Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bang Gholib, Cheng Hoo dan Kesaksian Akulturasi Budaya di Semarang

 


 Saya itu dulu tukang bikin kopi pak di Jawa Pos MT Haryono. Dulu, Saya sering lihat njenengan di lantai 2 ngobrol sama pak Sigit (Kabiro) dan mas Kholik, lha yang buatkan kopi waktu itu saya pak, masih kecil. Saya dulu juga punya tugas mengambil naskah di rumah Pak Dar (Darmanto Jatman-red). "Duwe sangu ora le,"begitu pak Dar selalu memberi sangu jika saya ke rumah Tampomas.


Gholib (40 tahun), sosok lelaki ramah, berperawakan tinggi berkulit hitam ini sudah keluar rumah sejak pukul 05.00  pagi. Minggu (04/08) itu dirinya sudah memiliki agenda hunting foto kirab Cheng Ho, dari Pecinan hingga Klenteng Sam Poo Kong.

Supra Merah, dan tas ransel berisi alat produksi, menemaninya menembus dinginnya pagi itu. Gholib saat ini menjalani profesi fotografer di portal inilahjateng.com. Hampir setiap tahun dirinya meliput kirab peringatan mendaratnya Laksamana Cheng Ho, di Semarang. Tak bosan-bosannya ia mengkoleksi foto kirab dari tahun ke tahun. "Ada yang baru pak setiap tahun, yang saya rasakan. Lejen niki pak, Sejarah Cheng Hoo, yang Islam ke Jawa, entah juga mitos-mitosnya,"tulis  pesan WA-nya di Android saya.

Karena tiap tahun ada, maka dirinya sudah hapal, kira-kira angle foto dan tempat yang menarik difoto saat kirab berjalan. "Yang asyik tahun ini pak, ramai banget, kelihatan budaya kita sangat heterogen, seru untuk difoto, para chindo-chindo itu pak,"tulis Gholib renyah.

Pemerintah Kota Semarang, lewat disbudpar memang menggelar kirab Cheng Hoo, menjadi agenda tahunan pariwisata di kota Semarang. Apalagi sejak Presiden Gus Dur mengakui Khong Hu Cu sebagai agama resmi negara, kegiatan warga etnis di Semarang makin marak.

Seremoni Kirab Cheng Ho Antara Pecinan Hingga Gedungbatu

Peringatan 619 tahun pendaratan Laksamana Cheng Ho kali ini dimulai dari klenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Sepanjang rute perjalanan, rombongan kirab berjalan kaki menyusuri Jalan Gang Pinggir, Jalan Kranggan, Jalan Depok, Jalan Pemuda, Tugumuda, Jalan Sugiyopranoto, Jalan Bojongsalaman, Jalan Simongan dan masuk ke Klenteng Sampokong. 

Berbagai hal menarik turut dalam rombongan arak-arakan ini. Ada seekor kuda dikawal oleh rombongan bhe kun, dengan kostum unik serba hitam dan riasan wajah karakter tokoh Tiongkok. Ada tarian naga (liong), serta iringan musik khodengcong (musik tradisional Tionghoa). 



Ketua Yayasan Tay Kak Sie Tanto Hermawan mengatakan, dengan memperingati pendaratan Cheng Ho ini bisa ambil teladan dari Kongco Sampo Tay Djien (Cheng Ho) tentang semangat kegigihan dan pantang menyerah. 

"Sehingga kita bisa berkontribusi untk kemajuan sekitar kita khususnya kota  Semarang," kata Tanto. 

Laksamana Cheng Ho dalam religiusitas dan budaya warga Tionghoa juga disebut sebagai Sam Poo Tay Djien. Dia adalah laksamana muslim dari Dinasti Ming di Tiongkok pada abad ke-15. 

Pelayaran terbesarnya pada abad tersebut dengan kapal besar diiringi ratusan kapal kecil, merupakan muhibah besar ke berbagai negara di Asia dan Afrika dengan maksud untuk menjalin persahabatan. 

Banyak versi Hikayat Sam Poo Kong

Menurut Bram Luska, Pegiat sejarah Tionghoa, di laman fb-nya, menjelaskan jika tidak pernah ada bukti catatan sejarah tentang kedatangan Sang Laksamana Agung ini. Banyak versi sejarah ditulis tentang riwayat Sam Poo Tong. Dari sekian banyak cerita yang oleh beberapa penulis menyematkan kata dongeng. hal ini karena tidak ada nya bukti otentik yang kuat.

Bram kemudian menceritakan kembali riwayat Sam Po dari kajian keilmuan dan sumber oral history. Dari buku Ing Ah Sing Lam tulisan Ma Huan, tercatat pada masa Ing Lok tahun ka 3, Baginda kaisar  telah mengutus The Hoo (Cheng Hoo) untuk misi diplomasi ke negeri-negeri sekitar Tiongkok.

Diyakini dan dipercaya pelayaran ini dimulai dari kota Soo-Chow (Suzhou) di Provinsi Jiangsu, lalu mampir ke Wu Hu Men di Fu-chien ( Hokkian) menunggu angin barat lalu mulai berlayar pada tanggal 15 bulan 6 penanggalan Imlik (Lak Gwee) tahun 1405, rombongan The Hoo berangkat menuju ke Siam terus ke Palembang dan Jawa.

