Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NEGARA DALAM KEADAAN DARURAT KONSTITUSI



 Oleh: Dr. Aris Septiono, SH, MH, LL.M

Garistebal.com- Pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI 1945 menegaskan bahwasanya Negara Indonesia adalah negara hukum, bukan Negara kekuasaan. 

Paham tentang negara hukum ini yang menjadi penentu segalanya termasuk dalam prinsip kerangka the rule of law yang diyakini ada tiga pengakuan yaitu hukum mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan hukum (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuk praktik (due process of law). 

Prinsip dari negara hukum harus dikembangkan bersama prinsip kedaulatan rakyat. DPR sebagai lembaga Negara yang mempunyai kewenangan membentuk UU, produk yang dihasilkan selain tidak boleh bertentangan dengan UUD Negara RI 1945 sebagai Konstitusi Negara Indonesia, juga tidak boleh mengabaikan norma hukum yang telah di putus oleh Mahkamah Konstitusi. 

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD 1945, artinya produk UU yang merupakan keputusan bersama Presiden dan DPR, dapat dianulir berupa pembatalan maupun penafsiran oleh Mahkamah Konstitusi, apabila menurut Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Mengikuti perkembangan hasil pembahasan Panitia Kerja RUU Pilkada dan Badan legislatif (Baleg) DPR RI, yang dalam kesepakatan Panja mengebiri Putusan MK No.60 dan No.70 yang dibacakan sehari sebelumnya (kemarin). 

Pertama,

Panja telah menyepakati batas usia minimal Calon kepala Daerah merujuk pada Putusan MA yang telah memutuskan usia minimal terhitung pada saat pelantikan. Sedangkan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 70/2024 terhitung pada saat penetapan pasangan calon. 

Aneh, logika hukum yang tidak bisa diterima dengan akal sehat, Panja DPR menggunakan putusan MA daripada Putusan MK, yang secara kewenangan MA menguji peraturan dibawah UU, sedangkan yang dibahas oleh Panja adalah RUU yang lebih tepat menggunakan Putusan MK. 



Kedua, 

Terkait syarat pencalonan oleh Parpol atau gabungan Parpol, Putusan MK sudah mengubah ketentuan Pasal 40 ayat 1 UU Pilkada yang tidak lagi menggunakan syarat 20% jumlah kursi DPRD atau 25% perolehan suara sah, akan tetapi menggunakan prosentase 6,5% sampai dengan 10% perolehan suara sah, sesuai dengan jumlah penduduk. Panja DPR telah menyepakati tetap memberlakukan Pasal 40 ayat (1)  dan prosentase 6,5% sampai dengan 10% perolehan suara sah berlaku khusus bagi parpol atau gabungan Parpol yang tidak mempunyai kursi DPRD. 

Putusan MK adalah final dan mengikat, yang harus dipatuhi juga oleh lembaga pembuat UU (Presiden bersama dengan DPR). 

Putusan MK mengandung norma hukum sesuai Konstitusi, yang harus dihormati dan dipatuhi oleh semua pihak, terlebih lagi bagi lembaga pembuat UU. 

Masak ketentuan UU yang sudah diuji dan diputus oleh MK bertentangan dengan UUD 1945, “dihidupkan lagi” dengan UU yang baru yang bertentangan dengan Putusan MK. Apabila dalam sidang Paripurna DPR besok (Kamis, 22 Agustus 2024) mengesahkan RUU Pilkada, Itu berarti DPR telah melanggar Konstitusi! 

Pemerintah bersama dengan DPR, harusnya juga berkaca pada Putusan MK sebelumnya terkait batas usia minimal Capres/Cawapres yang kontroversial dan menjadi polemik di masyarakat, bahkan sudah diputus juga terkait pelanggaran kode etik oleh MKMK, toh Putusan MK tersebut tetap dipatuhi dan tidak dilakukan pembangkangan Konstitusi dengan membuat UU baru, lalu kenapa kali ini dipaksakan kejar tayang mengesahkan UU baru yang mengebiri Putusan MK??? 

Rakyat masih berharap semoga ada keajaiban dalam sidang Paripurna DPR agar tidak menghasilkan produk UU yang akan tercatat dalam sejarah hukum ketatanegaraan Indonesia, yang tidak lagi melandaskan pada Negara hukum, tetapi negara kekuasaan. 


Semarang, 21 Agustus 2024.


Penulis adalah Praktisi hukum, Ketua DPD Ikatan Pengabdian Hukum Indonesia Prov. Jawa Tengah

Post a Comment for "NEGARA DALAM KEADAAN DARURAT KONSTITUSI"