Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mimbar Curhat: ‘Sakitnya Tuh Disini’



Garistebal.com- NEGERI Sebelah ada kisah, seorang aktivis berdiri di atas panggung yang tak kenal gentar dan barangkali juga tidak dibayar. Ia seperti membawa risalah kenabian, memancarkan sinar perubahan. Lalu sang aktivis berkata, “Sakitnya Tuh Disini.”

Perkataan sang aktivis seperti lagu yang dinyanyikan Cita Citata yang rilis pada tahun 2014. “Sakitnya tuh disini, di dalam hatiku, Sakitnya tuh disini melihat kau selingkuh. Sakitnya tuh disini pas kena hatiku.”

Tahun yang sama di Negeri Sebelah terpilihlah sosok presiden bernama Joko Widodo yang dikenal sebagai Jokowi.

Selanjutnya sang aktivis mengatakan, “Maaf sebelumnya, mimbar rakyat ini menjadi mimbar curhat. 

Lalu ia berkata, “Ia adalah pemimpin perubahan simbol dari perlawanan. Sosok Satrio Piningit, bahkan ia seperti sosok Ken Arok yang akan menegakan keadilan terutama penegakan hukum dan akan membawa Indonesia menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.”

“Ia bukan sekadar sosok. Ia adalah simbol dari perlawanan, ikon dari keberanian. Di matanya, setiap ketidakadilan adalah tantangan yang harus dihadapi, bukan untuk ditakuti,” imbuhnya.

Sang aktivis melanjutkan, “Ketika yang lain bersembunyi di balik dinding ketakutan, ia berdiri tegak di garis depan, memimpin pergerakan dengan tekad yang tak tergoyahkan,”

“Setiap langkahnya meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus, jejak yang menjadi panduan bagi generasi berikutnya,” Sang Aktivis berkata dengan terbata-bata.

Kemudian berucap, “Sakitnya Tuh Disini.”

Mimbar Curhat diisi lembaran-lembaran kisah kekecewaan, yang sulit dikendalikan. Sehingga memicu pergolakan untuk meneriakkan ‘hanya satu kata: lawan’ by Wiji Thukul.

Memang ketika seseorang dikhianati atau rasa kecewa tersebut bisa berubah menjadi kemarahan, frustrasi, atau bahkan puncaknya kebencian. 

Tidak dapat dipungkiri terpilihnya Jokowi banyak aktivis bergerak untuk memenangkannya. Gaya blusukan ke gorong-gorong menjadi diplomasi politik yang mampu mempengaruhi rakyat. Selain itu memang lawan politiknya hanya satu dari kalangan militer. Dan tentunya karena ada rasa kecewa, makanya tidak mau dipimpin militer, takut militerisme.

Sampai dua periode ia menjabat, puncaknya di periode akhir tampak mencederai legislasi dengan menampilkan politik dinasti dan oligarki.

Itulah yang terjadi di Negeri Sebelah. Maka di Mimbar Curhat ini saya juga ingin curhat. Kalau soal pilih memilih, memang kebetulah tidak pernah memilihnya baik diperiode pertama maupun periode kedua.

Meski senior-senior mendukung presiden Negeri Sebelah. Tentu alasanya hampir mirip-mirip begitu. Sudah tampak dari diplomasi politik Jokowi, sampai ia mampu memimpin dua periode. Sungguh luar biawak.

Tentu harus ada tolak ukur keberhasilan dalam kepemimpinan, baik ukuran dalam berdemokrasi, bidang pendidikan, budaya maupun ekonomi.

Saya tolak ukurannya tentu memakai data-data ekonomi. Di periode awal Jokowi memimpin itu SUDAH GAGAL, lha kok masih dipilih maneh.

Acapkali pemerintah bilang, “Kondisi perekonomian sangat baik, pembangunan sudah tepat dan berhasil.”

Faktanya era Jokowi memimpin periode pertama, LEBIH BURUK dari dua era pemerintahan sebelumnya. Lantas apa bukti dari fakta tersebut? Butuh bukti, ini beberapa faktanya:

Pertama, oligarki mendominasi ekonomi di era Jokowi. Indonesia menempati urutan ketujuh dalam indeks kapitalisme. Kekayaan para miliarder yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa (politik) melonjak. Oligarki ekonomi makin mempengaruhi dinamika politik dan beberapa industri besar cenderung mengandalkan rente

Kedua, jumlah penduduk miskin September 2018 sebanyak 25,67 juta orang atau 9,66% dari jumlah penduduk. Penurunan kemiskinan selama Era Jokowi sangat biasa; Berkurang sebanyak 2,06 juta (1,30%) selama 4 tahun, lebih rendah dibanding era sebelumnya. Sebagian penurunan karena penduduk miskin meninggal dunia.

Ketiga, angka Pengangguran dan jumlah penganggur memang turun, namun laju penurunan lebih rendah dibanding era sebelumnya. Tingkat pengangguran hanya berkurang 0,60% dan jumlah penganggur berkurang 244.905 orang selama 4 tahun.

Keempat, keuangan Pemerintah makin mengalami kesulitan. Rata-rata defisit era Jokowi (2015-2019): 2,23%. Sedangkan pada era SBY-JK (2005 – 2009): 0,80%; Era SBY-Boediono (2010-2014): 1,58%.

Inilah tolak ukurnya, tentu harus ada pembanding. Kesimpulannya Jokowi tidak layak menjadi presiden berikutnya. Begitu juga era periode kedua, ekonomi Indonesa makin memburuk, berjanji pertumbuhan ekonomi 7% aja selalau gagal.

Tapi namanya pendukung, masyarakat maupun rakyat Negeri Sebelah kan memiliki penilaian sendiri.

Karena ini Mimbar Curhat, maka saya akan curhat bahwasanya penilaian itu sesuatu yang tampak. Misalnya, memang benar pemerintah mampu mengurangi pengangguran dan kemiskinan, namun kan tidak sebanding apa yang dikeluarkan.

Contoh seperti Anda ini, ketika ingin punya rumah namun tidak memiliki uang untuk membeli rumah kan bisa berhutang dengan cara kredit baik dengan jenjang lima sampai lima belas tahun sesuai kemampuan.

Maka orang lain akan menilai Anda mampu ‘membangun rumah’ meski dengan cara berhutang.

Itulah yang terjadi sekarang, oleh karena itu ini tips juga bagi calon pemimpin, “Bangunlah.” ‘Membangun fisik, maksudnya.’ Bukan, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” 

Oleh karena itu ‘bergeraklah’, wahai agen perubahan. Meski dibilang ditumpangi, dimanfaatkan maupun dipolitisasi kepentingan kelompok tertentu.

“Perubahan itu pasti.” Bahwasanya perubahan adalah suatu hal yang tidak terhindarkan dalam kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi.

Sebagai bapak rumah tangga yang memiliki tiga orang anak, 1 putri dan 2 putra, saya berusaha menempatkan diri untuk oposisi.

Salam, “Tetap oposisi sebelum mendapat posisi.” 


Lukni Maulana

(Bapak rumah tangga dan pegiat Pasulukan Kasatmata)


Post a Comment for "Mimbar Curhat: ‘Sakitnya Tuh Disini’"