Gelar Akademik, Glory en Gospel
Saya teringat dulu, ada seorang kawan lulusan universitas swasta tertua di kota Semarang. Dibanding kami, teman sepermainan, dirinya merasa kurang beruntung, karena lulusan universitas swasta.
Kenapa? dirinya susah mencari pekerjaan. sudah melamar dari PNS hingga institusi swasta, tidak sekalipun membuahkan hasil. ia selalu mengutuki dirinya, yang tidak pernah tembus UMPTN negeri, sudah 3 kali dia coba. Untuk mengakali lulusan swasta yang dianggapnya tidak diminati pencari pekerja, akhirnya dia menempuh kuliah S2, di Undip. Tentunya berharap, dapat meng-upgrade diri, sebagai lulusan universitas negeri.
Sayangnya, ketika lulus S2, dia ketua-an. alias expired. sehingga lowongan apapun, sudah tidak memenuhi syarat. Hingga, akhirnya mlipir ke sebuah daerah kabupaten, dirinya bisa menjadi dosen karena kompetensi pendidikan setingkat lebih tinggi ketimbang lulusan S1. Sebagai catatan, lulusan S2 waktu itu masih dianggap Wah. Tidak banyak sarjana strata satu, yang langsung upgrade ke strata dua, karena capek sekolah terus.
Kini, teman saya itu, sudah malang melintang di lingkaran kekuasaan. Mulai dari anggota komisioner, hingga akhirnya menjadi hakim ad hoc di sebuah kota.
Ya, tak bisa disangkal gelar akademik memang mempengaruhi strata seorang, maka banyak orang tua, memastikan anak-anaknya kuliah, sampai ke S3 sekalipun, agar strata sosialnya bisa mentok ke atas. Meraih kekuasaan (Glory) dan menjalankan kekuasaan itu dengan suci (Gospel). Saya tidak menyebut Gold, dalam rangkaian tulisan ini, sebab hanya orang tua tertentu yang bisa membiayai anaknya mencapai kasta Glory-Gospel.
Ruang inilah, yang bagi institusi pendidikan tinggi seksi. Apalagi, negara sudah merubah sejumlah PTN dengan status PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Mirip dengan BUMN, PTN negeri memiliki otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya.
Parah, Kapitalisasi pendidikan benar-benar terjadi saat ini, tidak ada lagi kehormatan akademis, apalagi kebebasan akademis, semua digerus arus besar mengeruk uang sebesar-besarnya untuk kekayaan sebuah PTN Negeri, ucap Kris Budiman, antropolog Yogyakarta yang sempat mampir ke rumah, sepekan lalu.
Kebiasaan Perguruan Tinggi (PT) memberi Doktor Honorous Cousa (HC), gelar akademik instan yang diberikan PT, kepada tokoh, menjadi pintu awal PT itu berselingkuh dengan petinggi, pemodal dan para politisi(kita sebut pemilik kepentingan). Jika penghargaan itu diikuti dengan pengabdian di PT selama satu semester atau satu tahun, masih wajarlah. Tapi yang terjadi diumbar, lebih dalam konteks transaksional antara PT dengan pemilik kepentingan.
Saat ini sedang ramai, jual beli gelar profesor kepada sejumlah politisi. Hasil investigasi TEMPO, mengungkap 11 dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin menjadi guru besar lewat jalan pintas. Kemudian ditemukan juga, sejumlah politisi mendapat dan sedang berproses mendapatkan gelar profesor dari sejumlah PT.
Perguruan Tinggi, kini sudah mencetak, gelar akademik menjadi komoditas yang laris dijual. Kampus yang harusnya menjadi penerang dalam kegelapan, penegak kebenaran ilmiah dalam bingkai kebebasan akademik, kini tak ubahnya toko kelontong biasa yang jualan produk turunan pendidikan siap obral. Memalukan!!!
Semarang, 25 Juli 2024
Ardiyansyah, Editor garistebal.com
Post a Comment for "Gelar Akademik, Glory en Gospel"