selain kebijaksanaan, raja-raja Jawa juga dikenal karena kasih sayang mereka terhadap rakyat. Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, misalnya, adalah seorang raja yang dikenal karena kemurahan hatinya. Meskipun beliau berasal dari keluarga kerajaan Majapahit, Raden Patah memilih untuk mendirikan sebuah kerajaan Islam di Jawa dan memerintah dengan mengedepankan keadilan sosial. Beliau sering kali turun langsung ke masyarakat untuk mendengarkan keluhan dan kebutuhan rakyatnya. Melalui pendekatan yang humanis ini, Raden Patah berhasil membangun hubungan yang erat antara kerajaan dan rakyat.

Contoh lain adalah Sultan Agung dari Mataram, yang dikenal sebagai raja besar dengan visi yang luas. Sultan Agung tidak hanya fokus pada perluasan wilayah kekuasaannya tetapi juga pada upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Beliau mengembangkan sistem irigasi yang lebih baik untuk pertanian dan mendorong rakyatnya untuk bekerja sama dalam membangun infrastruktur yang kuat. Sultan Agung dikenal sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya, sehingga membuatnya dikenang sebagai salah satu raja terbesar dalam sejarah Jawa.

Dalam tradisi Jawa, seorang raja yang ideal sering kali diibaratkan sebagai seorang bapak bagi rakyatnya. Ki Hajar Dewantara, pernah berkata, "Raja sejati adalah dia yang mampu menjadi panutan bagi rakyatnya, yang kepemimpinannya memancarkan kasih sayang dan kebijaksanaan, seperti sinar matahari yang menghangatkan seluruh bumi tanpa pandang bulu."

Kutipan ini menggarisbawahi betapa pentingnya kualitas moral dalam kepemimpinan seorang raja. Dalam budaya Jawa, seorang raja tidak hanya dilihat sebagai penguasa tertinggi tetapi juga sebagai simbol moralitas dan keadilan. Kepemimpinan yang bijaksana dan penuh kasih adalah esensi dari seorang raja yang sejati.

Ben Anderson menyebut "Raja Jawa bukan hanya penguasa dalam pengertian Barat, tetapi dilihat sebagai sumber harmoni spiritual dan kosmik yang memastikan kesejahteraan kerajaan. Kekuasaan raja tidak begitu banyak didasarkan pada paksaan atau kekuatan, tetapi pada kemampuannya untuk menjaga keseimbangan kosmik."

Pernyataan Anderson ini menunjukkan bahwa meskipun raja Jawa memiliki kekuasaan yang besar, mereka juga dipandang sebagai penjaga harmoni dan kesejahteraan, bukan hanya sebagai penguasa yang otoriter atau kejam.

Pidato Bahlil Lahadalia yang menyinggung Raja Jawa di dalam pidato perdananya sebagai Ketua Umum Golkar, tentunya paradoks dengan penjelasan Raja Jawa diatas. Stigma bengis, otoriter dan kejamnya Raja Jawa dalam referensi Bahlil, adalah bukti dangkalnya pengetahuan dan rusaknya konstruksi berpikir politisi tanpa mempertimbangkan kearifan lokal. Sungguh berbahaya...!


Penulis: Ardiyansyah Harjunantio, Orang Jawa


Post a Comment for "Raja Jawa dan Canda Murahan Politisi Miskin Sejarah"