HUMANISME MUSIK : Chrisye adalah 'Berlian' Indonesia
Michel De Montaigne terlahir dari keluarga Perancis kaya. Ayahnya yang humanis, memberinya masa kanak-kanak dan pendidikan yang sangat baik. Tidak luput dari perhatian ayah, Michel "sang filsuf" (1533-1592), selalu diperdengarkan musik, setiap waktu.
Ayah Michel sadar betul. Manfaat musik bagi anak-anak. Musik menjadi salah satu media yang paling efektif untuk menstimulus kecerdasan otak, sejak dini.
Ini sekadar teori. Tidak selalu begitu.
Ada kalanya, seseorang menjadi cerdas karena sudah "dari sononya", bakat alam, dan terlahir sebagai orang cerdas.
Sekadar ilustrasi, kita berangkat membahas teori filsuf Michel De Montaigne, yang sesungguhnya ingin mengupas seorang penyanyi "legend" Indonesia,
Chrisye (Chrismansyah Rahadi).
Pastinya Montaigne adalah, pula seorang penulis. Sama dengan Chrisye yang juga penulis (lagu).
Lantas, bisakah penyanyi, disebut filsuf? Seorang penyanyi, katakanlah menjalani hidup dengan penuh makna. Membuat orang lain bahagia dengan kata dan syair yang menyentuh. Publik lalu meng-adopsi syair dari lagu yang ditulisnya. Maka, secara pribadi saya ber-opini, dia adalah filsuf. Bisa diperdebatkan!
Saat mendengar lagu, misalnya "Angin Malam", yang ditulis oleh Eros Djarot-Keenan Nasution-Debby Nasution, terasa ada makna filosofi tentang: alam, angin, hening, khayal, malam, gelora, asmara. Itu akan mempengaruhi khasanah berpikir kita, di kemudian hari, dan dalam posisi "long term".
Saat filsuf Socrates (470 SM-399 SM) ada. Jauh sebelum Montaigne lahir, mengatakan. Apakah orang-orang tidak mengetahui, bahwa mereka telah menjalani kehidupan penuh makna, atau tidak. Michel De Montaigne dan Chrisye, telah menjalani hidup yang penuh makna.
Chrisye yang lahir 16 September 1949, dan berpulang tahun 2007 (56 tahun), sangat mengesankan bagi publik di Indonesia.
Syair-syair lagunya, seperti filsuf yang tengah ber-filosofi, memberi warna mendalam terhadap pikiran pendengarnya.
Dalam lagu "Merepih Alam", "Angin Malam", "Hening", "Sabda Alam", "Smaradhana", "Merpati Putih", "Kala Cinta Menggoda", liriknya penuh dengan metafora dan personifikasi. Bergaya filsuf, Chrisye adalah "sang fenomenal" yang hingga kini selalu dikenang. Tak tergantikan, dan tak ada yang bisa menggantinya.
Tanggal 16 September, bulan depan. Di Istora Senayan (Jakarta), satu 'tajuk' bertema "Lifetime Tribute To Chrisye Concert", akan tampil sejumlah penyanyi yang membawakan lagu-lagunya.
Chrisye yang mengorbit lewat karya James F. Sundah, "Lilin Lilin Kecil" (1977), berlari kencang setelahnya. Diminta menyanyikan "soundtrack" film "Badai Pasti Berlalu" (1977), Chrisye semakin tak terbendung. Lewat Lagu-lagu yang diciptakan bersama Eros Djarot dan Yockie Suryo Prayogo. Dikemudian hari, mereka bertiga sering berkolaborasi, dengan simbol "EYC".
Bapak empat anak, beristrikan wanita Minang Yanti Noor (Noor Bersaudara) ini. Sebenarnya tidak direstui oleh sang Ayah Laurens Rahadi (Lauw Tek Kang) untuk menempuh jalur musik.
Ayahnya ingin Chrisye menjadi insinyur, dan mendaftar di UKI (1968).
Kuliah sambil bermusik, bersama keluarga Keenan Nasution (di jalan Pegangsaan). Chrisye yang berbakat, kemudian diajak menjadi pemain tetap pada Group Sabda Nada. Jadwal manggung makin padat, Chrisye terpaksa mengorbankan kuliahnya di UKI.
Tetap ingin membahagiakan orangtua, tapi bermusik juga jalan. Anak pasangan Hanna Rahadi (Kho Hiang Eng/Ibu) dan Laurens Rahadi (Lauw Tek Kang/Ayah) ini, kembali masuk kuliah di Akademi Pariwisata Trisakti (1970).
Sempat "merantau". Bermain musik bersama Band Gipsi selama setahun di Kota New York, Restoran Ramayana (Restoran milik Pertamina), Chrisye sangat senang. Terlebih, kepergiannya itu seizin ayahnya, dengan mengikhlaskan Chrisye fokus di musik. Walau harus mengakhiri perkuliahannya di Trisakti.
Menyanyikan lagu daur ulang: Procol Harum, Lake & Palmer, Genesis, Blood Sweat & Tears, King Crimson, selama manggung di New York. Akhir 1973, Chrisye kembali ke Indonesia.
Dalam perjalanan hidupnya, ada satu hal menarik yang Chrisye tinggalkan untuk kita.
Suatu kali, Chrisye meminta penyair Taufik Ismail membuatkan "single" (rohani), di album ke-17-nya ("Ketika Tangan dan Kaki Berkata").
Kala itu tahun 1977, lagu ini bercerita tentang 'pengadilan akhir' untuk manusia. Di-intisarikan dari Surah Yasin ayat 65, Chrisye selalu gagal, berulang-ulang dalam proses rekaman. Sekali membawakan liriknya, Chrisye menangis tersedu sedan. Tak pernah selesai.
Diceritakan oleh Taufik Ismail, sang isteri (mendiang Damayanti Noor, meninggal 2020) pun ikut menenangkan Chrisye. Rekaman itu selesai, namun tidak diulang lagi untuk mendapatkan yang terbaik. Chrisye sudah tak sanggup. Diceritakan pula oleh Yanti Noor, sejak itu, Chrisye tak pernah lagi membawakan lagu ini.
Chrisye adalah fenomenal. Chrisye adalah kilap "berlian" musik Indonesia.*
Penulis: Sabpri Piliang, Wartawan Senior
Post a Comment for "HUMANISME MUSIK : Chrisye adalah 'Berlian' Indonesia"