Belajar Sadis Dari Pendidikan Dokter Spesialis Hingga DPR RI
Garistebal.com- Dalam beberapa hari belakangan, hape pintar saya cukup sibuk. Ia menerima informasi dan foto-foto tentang meninggalnya seorang dokter muda. Kabar awal ia bunuh diri.
Kemudian Rektor Undip angkat bicara dan membantah. Ketika teman-temannya bersaksi dan unjuk bukti, polisi juga mulai meneliti, kali ini bantahan justru datang dari keluarganya.
Saya tak hendak membicarakan penyebab kematiannya. Sangat tidak elok dan tidak etis membicarakan dokter muda berprestasi itu dari sisi kematiannya.
Saya justru tertarik melihat atmosfer pendidikan dokter spesialis. Sebuah jenjang pendidikan yang mahal dan hanya bisa dijalani orang-orang pintar.
Dari banyak data yang diterima telepon pintar saya, yang pertama adalah adanya kutub senior-yunior. Kutub ini ternyata tak memberikan sumbangsih apapun, kecuali pelajaran sadisme.
Mari kita perhatikan. Pelajaran sadisme itu ternyata diajarkan secara resmi pertama kali lewat sekolah. Anggap semua argumentasi ideal dari program ini adalah lelucon belaka.
Tapi ternyata hal itu menghasilkan tradisi dendam. Dendam yang berbeda dibanding model dendam di cerita Kho Ping Hoo. Dendam ini lebih menjadi dendam kultural yang kemudian bisa melilit generasi demi generasi.
Banyak daftar bukti betapa kita adalah generasi yang terdidik untuk menjadi pendendam, terutama setelah kita menjadi senior, menjadi atasan. Maka jadilah peristiwa di PPDS Undip.
Ada dokter yang calon dokter spesialis ini diminta makan nasi Padang lima bungkus sekaligus. Kita tahu persis, porsi nasi Padang jika dibungkus pasti nasinya lebih banyak dibanding makan di tempat.
Ada pula calon dokter spesialis ini harus menjadi tukang parkir, mewakili kondangan, dan yang paling parah bahkan ada yang tega memaksa meminjam pacarnya atau istrinya untuk sekadar tidur bersama satu dua jam.
Lalu masihkah menjadi rahasia jika ada seorang dokter calon spesialis yang begitu ketakutan pada seniornya. Saking hebatnya ketakutan itu hingga ia harus mau mengerjakan tugas-tugas sang senior.
Muaranya, siapapun kita, apapun profesi kita, begitulah watak kita setelah menjadi atasan. Bisa dimengerti karena pelajaran menyakiti memang tercantum dalam "kurikulum". Kita dididik untuk bergairah melihat orang lain susah. Maka pertunjukkan derita itu harus tetap dipelihara, terus diberi suaka dan diajarkan secara dini lewat sekolah-sekolah.
Itu pula yang terjadi pada para pejabat kita. Mereka pernah mengalami perpeloncoan saat pendidikan, di partai politik, juga di tempat kerjanya ketika meniti karier.
Bisa dimengerti dan sangat logis, jika sebagai bangsa, selama ini malah lebih sibuk membuat derita sesama katimbang berpikir soal kemajuan bangsa.
Menjadi lumrah pula jika kemelut negara ini bisa begitu lama, karena derita orang lain terasa sebagai hal yang biasa-biasa saja. Atau bahkan menghibur
.Lihatlah di sebuah negeri miskin justru banyak dihuni oleh para koruptor yang sangat kaya. Membangun dan menguasai kawasan hingga ratusan tahun setelah mengusir para penduduknya.
Negeri dengan mayoritas warganya yang miskin ini pejabat dan teman-temannya tega hidup sangat mewah di tengah kemiskinan itu apalagi penyebabnya jika bukan karena kesuksesan pelajaran sadisme di atas.
Lalu sebaiknya diapakan kegiatan seperti di Pendidikan Dokter Spesialis dan sekolah lain, terutama sekolah kedinasan itu?
Kalau saya sih ya harus dibubarkan. Alasannya jelas, ia menyemai bibit kejahatan. Ini adalah program yang memungkinkan bahwa seorang paling tolol sekalipun bisa main bentak, menyalahgunakan kekuasaan dengan modal ia seorang senior.
Para aktivis dan pembaharu pendidikan berjuang menelorkan program yang keren, dengan mudah dimentahkan oleh misi komersialisasi. Siapa yang mementahkan? Ya tentu orang tolol namun memiliki modal senioritas sebagai atasan, dan punya kekuasaan.
