Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Di Bawah Langit Kemerdekaan yang Berulang, Nasionalisme dan Revolusi Tak Pernah Usai



Garistebal.com-  Merdeka. Tujuh puluh sembilan tahun setelah proklamasi itu bergema dari Jakarta ke seluruh penjuru Nusantara, kita merayakan lagi kemerdekaan Indonesia. Namun, di bawah bendera merah putih yang berkibar, makna kemerdekaan terus bergumul dengan berbagai tafsir zaman. Nasionalisme, revolusi, identitas kebangsaan, semuanya terus menerus dihadapkan pada arus zaman yang bergolak. Mungkin tak ada dua buku yang bisa lebih baik menangkap dinamika ini selain Nationalism and Revolution in Indonesia karya George McTurnan Kahin dan Revoloesi Pemoeda karya Benedict Anderson.

Kahin, dalam tulisannya yang monumental, menyajikan potret hidup tentang bagaimana nasionalisme Indonesia dibentuk oleh pergulatan antara ideologi, pemimpin politik, dan gerakan massa. Buku ini, diterbitkan pada tahun 1952, tetap relevan dalam menggambarkan awal perjalanan revolusi Indonesia. Kahin menyelami bagaimana nasionalisme muncul sebagai kekuatan utama dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda dan Jepang, dan bagaimana nasionalisme itu mengambil bentuk yang sangat plural. Dari Sukarno hingga Sutan Sjahrir, dari Hatta hingga Amir Sjarifuddin, Kahin menggambarkan kompleksitas intelektual dan emosional para pemimpin revolusi Indonesia.

Di sisi lain, Anderson, dengan Revoloesi Pemoeda yang diterbitkan lebih kemudian, menawarkan perspektif yang sangat berbeda namun melengkapi. Dalam karyanya, Anderson menyoroti peran pemuda dalam membentuk karakter revolusi Indonesia. Buku ini bercerita tentang energi kaum muda yang menggebu-gebu, yang sering kali bergerak dengan logika emosi dan keberanian. Para pemuda, menurut Anderson, adalah pembawa api perubahan, namun mereka juga sering kali menjadi sumber konflik internal dalam revolusi.

Dua buku ini berbicara dengan cara yang berbeda tentang revolusi Indonesia, namun keduanya sama-sama memperlihatkan bahwa nasionalisme bukanlah konsep yang beku. Nasionalisme adalah semacam energi yang selalu bergerak dan terus-menerus dibentuk oleh konteks politik, ekonomi, dan budaya yang berkembang.

Jika kita tarik ke masa kini, di tahun ke-79 kemerdekaan Indonesia, diskusi tentang nasionalisme dan revolusi masih terasa sangat relevan. Dalam politik hari ini, kita menyaksikan berbagai bentuk nasionalisme yang muncul. Ada nasionalisme yang mendasarkan diri pada identitas keagamaan, ada yang didorong oleh kekuatan ekonomi, dan ada pula yang muncul sebagai reaksi terhadap globalisasi. Semangat revolusi yang dulu membakar para pemuda di tahun 1945 kini mengambil bentuk baru—melalui protes jalanan, aktivisme digital, hingga gerakan-gerakan akar rumput yang menantang kekuasaan korup.

Dalam lanskap politik yang kian terpolarisasi, di mana elit kekuasaan tampak semakin jauh dari rakyat, kita menyaksikan kebangkitan kembali wacana-wacana lama tentang nasionalisme yang eksklusif. Namun, seperti yang Kahin dan Anderson tunjukkan dalam kajian mereka, kekuatan nasionalisme yang sesungguhnya tidak hanya terletak pada narasi eksklusif tentang kebangsaan, melainkan pada kemampuannya untuk merangkul pluralisme dan keterbukaan terhadap perubahan.

Indonesia hari ini membutuhkan nasionalisme yang bukan sekadar nostalgia, tetapi juga mampu menghadapi tantangan zaman. Apakah kita akan tetap bertahan dalam kerangka nasionalisme yang inklusif seperti yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa, atau kita tergelincir ke dalam bentuk nasionalisme yang sempit dan defensif?

Seperti revolusi pemuda yang diuraikan Anderson, politik hari ini memerlukan keberanian dan kegilaan. Kaum muda di Indonesia kini menghadapi tantangan yang berbeda, namun semangat mereka tetap sama—meretas jalan di tengah ketidakpastian. Revolusi yang mereka lakukan mungkin tidak lagi berupa angkat senjata, melainkan revolusi ide dan kreativitas yang mampu menantang status quo.

Kita berada dalam momen penting dalam sejarah bangsa. Setiap peringatan kemerdekaan membawa kita pada refleksi tentang apa arti sebenarnya dari kebebasan dan kedaulatan. Kahin dan Anderson mengingatkan kita bahwa revolusi belum selesai. Ia berlanjut dalam bentuk-bentuk yang mungkin tak selalu tampak heroik di permukaan, tetapi tetap penting dalam membentuk masa depan kita.

Di bawah langit kemerdekaan yang ke-79 ini, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah kita siap membawa nasionalisme dan semangat revolusi ke depan? Atau, seperti yang sering terjadi dalam sejarah, kita akan terjebak dalam nostalgia, dan gagal menghadapi realitas baru yang lebih kompleks?

Perjalanan bangsa ini masih panjang, dan makna kemerdekaan akan terus berevolusi seiring dengan perubahan zaman. Namun, satu hal yang pasti: nasionalisme yang hidup adalah nasionalisme yang terus bergerak, merangkul perubahan tanpa kehilangan akar sejarahnya. Di sinilah relevansi Kahin dan Anderson tetap abadi—mereka mengingatkan kita bahwa revolusi, seperti halnya nasionalisme, bukanlah sesuatu yang bisa kita anggap selesai. Mereka adalah proses yang harus kita hidupi dan perjuangkan, setiap hari, setiap generasi.


Penulis: Denny Septiviant, Politisi

Post a Comment for "Di Bawah Langit Kemerdekaan yang Berulang, Nasionalisme dan Revolusi Tak Pernah Usai "