Bangsa Dermawan, Bangsa Pemaaf
Garistebal.com- Salah satu mentor menjalani hidup, mas Koesnan Hoesi pernah menasihati saya. Ini terkait dengan kedermawanan seseorang.
"Jika ada teman yang mau nraktir atau memberi sesuatu, jangan pernah ditolak. Siapa tahu dengan memberi kita, itu akan membuatnya bahagia," demikian wejangan mas Hoesi.
Oh iya mas Hoesi ini adalah seorang karikaturis, kartunis, penulis, pelukis, kolektor benda seni, dan pedagang barang antik serta entah apa lagi atributnya.
Indonesia dalam peta kesejahteraan masyarakat bisa dianggap sebagai negara miskin dan bangkrut. Namun jangan pernah menanyakan tentang filantropi atau kedermawanan. Indonesia adalah lumbung kedermawanan yang tak ada habisnya.
Pernah suatu kali dalam sebuah perjumpaan di warung makan Lombok Idjo jalan Gajahmada Semarang. Saya bertemu dengan teman-teman SMP.
Yang pertama adalah seorang doktor biologi yang mengamalkan ilmunya di Taman Nasional Karimunjawa. Yang kedua, mengabdikan ilmunya di BKSDA untuk melindungi satwa-satwa liar. Kemudian ada lagi yang menjabat humas di RSUD Provinsi Jawa Tengah, kemudian seorang Kabag di sebuah Dinas di Pemkot Magelang.
Kami semua makan dengan menu yang sama dan ngobrol apa saja.Hingga sudah tiba waktunya pulang.
Maka, masing-masing langsung mengeluarkan dompetnya. Salah satu tak mau kecolongan, ia langsung berdiri antre di kasir. Makanan belum sempat dicerna sempurna oleh kolon usus, semua sudah berebut ingin membayar.
Namun siapa sangka jika itu hanya dianggap curang.
Seseorang yang duduk di depanku, tiba-tiba bersuara keras kepada kasir.
''Mbak, duitnya jangan diterima. Awas! Kalau diterima, saya akan berhenti berlangganan,'' serunya.
Yang lain akhirnya mengalah. Tapi tidak dengan dua kawan tadi. Mereka saling ngotot tak mau kalah, sampai akhirnya si kasir muncul sebagai penengah.
"Sudah njih ibu. Semua sudah beres kok," kata si kasir.
Mengapa?
Sepele sekali. Ini soal strategi. Ternyata diam-diam ada kawan yang sejak tadi diam, tenang, namun bertindak efisien.
Sebelum makan atau bahkan sebelum kami ngumpul, ternyata ia sudah melobi kasir.
"Mbak deposit dulu ya, kalau kurang nanti bilang aja sudah beres, trus telp saya," katanya.
Dialah pemenangnya.
Bayangkan, untuk menjadi dermawan, masih harus berlomba.
Kisah semacam ini sangat mudah kita temui di Indonesia. Bahkan ketika kita bertamu ke rumah pengangguran sekalipun, pasti tetap saja ia memberi kita suguhan. Minimal air putih.
Memiliki tradisi dan budaya kedermawanan macam ini, rasanya jadi heran ketika kita menemukan kesenjangan sosial yang parah, tingkat kemiskinan yang menyedihkan, dan tingkat korupsi yang astaga.
Saya pernah liputan dan bertemu dengan seorang tahanan perempuan. Ia dipenjara karena menggelapkan uang perusahaan. Tidak banyak, sekitar Rp 250 ribu.
"Iya mas. Duit itu saya gunakan untuk nyumbang tetangga yang mantu," katanya.
Fleksibilitas masyarakat kita nggak main-main. Sinkretisme atau mulur mungkret bukan hanya soal spiritual. Tapi juga moral. Dua hal bertolak belakang mampu disatukan.
Jadi cerita tersebut menunjukkan bahwa kederwamanan bisa kita biayai dengan segala cara, termasuk dengan kejahatan.
Inilah jawaban mengapa kedermawanan semacam itu bisa tidak nyambung dengan soal ketenteraman negara dan kemakmuran suatu bangsa.
Siapapun bisa sangat baik di sini tapi sangat jahat di sana. Atau siapapun ketika jahat di sini hanya agar bisa berbuat baik di sana.
Itu juga yang menyadarkan mengapa seorang koruptor bisa dicintai dan dihormati sekelompok masyarakat. Kira-kira prinsipnya biarlah korupsi besar-besaran dengan memanfatakan jabatan, dengan risiko merusak negara asal masih ada yang bisa merasakan manfaatnya .
Itu juga barangkali penyebab seorang koruptor masih bisa cengengesan dan dadah-dadah di depan kamera TV.
"Beliau ini sangat baik. Anak saya dibiayai sekolah sampai lulus kuliah. Hatinya peka, beliau sangat sulit melihat orang lain dalam kesulitan," begitu kata tetangga.
Kisah koruptor dermawan ini sama genrenya dengan perampok yang menghidupi sekian puluh anak yatim piatu. Sama halnya dengan kawan lain yang mencoba merakit bom untuk diledakkan, namun sangat sentimental ketika melihat seorang perempuan tua yang harus jalan kaki agar bisa mengikuti misa di gereja.
Tapi ternyata, sifat dan perbuatan mulia itu nyatanya hanya karena sentuhan human interest semata. Koruptor tetaplah koruptor, perampok dan teroris juga tetap penjahat yang membunuh orang sama mudahnya dengan menarik selimut.
Nyatanya setelah satu dua berbuat baik, ia tetap korupsi. Tetap merampok. Tetap berusaha meledakkan bom.
Kesimpulan sementara, ternyata modal besar berupa kedermawanan itu tak sanggup menjadi asset untuk kesejahteraan bersama.
Kita jadi lebih mudah memahami, Presiden Jokowi menyampaikan permintaan maaf ketika acara Dzikir dan Doa Kebangsaan (1/8/2024) untuk kemudian tiba-tiba publik dikejutkan mundurnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.
Kemudian permintaan maaf itu juga disampaikan dalam pidato kenegaraan menyambut HUT ke 79 Indonesia. Namun tiba-tiba ada reshuffle kabinet tanpa menyebut apa kesalahan menteri lama.
Ada juga upaya penghimpunan seluruh partai politik kecuali PDIP untuk menghadapi Pemilihan Kepala Daerah.
Soal reshuffle kabinet, sesungguhnya sudah tidak efektif karena masa baktinya tinggal satu dua bulan saja. Wajar jika dicurigai sebagai upaya memuluskan penguasaan partai politik dan bagian membangun kartel politik. Lumrah juga jika banyak yang menduga bahwa Pilkada adalah momentum untuk menancapkan pengaruh kekuasaannya. Rupanya dipasangnya Gibran sebagai akun kedua Jokowi belum cukup.
So, jangan tergesa-gesa menyimpulkan jika kita gemar mentraktir orang, mengaspal jalan dan berderma untuk kegiatan amal, membuktikan bahwa kita adalah seorang yang mulia.
Jangan buru-buru menyimpulkan bahwa meminta maaf membuktikan bahwa seseorang itu rendah hati.
Tabik!!!!!! .
Penulis: Edhie Prayitno Ige, Jurnalis cum Bapak rumah tangga
ilustrasi : IG Budhi cc-line
Post a Comment for "Bangsa Dermawan, Bangsa Pemaaf"