Pada akhir bulan Lak Gwee tahun Khong Tju 1957 atawa 1406 masehi, rombongan Sam Poo berada di sebuah daerah pesisir pantai utara Jawa yang berdekatan dengan Kendal yang saat ini disebut Mangkang.

Salah satu juru mudinya yang bernama Ong King Hong jatuh sakit, dan terpaksa harus diturunkan di Mangkang beserta beberapa orang pengikut Sam Poo serta perbekalan dan alat-alat untuk bertukang, serta perabot lain.

Setelah sepakat akhirnya Sam Poo meninggalkan Ong King Hong beserta dengan beberapa pengikutnya untuk kembali melanjutkan berlayar. 

Karena waktu itu di Mangkang tidak ada tempat yang bagus untuk menetap, akhirnya rombongan Ong King Hong menyusuri sungai dan sampailah di daerah gunung Gedong Batu Simongan. Dalam tempo beberapa tahun daerah Gedong Batu akhirnya menjadi sebuah dusun. Tanah-tanah sekitar yang sebelumnya hanya hutan telah di rubah menjadi kebun dan persawahan.



Setelah Ong King Hong menetap selama delapan tahun di Gedong Batu, barulah mulai ada beberapa orang pribumi yang ikut menetap di daerah Simongan sekitar Gedong Batu. 

Ong King Hong dipercaya adalah seorang muslim taat (bahkan dipercayai bergelar Haji) banyak mengajarkan falsafah hidup kepada para murid - muridnya dan orang yang ada di sekitar Gedong Batu, hingga mendapat julukan Kiai Guru. 

Semakin hari makin banyaklah orang yang menetap di Gedong Batu dan menjadi murid Ong King Hong. 

Pada waktu senggang dia bersama beberapa murid dan warga dia memahat patung The Hoo karena mengingat akan kebaikan budi Sam Poo di masa lalu. Patung Sam Poo dan 4 pengikutnya itu diletakkan di atas meja panjang di dalam gua Gedong Batu, ini yang menurut Bram Luska, akhirnya orang menyebutnya Gua Sam Poo atau Sam Poo Tong. 

Ong King Hong wafat di usia 87 tahun (versi lain menyebut bahwa Ong King Hong tidak wafat di Simongan melainkan kembali ke Tiongkok bersama beberapa punggawa Sam Poo)

Kisah warga Israel kuasai Klenteng Sam Poo Kong

Menurut sebuah arsip kuno  berbahasa Belanda dan dari kesaksian keturunan tuan tanah Simongan, tulis Bram,   Pada tahun 1808, tepatnya 3 tahun sebelum Inggris menyerbu Jawa, datanglah seorang Armenia bernama Joseph Johanes (Hovsep Hovhannes dalam bahasa Armenia) (1788-1835). Beliau ini adalah seorang pedagang yang sebelumnya menetap di Kalkuta , India.

Dari sebuah cerita disebutkan bahwa pada 1811 Johannes mendapat tanah Simongan dari pemerintah Inggris ( Gub.Jend. Raffles) karena jasanya membantu bala tentara Inggris di Semarang. Sejak itulah kawasan Gedong Batu masuk dalam properti milik Joseph Johanes.

Namun Bram tidak mendapat tahun pasti kapan persil Gedong Batu dan Simongan ini menjadi milik orang Armenia ini. (Joseph Johanes wafat pada tahun 1835, 2 tahun setelah wafatnya Majoor Tan Tiang Tjhing).

Penguasaan tanah itu membuat masalah bagi warga Tionghoa. Mereka susah untuk sembahyang di Sam Poo Tong, selain harus membayar bea masuk (uang tol) , mereka juga harus membawa passen (kartu pas)sebab aturan Passenstelsel masih berlaku. Aturan Passen ini berlaku sudah sejak 1821.

Ikhtiar agar sembahyang di Sam Poo Kong tidak susah,  saban penghabisan hari dalam bulan Lak Gwee di jadikan She Djietnya Sam Poo Kong diangkat dan dikelilingkan di gang-gang Pecinan Semarang dan diberi menginap semalam di dalam Klenteng Tay Kak Sie.  Baru pada besok paginya Sam Poo Kong diangkat kembali ke Gedong Batu. (Kisah inilah yang menjadi visual tradisi kirab Cheng Ho sampai kini)


Tahun 1875, kerabat Joseph Johanes yang bernama Carapiet Andres tercatat menawarkan tanah milik Johanes yang ada disekitaran Simongan, Gn.Mlaja dan Gn.Krapyak untuk dijual. Baru pada tahun 1883 Tuan Oei Tjie Sien, Ayah Oei Tiong Hoam (Raja Gula Semarang) membeli persil Simongan dan Gedong Batu dari tangan Carapiet Andreas. Sejak itu, warga Tionghoa dapat menikmati bersembahyang di Klenteng Sam Poo Kong menjadi mudah dan murah, hingga kini.


Bagi Gholib, Kirab Cheng Hoo memiliki sisi humanis warga Tionghoa yang sangat dalam. "Dan ini unik, sebab hanya ada di Semarang,"tegasnya bangga.


Penutur & foto : Gholib

sumber: dari berbagai sumber

Penulis: Ardiyansyah


Post a Comment for "Bang Gholib, Cheng Hoo dan Kesaksian Akulturasi Budaya di Semarang"