Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pejambon 1945: Refleksi Sejarah di Tengah Peringatan Kemerdekaan dan Bayang-Bayang Otoritarianisme


 

Setiap 17 Agustus, bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya dengan gegap gempita. Namun, di balik hiruk-pikuk perayaan, ada ruang sunyi untuk merenung, seolah dalam diam kemerdekaan itu meminta kita kembali kepada cita-cita yang dulu diperjuangkan para pendiri bangsa. Tahun 2024 ini, perenungan itu terasa lebih penting dari biasanya, di tengah badai politik yang mendera dan tanda-tanda suram bahwa negeri ini mungkin sedang terjerumus perlahan ke dalam jebakan otoritarianisme terselubung.



Garistebal.com- Dari rak perpustakaan yang berdebu, ingatan saya tertuju pada sebuah buku: Pejambon 1945: Konsensus Agung Para Peletak Fondasi Bangsa, karya Daradjadi dan Osa Kurniawan Ilham. Buku itu mengajak kita menyusuri lorong waktu, ke tahun 1945, saat Republik ini belum berbentuk, dan di sebuah gedung di Pejambon No. 6, Jakarta, harapan itu dirumuskan. Gedung itu menjadi saksi bisu sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tempat para tokoh dari berbagai latar belakang—ideologi, agama, dan suku—beradu pikiran, berdiplomasi dengan keras, demi satu tujuan: masa depan Indonesia.


Di Pejambon, di Antara Perdebatan dan Konsensus

Suasana di Pejambon kala itu bukanlah harmonisasi yang tenang. Di luar, bayang-bayang penjajahan Jepang masih menekan, sementara di dalam, ruang sidang penuh dengan argumen, perdebatan, dan sesekali ketegangan. Mereka para anggota BPUPK sejumlah 62 orang -termasuk Soekarno, Hatta, Wahid Hasyim, Soepomo, dan Yamin- datang dengan agenda masing-masing. Ada yang ingin negara ini tegak di atas Islam, ada yang ingin negara sekuler, ada pula yang menginginkan Indonesia sosialis. Di antara ide-ide besar itu, konflik tak terelakkan. Namun di atas segalanya, ada kesadaran bahwa negara ini harus lahir dari konsensus, bukan dari kemenangan satu pihak di atas yang lain.

Buku “Pejambon 1945” mengingatkan kita bahwa mereka, para pendiri bangsa, memahami betul arti penting kompromi dalam situasi kritis. Konsensus yang mereka bangun saat itu bukan hanya sebuah jalan keluar, melainkan fondasi bagi sebuah republik yang baru saja menorehkan babak pertama dari perjalanannya. Undang-Undang Dasar 1945, produk dari perdebatan dan kompromi itu, bukanlah dokumen yang sempurna, tetapi ia menjadi lambang dari kebersamaan dalam keberagaman.


Bayangan Gelap Otoritarianisme

Namun, tujuh puluh sembilan tahun kemudian, ada sesuatu yang tampak menjauh dari cita-cita itu. Indonesia yang dulu dibayangkan sebagai negeri demokratis yang inklusif, kini perlahan terseret ke bibir jurang competitive authoritarianism. Sebuah istilah yang mungkin asing di telinga awam, tapi dampaknya sangat terasa. Competitive authoritarianism adalah situasi ketika elemen-elemen otoritarian meresap ke dalam demokrasi, di mana pemilu masih diadakan, namun penuh manipulasi; di mana oposisi ada, tapi dipersekusi; dan di mana kebebasan pers masih diakui, namun senantiasa ditekan.

Negara-negara seperti Rusia, Turki, Venezuela, dan Hongaria telah mengalami nasib yang sama: demokrasi mereka terhimpit oleh kekuasaan yang tak mau lengser. Dan di Indonesia, gejala itu kian terlihat jelas. Tahun 2024 ini, selama masa PEMILU kemarin dan menjelang Pilkada serentak yang akan datang, kita bisa melihat tanda-tandanya: kebebasan berekspresi mulai dipasung melalui UU ITE, ruang gerak oposisi semakin sempit dengan menggunakan instrumen hukum kepada partai politik, dan dinasti politik berupaya dilanggengkan dengan cara-cara yang tidak lagi mencerminkan demokrasi sejati.


Merawat Semangat Konsensus

Buku “Pejambon 1945” mengajarkan kita bahwa demokrasi bukan sekadar soal siapa yang menang atau kalah dalam kontestasi politik, melainkan soal kemampuan kita untuk berkompromi demi kepentingan bersama. Sidang-sidang BPUK dan PPKI di Pejambon bukanlah sekadar ajang adu ide, melainkan tempat di mana masa depan negara ini dipertaruhkan dan pada akhirnya, disepakati bersama.

Para tokoh seperti Soekarno, Hatta, Wahid Hasyim, dan Soepomo, meskipun berbeda pandangan, mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Mereka mengerti bahwa jalan menuju kemerdekaan sejati adalah dengan membangun jembatan dialog, bukan dengan memperkuat tembok segregasi. Pelajaran penting ini seharusnya menjadi pemandu bagi kita di tengah turbulensi politik saat ini.


Membangun Masa Depan dengan Memetik Pelajaran dari Masa Lalu 

Kita sedang berada di titik kritis. Demokrasi Indonesia tidak boleh hanya menjadi formalitas belaka, di mana pemilu ada, tetapi esensi kebebasan dan keadilan kian tergerus. Jika kita ingin tetap setia pada semangat yang dirumuskan para pendiri bangsa di Pejambon, maka kita harus memperkuat demokrasi yang substantif—demokrasi yang tidak hanya hidup di kotak suara, tetapi juga dalam keseharian rakyat, dalam kebebasan mereka berbicara, berkumpul, dan memilih.

Peringatan kemerdekaan kali ini harus menjadi momen reflektif bagi kita semua. Bukan sekadar mengenang mereka yang telah berjuang, tetapi juga merenungkan apakah kita masih berjalan di jalan yang mereka rintis. Jalan itu tidak mudah, tapi ia adalah satu-satunya jalan yang akan membawa kita menuju masa depan yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.

Pejambon 1945 bukanlah sekadar catatan sejarah, melainkan peringatan bahwa Indonesia lahir dari kompromi dan konsensus, bukan dari otoritarianisme. Di tengah ancaman competitive authoritarianism yang kian nyata, kita harus kembali merawat semangat itu—semangat yang menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.


Penulis: Denny Septiviant, Politisi

Post a Comment for "Pejambon 1945: Refleksi Sejarah di Tengah Peringatan Kemerdekaan dan Bayang-Bayang Otoritarianisme"