Jika ini dibiarkan maka ambisi menyambut Indonesia Emas akan berhenti sebagai ambisi dan malah melahirkan Indonesia Cemas.
Sulit mengejar kemajuan bukan karena bahwa anak-anak kita begitu bodoh, tapi karena ketertinggalan itu telah begitu jauh.
Kampanye Ayo Sekolah, Wajib Belajar 9 tahun dan program pendidikan lainnya tak lebih memperluas pasar saja agar komersialisasi bisa berjalan lancar.
Kepada lembaga pendidikan kita percayakan nasib anak-anak dengan taruhan apa saja. Adalah menganggetkan jika mereka ternyata melah menjadi jahat diam-diam.
Kembali ke awal tulisan. Mari kita bayangkan keadaan terhina yang dialami para yunior calon dokter spesialis itu. Ya begitulah rasanya. Melihat sang penghina rasanya ia hendak dilumat hingga selumat-lumatnya. Cara paling sehat untuk membuang perasaan terhina ini adalah dengan cara menyalurkan dengan segera. Sayang cara ini tidak mudah karena berbagai keterbatasan.
Pertama adalah keterbatasan hukum. Membalas perlakuan mereka muaranya cuma akan melanggar hukum. Padahal tak setiap dari kita kuat dan berani melanggar hukum.
Kedua adalah keterbatasan kita sendiri. Saya ingat guyonan Junaedi, pelawak Yogyakarta. Saat itu ia bercerita tentang istrinya yang digoda lelaki iseng di jalanan. Sebagai suami terhormat ia marah luar biasa dan bersiap melabrak sang penggoda. Untung kemarahan itu tidak mengganggu akal sehatnya. Sebelum main labrak ia bertanya lebih dulu keadaan sang penggoda itu.
"Tinggi besar," jawab sang istri.
Junaedi surut setindak dan gantinya cukup memberi nasihat bijak.
"Ya sudah, besok jangan lewat jalan itu lagi".
Psikologi seperti Junaedi itulah yang kadang-kadang kita derita. Tak mudah menyalurkan perasaan terhina karena banyak sekali batasannya. Jika cuma batasan hukum, kita mudah menerimanya karena ia menghuni keadaan banyak orang. Tetapi jika keterbatasan itu berpusat pada diri sendiri ia akan menjelma jadi depresi.
Inilah yang terjadi pada korban yang meninggal dunia, yang mengawali tulisan ini. Apakah begitu mudah anak-anak muda itu depresi dan muncul keberanian?
Tentu tidak. Mereka menabung keberanian itu bertahun-tahun. Setoran tabungannya adalah akumulasi hinaan yang berlangsung setiap hari. Jika anak-anak ini bicara, cuma disambut sebagai kesalahan dan melahirkan sanksi.
Akhirnya diam menjadi sebuah pilihan.
Diam sepanjang hayat sambil memendam kemarahan itulah yang memupuk nyali untuk membunuh, termasuk membunuh dirinya sendiri. Mereka memilih bunuh diri katimbang menghadapi kenyataan.
Hidup menjadi semakin berat jika setiap kali harus menanggung hinaan. Padahal sulit sekali menghindari perasaan terhina itu karena jumlahnya banyak sekali, baik yang datang dari orang lain maupun yang datang dari diri sendiri.
Kesimpulannya, sulit sekali menghindar dari perasaan terhina itu karena ia bisa datang kapan saja dan menyerang siapa saja. Memang hidup ini boleh terhina, tapi ya kadang-kadang saja.
Sekali terhina saja sakitnya luar biasa. Ada yang cuma sekali tapi kesumatnya terbawa mati. Apalagi jika hinaan itu datang berkali-kali.
Begitu berbahaya keadaan terhina itu sehingga penting sekali mengurangi jumlah penyebabnya. Penyebab itu kadang remeh dan tidak pula kita sengaja, misalnya saat memasak, namun ada tetangga yang sedang kesulitan ternyata cuma kebagian bau sedapnya saja.
Ketika kolom ini saya tulis, ada putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan partai politik mencalonkan Kepala Daerah meski tak punya kursi di DPR. Namun alih-alih menyambut baik, DPR yang berisi partai-partai politik mapan itu justru tengah berusaha mengubah aturan untuk mementahkan putusan MK itu. Jadi rakyat memang harus selalu bersiap menjalani keadaan terhina. Terhina sehina-hinanya hingga akumulasi itu meledak dan memakan korban.
Penulis: Edhie Prayitno Ige, Jurnalis
1 comment for "Belajar Sadis Dari Pendidikan Dokter Spesialis Hingga DPR RI"