Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mendambakan Penegak Hukum Hebat di Lembaga Superbodi






Suara berat seorang pengacara di ujung sana, membuka diskusi kami terkait penggeledahan rumah dan kantor Walikota Semarang oleh KPK, sebelum adzan jumat datang.

Sebelumnya saya memberi insight, Kok bisa ya penyidik, tiba-tiba mendatangi rumah orang. 

"Dok-dok-dok" suara ketuk pintu

"Siapa,"

"KPK,"

"Saya salah apa,"

"Anda korupsi,"

"Buktinya apa?"

"Nanti, setelah saya menggeledah rumah anda,"


"Ga bisa begitu bos, kita harus melihat dari hukum formil yaitu KUHP dan hukum materiil yakni Kitab Acara Hukum Pidana," Jelas pengacara itu. Penggeledahan rumah tinggal dan kantor itu, sah, sepanjang sudah ada ijin resmi dari Pengadilan Negeri setempat. Dan mustinya mereka sudah memiliki bukti permulaan yang cukup.

Saya tersenyum kecut, kalimat ini mengingatkan saya kepada Profesor Barda Nawawi, saat menjelaskan ilmu Pidana di ruang B102. Beliau sering menghindari berdiri di mimbar saat mengajar, karena perawakannya yang kecil. Yang sering dilakukan adalah mondar-mandir, sambil sesekali melontarkan candaan, khas profesor pidana. Lucu, tapi wajahnya flat, miskin tertawa.

Tokoh pembaharu Wetboek van Strafrecht voorNederlandsch-Indie ke KUHP asli Indonesia ini punya pemikiran hukum biomijuridika. 

Bahwa produk hukum itu tidak bisa sekuler . Kudu melibatkan Tuhan, sehingga produk hukumnya adalah pencegahan bukan penanganan. Saya kira ini pendekatan tasawuf yang luar biasa di dunia hukum.

Meski begitu biomijuridika sendiri menyisakan ruang diskursus yang tidak terjawab dengan tuntas. Apalagi saat ini, ketika pola kejahatan sudah berkembang dan muncul varian baru kejahatan korupsi, misal.

Pemikiran Positif-konstruktif ala Prof Barda  ini tentunya tidak bisa diterapkan dengan penegakan hukum saat ini. Bagi penyidik atau penegak hukum, awal persepsi adalah semua orang jahat, dan pasti jahat. Apalagi punya bukti permulaan yang dianggap cukup oleh mereka. 

Akibatnya, kemudian banyak terjadi penegakan hukum yang ternyata salah orang, saya tidak perlu menjelaskannya disini, saking banyaknya kasus salah tangkap. Masih beruntung, Hukum Indonesia belum berani menerapkan hukuman mati. 

Saya setuju, jika sejumlah contoh kasus hukum bermasalah belakangan ini yang salah pimpinannya, bukan lembaganya. 

Kembali ke kasus korupsi di Semarang, Spekulasi ada unsur politik dalam dugaan korupsi di pemkot Semarang, Jelang Pilkada adalah ruang lain. 

Namun, Penggeledahan rumah pejabat, kantor dan sejumlah OPD oleh KPK, itu serius, bukan politis. Lembaga sekelas KPK, secara kolegial mustinya tidak akan gegabah, main-mainan. 

Kita aja yang kadung punya persepsi buruk, dan putus harapan, di saat pimpinannya terakhir, melakukan kegiatan, yang mencoreng institusi SUPERBODI ini.

Nah, terkait lembaga SUPERBODI -  KPK,  Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK telah meloloskan 236 orang lulus calon pimpinan lembaga anti-rasuah periode 2024-2029. Mereka akan mengikuti tahap tes tertulis 31 Juli ini. 

Beberapa nama, saya kenal, Johan Budi mantan Humas KPK, dan korlip saya di majalah FORUM. Lalu Ada Budiman Tanuredjo, Pensiunan wartawan Kompas desk Hukum, yang tulisan tulisan hukumnya luar biasa. Terakhir kawan aktivis perempuan di Semarang Ida Budhiati, perempuan tangguh yang pernah menjabat KPU. 

Tentunya menjadi pekerjaan besar mereka ( jika keterima) untuk mengembalikan kembali marwah KPK, sebagai lembaga anti Korupsi, sebagaimana mestinya.

Tabik!


Semarang, 26 Juli 2024

Ardiyansyah, editor Garistebal

Post a Comment for " Mendambakan Penegak Hukum Hebat di Lembaga Superbodi"