Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MEMATIKAN DEMOKRASI Halus Seperti Tenun Sutra



Garistebal.com- Democritos, tentu tak menyangka. Namanya akan menjadi satu 'idiom' dunia, idiom yang dipakai hampir 200 negara sebagai simbol peradaban 'welfare state' (negara kesejahteraan). Juga 'nation state' (negara bangsa), hingga akhir zaman. 

Sekalipun tak dijelaskan, dan juga belum tentu berasal dari nama sang filosof. Etimologi (asal usul kata) Democritos, tak bisa dipungkiri, mengarah pada nama nya.

Salah satu deskripsi Democritos tentang kehidupan sosial adalah, keadaan di mana manusia hidup damai dan tenteram. Tak terganggu oleh rasa takut. Rasa cemas, dan rasa terancam.

Kurun abad ke-5 SM, sama dengan abad kelahiran Democritos (460 SM-370 SM) mulailah diperkenalkan 'idiom' demokrasi di Yunani. Fragmentasinya pun di bagi dalam dua 'phrase': 'demos' dan 'kratos'. Dalam bahasa Yunani, demos berarti rakyat, dan kratos dengan makna kekuasaan. Terjemahannya menjadi kekuasaan rakyat. Kekuasaan di tangan rakyat.

Kekuasaan rakyat, yang merupakan prinsip dasar demokrasi modern. Dikembangkan di Amerika dan Eropa (abad 18 dan 19). Pengejawantahannya, setiap warga negara tak boleh 'diremehkan' atau dikesampingkan, untuk ikut terlibat, dalam proses pengambilan keputusan. 

Setiap orang, juga tak boleh di 'singkirkan', 'dibuang', 'dikucilkan', dan direkayasa agar tidak ikut dalam kontestasi. Itulah makna sesungguhnya demokrasi. Demokrasi adalah satu kebersamaan, satu kesepakatan untuk memilih dan dipilih. 

Hasil akhir yang diambil, pun harus mencerminkan keinginan mayoritas rakyat. Yang dijalankan oleh satu proses orisinal, bukan berdasarkan  proses "engineering". Sehingga, 'output' yang didapat, merupakan dukungan sesungguhnya dari publik. Dukungan itu tidak boleh palsu, karena intimidasi misalnya. Itulah 'pure demokrasi'.   

Meskipun saat ini, semua mengaku sebagai negara demokrasi, tentu harus mengingat kembali 'etimologi' dan makna demo dan kratos. Jelas sekali, pembangkangan supremasi hukum adalah, pelanggaran yang paling banyak dilakukan negara dunia. Padahal, itulah salah satu prinsip terpenting dalam negara yang mengaku demokrasi.

Berkaca pada contoh, perang Hamas-Israel. Telah memunculkan, pelanggaran hukum, sekaligus menjadikannya sebagai  "Primadona"  'nir-azas' demokrasi.

Jumlah 40.000 jiwa lebih (banyak anak-anak dan wanita) tewas. Secara 'public opini', telah menggugurkan stempel negara demokrasi kepada banyak negara. Bukan hanya pada pelaku utamanya saja. Sang pembiar genosida ini, juga secara moral telah mengeliminasi diri sebagai negara demokrasi.

Terlebih kepada negara yang mengaku terang-terangan mendukung perang yang tidak berimbang. Lalu, negara yang  memberi bantuan persenjataan secara masif, negara yang mengabaikan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), negara yang tidak menghormati hukum Internasional dan keputusan peradilan internasional. Mereka, dari sisi pandangan universal, sulit untuk dikatakan sebagai negara demokrasi.

Dunia pun terus menonton dengan 'mafhum' dan maklum, 'pertunjukan' kematian yang direncanakan. Seolah-olah suaranya hanya 'lamat lamat'. Korban 40.000 jiwa lebih di Gaza, dibiarkan dan 'dibenarkan', bahkan dibantu dengan persenjataan mematikan.

Demokrasi acapkali disalahtafsirkan, dikondisikan hanya milik negara, atau kelompok negara tertentu. Perang Dingin, yang 'kadung' mengalamatkan pelanggaran demokrasi kepada negara-negara Blok Timur (komunis), ternyata tidak 'ansich' begitu. 

Terlebih pasca-perang dingin. Demokrasi tidak berhenti bertumbangan dengan banyak varian. Di beri 'selimut' dan dibungkus dengan 'kain sutra' indah.

Hugo Chavez (Venezuela) telah membajak demokrasi, lewat hasil Pemilu. Sejumlah Lembaga demokrasi di: Georgia, Nikaragua, Peru, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Ukraina, telah dikangkangi, yang dimulai dari kotak suara. Inilah hulu yang menyebabkan, terjadinya kemunduran demokrasi pada suatu negara.

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku "How Democracies Die" (terbitan Baror International Inc.) mengingatkan. Jalan menuju kerusakan lewat Pemilu, benar-benar telah mengecoh. Dengan kudeta klasik seperti yang dilakukan Augusto Pinochet (Chile), kematian demokrasi langsung terjadi.

Istana kepresidenan Salvador Allende terbakar, Presiden terbunuh. Konstitusi dianggap tak berlaku, diabaikan, atau dibuang. Demokrasi sungguh-sungguh dibuat mati, dengan pembenaran bak "tenun sutra", halus dan 'menggoda'.

Demokrasi, terlalu mudah dipermainkan. Terlalu gampang dikamuflase. Pembajakan demokrasi, seperti terjadi di negara-negara Sri Lanka, Filipina, Polandia, Peru, Rusia, dll, dengan menjadikan seolah-olah demokrasi yang dijalankan itu "legal". 

Lagi menurut  Levitsky dan Ziblat,   "kelegalan" demokrasi dengan asumsi (dibuat), telah disetujui Lembaga Legislatif, dan diterima oleh Lembaga Yudikatif. Dengan begitu, azas Trias Politika-nya Montesqueu telah terpenuhi.

Dengan begitu, rakyat harus (dipaksa) menerima, karena sudah memenuhi unsur ketatanegaraan. Bila menolak, dianggap melanggar hukum negara. Kena sanksi hukum positif. Mau?

Teringat seorang pemimpin dunia yang sangat sederhana dan dicintai rakyatnya. Juan Evo Morales Ayma, atau lebih dikenal dengan Evo Morales. Dia tak ingin berdebat dengan lembaga-lembaga negara yang lain (di Bolivia).  Bila itu, akan menyakiti rakyat. Presiden Bolivia ke-65 (2006-2019) ini, suatu kali mengatakan. "Saya tidak berdebat dengan pembohong". Begitulah 'langgam' Evo Morales menjalankan demokrasi.

Demokrasi, memang mudah diucapkan. Namun, tidak mudah dijalankan. Setujukah? 


Penulis: Sabpri Piliang, Jurnalis 

Post a Comment for "MEMATIKAN DEMOKRASI Halus Seperti Tenun Sutra"