Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Saya "Diselamatkan" Seno Gumira Ajidarma, Meski Tak Pernah Bertemu

 KARENA tulisan sebelumnya telah menyinggung Seno Gumira Ajidarma (SGA), maka saya lanjutkan saja di sini bagaimana saya “diselamatkan” olehnya.

Sejak masuk kuliah pada 1998, saya langsung terlibat dalam organisasi mahasiswa pergerakan. Kurang lebih selama dua tahun, saya hampir tak pernah masuk kuliah (kadang pengakuan itu melegakan, haha).

Bahkan konon, Dekan di kampus lebih memilih memanggil saya Aidit daripada Adit. Doa terbaik untuk beliau.

Hingga kemudian, pada pertemuan mahasiswa Sastra Indonesia se-Indonesia saya sadar bila kurang membaca sastra. Kurang banget. Soal pertemuan mahasiswa itu, mungkin kali lain saya tuliskan.

Kemudian saya bertekad mengejar ketertinggalan tersebut dan mulai membaca. Nah, kebetulan, buku sastra pertama yang saya beli saat itu adalah Jazz, Parfum, dan Insiden yang ditulis oleh siapa lagi kalau bukan SGA.

Saya membelinya di Toko Buku Merbabu. Dulu saya memilih karena kebetulan saya sedang suka mendengarkan musik jazz. Jadi mungkin sebenarnya waktu itu asal pilih aja. Di rak bagian sastra, ada yang judulnya jazz, langsung saja beli.

Dan ternyata buku itu membawa saya kemudian menjadi pengikutnya. Sejak itu, saya selalu berupaya mencari dan membaca buku-buku SGA yang lain. Di situlah saya merasa “diselamatkan”. Ini juga termasuk bagian dari berjodoh dengan buku, saya kira.

Yang saya masih bertanya-tanya adalah, adakah kesukaan membaca karya seseorang berpengaruh terhadap kemiripan penampilan. Jadi ceritanya, bertahun-tahun setelah saya mulai membaca SGA, pada sebuah acara sastra di sebuah kampus di Semarang, saya hadir. Seingat saya penampilan saya biasa saja, artinya pakaian yang saya kenakan adalah yang keseharian memang saya pakai.

Tapi kemudian, ada mahasiswa yang menghampiri dan bertanya. “Maaf, Anda Seno Gumira, bukan?” kurang lebih dia bertanya begitu.

Saya langsung, makdheg.

Hingga kini, saya tak pernah bertemu SGA. Melihat fotonya tentu pernah. Saya juga sudah cukup senang mendapat tanda tangan di bukunya yang saya pesan daring.

Saya merasa dekat dengan Sukab dan Alina. Dua nama yang kerap muncul di cerita SGA. Setiap senja yang memunculkan warna keemasan, seperti akhir-akhir ini, saya juga selalu teringat pada cerita-cerita SGA. Tapi tak terpikir untuk menyerupai SGA secara penampilan.

Ini berbeda ketika saya mengidolakan Caniggia, pemain sepak bola Argentina yang pernah bermain untuk AS Roma, sehingga ketika dulu masih sering bermain bola saya membayangkan seperti dia. Berbeda pula ketika saya suka musik rock sehingga gaya berpakaian saya, meski saya bukan anak band, meniru sebagian dari para musisi itu yakni celana jeans robek di lutut dan kaos hitam.

Kembali pada mahasiswa yang bertanya. Seingat saya waktu itu tentu saja saya jawab, “Bukan.” Saya juga menambahkan, bila saya hanya sekadar pembaca karyanya. Kemudian saya ganti bertanya padanya, “Apakah kamu sudah pernah membaca karya Seno Gumira?”

Dia langsung menjawab, “Belum.”


Kota Semarang, 17 Juli 2024

Penulis:  Aditya Armitrianto, Ketua Dekase 

Tulisan ini juga tayang di dekase.id

Post a Comment for "Ketika Saya "Diselamatkan" Seno Gumira Ajidarma, Meski Tak Pernah Bertemu"