Hari Gang Buntu Nasional
Garistebal.com- Dengan langkah tergesa-gesa, pagi tadi Jumat (16/8) kami harus segera menghadap seorang Profesor di kediamannya, Mojolaban. kami berdua memiliki kepentingan sama, yakni menyelesaikan revisi Seminar Hasil.
"Ayo mbak, kita harus segera menghadap, ini hari yang mepet, "kataku. Sambil memacu sepeda motor matic. Beruntung hari itu motor tidak ngadat, karena selama ini motor hanya buat jalan saja. Nir-perawatan, tepatnya.
"Lho kenapa, kan kita tidak wajib jumatan, "jawab Mbak Juni. Kami berdua , sedang menempuh studi di sebuah PTN di Solo. Sama-sama senasib, sepenanggungan, berada dalam tekanan, untuk cepat lulus kuliah. Nasib memang.
Saya jelaskan, hari ini adalah hari sakral mbak. " Ini hari Gang Buntu Nasional," tegas saya. Jika kesorean kita tidak bisa keluar dari kampung itu. Nanti malam, biasanya warga kampung itu menggelar tirakatan bersama. Tidak satu dua tempat, tirakatan itu nyaris diselenggarakan bersama tiap RT dan selalu menutup jalan kampung. Kalau sudah terjebak begitu, kita kan susah mbak keluarnya, harus melewati banyak orang.
"Oh iya ya, ini di jawa ya. Budaya tirakatan itu amat lekat ya disini, berbeda dengan daerah kami, "jelas Mbak Juni.
Lho apa tidak ada perayaan tujuh belasan disana?
Ada mbak, tapi cuma lomba-lomba begitu, tidak ada potong tumpeng, tidak ada melek-melek sampai malam, yang disebut tirakatan itu, jelasnya lagi.
Dosen di salah satu universitas islam di Pontianak ini mengagumi benar jawa, tepatnya Solo, dengan budaya tradisinya yang masih lekat.
Saya mencoba memikirkan jawaban mbak Juni, kenapa ghiroh di luar Jawa dalam merayakan hari kemerdekaan tidak sama dengan di Jawa. Tanpa berpretensi dikotomi jawa non-jawa dalam konteks rasial. Apa mungkin karena sejarah perjuangan bangsa itu rata-rata terjadi di jawa. Perebutan kekuasaan, kemerdekaan, peperangan, kekerasan melawan penjajah dan jatuh berdarahnya para pahlawan membela bangsa itu terjadi di jawa.
Tapi tentu tidak demikian, di Kalimantan perlawanan menentang Belanda juga terjadi. Dikutip dari buku Perlawanan Rakyat Kalimantan, terbitan Grasindo (2001), sejarah perlawanan rakyat Kalimantan berlangsung hampir selama setengah abad. Pertempuran berlangsung 1859 karena Belanda ikut campur tangan terhadap pengangkatan raja di Kerajaan Banjarmasin. Perlawanan rakyat Kalimantan melawan Belanda dipimpin oleh pangeran Antasari. Ia memimpin pasukan rakyat untuk mengepung benteng Belanda di Martapura dan juga Pangaron.
Kemudian, ada juga Kyai Demang Loman dan pengikutnya yang bergerak di sekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng Belanda.
Sementara di pos Belanda Istana Martapura, Haji Nasrun juga melakukan penyerangan.
Pada bulan Agustus 1859, tiga tokoh setempat, Haji Buyasin, Kyai Lang Lang, dan Kyai Demang Loman bersama-sama menyerang benteng Belanda di Tabanio. Sedangkan, pangeran Hidayat tetap mengadakan perlawanan gerilya.
Sayang, di tahun 1862 pangeran Hidayat ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur. Sedangkan Pangeran Antasari diketahui meninggal dunia di tahun yang sama.
Hingga perlawanan itu kemudian menyebar ke berbagai wilayah guna menyulitkan Belanda. Diketahui, perlawanan itu berlangsung hingga awal abad ke-20 atau tahun 1905.
Presiden Jokowi-pun, tanggal 16 Agustus melakukan renungan suci di Taman Kusuma Bangsa, di calon Ibu Kota Nusantara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara, tengah malam nanti.
Tapi, saya sadar harus segera pesan travel sore ini agar tidak kehabisan saat pulang ke Semarang siang ini. Siang ini adalah hari Hattick, karena mestinya di seluruh kampung di semarang juga menggelar tirakatan malam ini. Yang berarti semua gang masuk ke kampung akan ditutup, Hari Gang Buntu Nasional.
Ya Hari Gang Buntu Nasional, meski tidak tercatat di Kalender Masehi resmi, dan tidak ada penetapan pemerintah tentang hari penting, namun Hari Gang Buntu Nasional dilakukan, dengan menutup portal kampung, membuat panggung hiburan, atau perayaan sederhana menggelar tikar, dan memotong tumpeng.
Tradisi tirakatan di hari Gang buntu ini, adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas jasa pahlawan, yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa kita, Indonesia.
Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia ke-79 th.
Merdeka!!!
Penulis: Mumuk Mukaromah, pengajar.
Post a Comment for "Hari Gang Buntu Nasional"