Kisah Tlasih-Tobong, Mencipta Batik di Tengah Jaman Yang Mulai Menggerus
Garistebal.com- Desa Meteseh adalah sebuah desa terpencil di Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal. Dari kota Semarang kalau kita ukur, berjarak 25,6 km dari Simpanglima.Lebih dekat ke Semarang ketimbang Kabupaten Kendal.
Maka, di desa Meteseh ini mulai banyak muncul pemukiman baru, cluster atau perumahan subsidi. Siasat developer, menangkap peluang warga semarang yang mencari rumah murah bersubsidi ketimbang kredit perumahan di Semarang yang cicilannya mencekik.
Dibalik geliat desa yang sedang tumbuh, ada sejumlah pemuda desa yang aktif nguri-uri budaya lokal. Heri Condro Sentosa namanya. Usianya 35 tahun. Saat ini dirinya menjabat Ketua Pokdawis desa Meteseh. Bersama Imroatul Jamila yang kebetulan berprofesi sebagai pembatik, membuat Batik Khas Desa, bernama Tlasih-Tobong.
"Gagasan membuat batik ini berawal dari rembugan tetenger desa,"jelas Heri. Sebelumnya mereka telah sukses juga menginisiasi logo desa lewat sayembara.
Nama batik “Tlasih-Tobong” dipilih karena dua kata ini mewakili kekhasan, sejarah, dan identitas Desa Meteseh. “Dua nama ini sebagai bagian dari ikhtiar kami untuk memantik kesadaran budaya agar kita—manusia tak lupa pada akar sejarah," ujar Heri.
Nama tlasih atau nama lainnya, tlaseh, selasih, basil, atau basilikum (Ocimum), terinspirasi dari sejarah nama desa Meteseh yang diciptakan oleh Kyai Dapi atau Mbah Daliyah Dapi--orang pertama yang datang dan bermukim (bukak yoso) Desa Meteseh.
Konon, dahulu beliau memasuki kawasan hutan atau kopen (dalam bahasa Jawa) yang didalamnya banyak tumbuhan kelapa, kopi, dan tanaman lainnya. Kawasan itu tak terawat dan tak ada penghuninya karena tak ada orang yang berani tinggal. Singkat cerita, orang pertama yang berani bermukin di situ adalah Kyai Dapi. Kemudian, setelah itu, sedikit demi sedikit, orang lain pun berani, hingga menjadi sekelompok hunian dan menjadi seperti wilayah desa.
“Kyai Dapi menjumpai di kawasan itu banyak tanaman/kembang tlasih atau telaseh. Maka, kemudian daerah itu, diberi nama Meteseh,” jelas Heri.
Sementara itu, nama tobong, diambil dengan pertimbangan Meteseh dikenal sebagai salah satu daerah sentra kerajinan genteng dengan “brand” Genteng Mantili. Bisa dikatakan, sejak era tahun 1970-an, genteng menjadi ciri khas Meteseh—meski kini, lambat laun semakin meredup. Tobong merupakan sarana pembakaran tanah liat yang sudah dicetak (dipress) hingga menjadi genteng.
“Tobong tidak hanya sarana pembakaran. Di sana menyimpan makna filosofis, di balik pembuatan genteng, ada proses panjang-dan pada proses akhir ada pembakaran. Bisa dimaknai, dalam konteks kehidupan, sebelum menjadi manusia seutuhnya, manusia akan melewati beragam proses. Beragam proses itu akan membuat manusia matang. Berbagai halangan, rintangan, masalah, yang dihadapi pada akhirnya membawa kita pada hasil yang diharapkan,” tutur pegiat Komunitas Lerengmedini (KLM) ini.
Heri berharap, adanya ikon batik khas Meteseh “Tlasih-Tobong”, bisa menjadi spirit/semangat bersama segenap elemen masyarakat, organisasi perangkat desa, anak muda, kaum tua, lelaki-perempuan, untuk saling bahu-membahu, saling nyengkuyung untuk mewujudkan desa yang berdaya. “Jika semua guyub, kompak, sama-sama memiliki niat baik untuk membangun desa, majunya desa hanya menunggu waktu. Semua bergantung dari kita,” harap Heri.
Untuk satu lembar kain batik Tlasih-Tobong baik cap atau tulis berukuran 2 Meter, dijual Rp 300.000, Pemesanannya pun masih Pre Order, karena masih terbatasnya tenaga pembatik.
Untuk pertama kalinya, Batik Khas Desa “Tlasih-Tobong” Dikenalkan ke Publik dalam Karnaval Budaya Desa Meteseh 17 Agustus lalu. Karnaval budaya bertema “Merajut Desa Berkarya dan Berdaya” ini diselenggarakan Minggu (18/08) siang oleh Karang Taruna Padmanaba Drusila, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Abyudaya Desa Meteseh, dan Pemdes Meteseh.
Dua kain batik “Tlasih-Tobong”, berukuran 2 m x 1,5 m persegi dan 3 m x 1,5 m persegi dibentangkan oleh perwakilan Karang Taruna dan perwakilan Pokdarwis
Kepala Desa Meteseh Sisyanto, menyambut baik inisiatif dari Karang Taruna dan Pokdarwis ini. Ia berharap, warga bisa membeli dan bangga mengenakannya. Selain batik adalah warisan budaya, dengan memiliki motif khas desa, tentunya ini, menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga.
“Saya berharap, ini menjadi semangat baik bagi segenap komponen masyarakat untuk bersama-sama bangga dan memajukan Desa,” kata Sisyanto.
Tim liputan
Post a Comment for "Kisah Tlasih-Tobong, Mencipta Batik di Tengah Jaman Yang Mulai Menggerus"